Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Terdakwa soal Kasus Dugaan Sumpah Palsu di PN Jaksel

Aksi unjuk rasa di PN Jakarta Selatan (Istimewa)
Sumber :
  • VIVA.co.id/Zendy Pradana

Jakarta, VIVA – Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menggelar sidang lanjutan kasus dugaan sumpah palsu dengan terdakwa seorang wanita bernama Ike Farida. Sidang digelar di PN Jakarta Selatan pada Senin 14 Oktober 2024.

Tersangka Pungli Rutan KPK Divonis 4-5 Tahun Penjara, Hakim: Mencederai Kepercayaan Publik

Adapun sidang pada Senin 14 Oktober, beragendakan tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas nota keberatan atau eksepsi kubu terdakwa.

Dalam persidangan, jaksa meminta kepada Majelis Hakim PN Jakarta Selatan untuk menolak seluruh eksepsi terdakwa.

Ipar Hingga Adik Pengacara Ronald Tannur Diperiksa, Kejagung Beberkan Alasannya

Jaksa menyatakan kuasa hukum terdakwa mengucap sumpah soal penemuan bukti baru pada Mei 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Photo :
  • VIVA / Yeni Lestari
Kata Kejagung Soal Ketua Hakim Kasasi Sepakat Vonis Bebas Ronald Tannur

Meski begitu, sebelum persidangan itu dimulai, massa yang mengatasnamakan Aliansi Pemuda Peduli Hukum (APPH) menggelar aksi unjuk rasa di depan PN Jakarta Selatan.

Dalam aksinya, massa meminta Majelis Hakim mengabulkan dakwaan JPU dan melanjutkan persidangan ke pokok perkara dengan memeriksa saksi-saksi.

"Kami meminta dakwaan JPU dikabulkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," kata koordinator aksi, Bram, kepada wartawan di lokasi.

Menurut Bram, dakwaan Jaksa telah sesuai dengan peristiwa yang terjadi di mana terdakwa diduga melakukan sumpah palsu terkait bukti baru atau novum saat Peninjauan Kembali (PK).

"Karena sumpah palsu penemuan bukti baru atau novum yang diwakili oleh pengacara terdakwa IF adalah dasar surat kuasa dari terdakwa. Dalam konteks inilah dugaan pidana Pasal 242 KUHP tersebut," kata dia.

Sementara itu, aksi unjuk rasa sempat diwarnai kericuhan ketika tim kuasa hukum terdakwa menemui massa di depan PN Jakarta Selatan.

Tim kuasa hukum terdakwa, termasuk Kamaruddin Simanjuntak, mempertanyakan asal usul massa tersebut. 

Mereka juga ragu jika massa yang menggelar unjuk rasa memahami perkara yang tengah disidangkan.

"Kamu mahasiswa mana? Mana kartu mahasiswa kamu?" tanya salah satu kuasa hukum terdakwa.

"Kami punya hak untuk menyampaikan pendapat. Ini bagian dari demokrasi. Bapak tidak usah tunjuk-tunjuk," ucap seorang pendemo.

"Mahasiswa gadungan kamu, siapa yang bayar kamu," timpal kuasa hukum terdakwa.

Kamaruddin menyebut Ike Farida tidak pernah mengucapkan sumpah palsu lantaran tak pernah datang ke Pengadilan.

"Dia (massa) bilang Ike Farida membuat sumpah palsu. Ike Farida kan tidak pernah datang ke Pengadilan. Yang ke pengadilan itu adalah pengacaranya," kata Kamaruddin.

"Kalau Ike Farida ke pengadilan, berucap sumpah palsu, boleh. Tapi ini pun surat kuasa tidak ada. Mana surat kuasanya saya bilang. Jaksa juga tidak ada surat kuasanya," imbuh dia.

Sebelumnya, Kamaruddin mengatakan, novum yang diajukan saat PK memang sudah digunakan di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.

Hanya saja, Kamaruddin menyebut novum itu diajukan oleh kuasa hukum Ike terdahulu.

"Sudah digunakan saat di Pengadilan Negeri, sudah digunakan di Pengadilan Tinggi. Tapi yang mengajukan kuasa. Kuasa hukumnya magister hukum. Itu adalah kesalahan dari magister hukumnya. Magister hukum ini sudah kami ajukan di Peradi ya, kemudian dia akan disanksi dengan kode etik," ucap Kamaruddin, Senin 7 Oktober.

Adapun kasus ini bermula ketika Ike Farida menggugat PT Elite Prima Hutama terkait pembelian unit apartemen.

Namun, gugatan itu ditolak mulai dari PN Jakarta Selatan, banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, hingga kasasi.

Gugatan Ike Farida baru dikabulkan saat menghadirkan bukti baru atau novum ketika Peninjauan Kembali (PK).

Hanya saja, novum tersebut diduga sudah diguanakan pada sidang-sidang sebelumnya hingga membuat Ike dilaporkan atas dugaan memberikan sumpah palsu. Kasus itu membuat Ike ditetapkan sebagai tersangka dan terancam hukuman tujuh tahun penjara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya