Obituari

Rosihan Anwar, Perginya Sang Penulis Memoar

Cawapres Boediono Luncurkan Buku : Boediono dan Rosihan Anwar
Sumber :
  • VIVAnews/Tri Saputro

VIVAnews -Rosihan Anwar adalah saksi hidup perjalanan jurnalisme Indonesia.  Dia menyaksikan pergolakan Indonesia menuju merdeka, dan juga mengikuti hiruk pikuk pergantian penguasa di tiga zaman: orde lama, orde baru, sampai orde reformasi.

Followers TikToker Gali Loss Melejit Buntut Konten Hewan Ngaji, Polisi: Dia Tak Berfikir Panjang

Dilahirkan di Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat, pada 10 Mei 1922, Rosihan adalah anak keempat dari sepuluh bersaudara. Ayahnya seorang demang. Konon saat Rosihan lahir, ayahnya berkelahi melawan perampok di satu desa di pinggir Danau Singkarak. Itu sebabnya dia diberi nama "berkas cahaya", atau Rozehan.

Rosihan menyelesaikan sekolah rakyat (HIS) dan SMP (MULO) di Padang, sekolah sama pernah ditempuh Proklamator Bung Hatta. Dari Padang, Rosihan melanjutkan sekolah ke AMS yang setara SMA di Yogyakarta.

Setelah itu, pada kurun 1940-an, Rosihan berkarir di koran Asia Raya. Rosihan hijrah ke Yogyakarta ketika terjadi Agresi Militer Belanda II. Di Yogyakarta inilah, Rosihan mengenal Soeharto pertama kali, yang dia ungkapkan dalam sebuah memoar ditulis beberapa jam setelah Soeharto wafat pada 27 Mei 2006.

Di zaman penjajahan Belanda, Rosihan pernah mendekam di penjara Bukit Duri. Di masa Soekarno, koran Pedoman dipimpinnya ditutup paksa. Di masa Orde Baru, Soeharto pernah memberinya Bintang Mahaputra III bersama Jakob Oetama. Tapi tak sampai setahun setelah itu, tahun 1974, Pedoman juga diberangus Soeharto.

Pedoman, kata mantan Ketua Dewan Pers Atmaskusumah, adalah media yang kritis dan bahasa terpelihara. "Tulisannya mewakili pandangan rasional dan tajam," ujar Atmakusumah. Dia menilai Rosihan adalah tokoh penting di jagad wartawan Indonesia. "Dia memimpin dua media berpengaruh. Selain Pedoman, ada juga majalah Siasat. Yang terakhir itu didirikannya bersama cendekiawan Soedjatmoko".

Terpopuler: Tentang Nafkah Anak Laki-laki yang Sudah Baliqh sampai Masalah Obat Kuat

Warna junalistik Pedoman, juga sangat mungkin diwarnai dari pergaulan politik Rosihan sendiri. "Dia memang dikenal sangat dekat dengan tokoh Partai Sosialis Indonesia, seperti Sjahrir dan Soebadio Sastrosatomo. Meskipun demikan, dia mengaku bukan anggota PSI," ujar Atmakusumah. Kelak PSI dibubarkan oleh Soekarno, bersama Masyumi.

Setelah Indonesia merdeka, Rosihan pernah terjun di bidang perfilman. Dialah pendiri Perusahaan Film Negara bersama Usmar Ismail, yang kini dikenang sebagai Bapak Perfilman Indonesia. Rosihan bahkan sempat main dalam film Darah dan Doa sebagai figuran. Namun sejak 1981, Rosihan lebih sering berperan mempromosikan film Indonesia.

Rosihan menjadi Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia pada 1968. Ketika posisinya digantikan Harmoko, Rosihan menjadi Ketua Pembina PWI Pusat.

Sikap jurnalistik Rosihan, seperti dicatat Atmakususmah, adalah "kritis tapi juga kompromistis". Pada saat sejumlah media diberedel pasca kerusuhan anti orde baru 15 Januari 1974, Pedoman selamat sesaat, karena Rosihan memuat permintaan maaf kepada pemimpin orde baru. "Tapi, akhirnya tetap juga dibredel Soeharto," ujar Atmakusmumah, yang medianya Indonesia Raya, pada saat itu diberangus Soeharto lebih awal.

Jadwal Mobil SIM Keliling DKI Jakarta, Depok, Bandung, Bekasi Sabtu 27 April 2024

Sejak Pedoman tutup, Rosihan mengisi waktunya menulis artikel dan buku. Tiap kali ada tokoh-tokoh nasional yang wafat, Rosihan muncul dengan memoarnya mengenai tokoh itu di surat kabar. "Wartawan spesialis memoar" pun menjadi julukannya belakangan ini.

Dia memang punya ingatan kuat. Juga menyimpan banyak kisah dari para pelaku sejarah. Banyak penulis di usia senja sulit menuangkan gagasan karena daya konsentrasi melemah. Tapi, tidak bagi Rosihan. Di media cetak, artikelnya masih tetap muncul, dan mengalir. Dia tetap produktif meskipun usianya menjelang 90 tahun.

Rosihan, misalnya, telah menulis puluhan buku. Terakhir dia menulis buku bertajuk Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia Jilid IV, diterbitkan Kompas pada November 2010 lalu. Ia juga sedang menyiapkan memoar kehidupan cintanya dengan sang istri, Siti Zuraida Binto Moh Sanawi, yang lebih dulu meninggal. Zuraida memberinya tiga anak.

Kecintaannya pada dunia kepengarangan terus sampai akhir hayatnya. Saat sadar setelah operasi by pass jantung di Rumah Sakit Harapan Kita, awal April 2011 ini, Rosihan meminta anaknya mengambilkan kacamata dan tabloid Cek dan Ricek. "Rupanya dia ingin membacanya," kata Ilham Bintang, bos Cek & Ricek. "Beliau itu salah satu kolumnis di Cek & Ricek."

Namun Kamis 14 April 2011 pagi, jantungnya sudah tak kuat lagi. Rosihan mengeluhkan dadanya yang sakit. Dia dibawa ke rumah sakit, tapi jantungnya diduga berhenti berdetak, sebelum dia mendapatkan pertolongan. Si penulis memoar itu pun pergi. (np|riset berbagai sumber).

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya