LSM: UU Intelijen Potensial Langgar HAM

Demonstrasi menolak RUU Intelijen
Sumber :
  • Antara/ R Rekotomo

VIVAnews - Dewan Perwakilan Rakyat mensahkan Undang-undang Intelijen setelah sembilan tahun terkatung-katung. Sejumlah pasal krusial seperti kewenangan intelijen melakukan penyadapan lolos dalam UU baru ini.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menilai, UU Intelijen ini potensial mengancam perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan sipil warga negara. Undang-undang ini terlalu prematur, dan tidak cukup menjadi pedoman bagi reformasi intelijen, yang di masa lalu banyak melakukan praktik-praktik hitam, yang melanggar hak asasi dan merampas kebebasan warganegara.

Salah satu ketentuan di dalam UU Intelijen Negara yang memiliki potensi ancaman tinggi bagi perlindungan kebebasan warga negara, khususnya terkait dengan perlindungan hak-hak privasi, adalah munculnya pengaturan mengenai penyadapan-intersepsi komunikasi, yang tidak cukup memberikan batasan.

Ketentuan penyadapan yang diatur di dalam Pasal 32 UU Intelijen Negara, meski terkesan memberikan batasan dan syarat bagi intelijen, dalam menggunakan kewenangan penyadapan, namun hal itu belum cukup untuk memberikan perlindungan bagi warganegara.

Secara prinsipil, menurut Elsam, dilihat dari fungsi dan kewenangannya, lembaga intelijen negara  sepatutnya diberikan wewenang untuk melakukan intersepsi komunikasi—penyadapan. Namun aturan yang muncul di dalam UU justru memiliki potensi pada terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

Dalam praktik internasional, undang-undang yang mengatur mengenai kewenangan penyadapan bagi lembaga intelijen, harus secara tegas mengatur mengenai hal-hal berikut ini: (1) tindakan intersepsi yang dapat dilakukan, (2) tujuan melakukan intersepsi, (3) kategorisasi objek—individu yang dapat dilakukan intersepsi, (4) ambang kecurigaan—bukti permulaan,  yang diperlukan untuk membenarkan penggunaan tindakan intersepsi, (5) pengaturan mengenai pembatasan durasi dalam melakukan tindakan intersepsi, (6) prosedur otorisasi—perijinan, dan (7) pengawasan serta peninjauan atas tindakan intersepsi yang dilakukan.

Pengaturan ketat harus diberlakukan bagi aktivitas intersepsi komunikasi, sebab aktivitas ini merupakan salah satu tindakan yang membatasi hak asasi manusia seseorang, khususnya terkait dengan hak privasi seseorang. Dalam konteks Indonesia, penegasan serupa juga diberikan oleh sejumlah peraturan perundang-undangan nasional, seperti halnya ketentuan Pasal 32 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 12/2005 tentang Pengesahan ICCPR. 

Ketentuan ini makin diperkuat oleh Mahkamah Konstitusi melalui beberapa putusannya. Sedikitnya terdapat tiga putusan MK yang secara khusus memberikan penegasan mengenai jaminan hak privasi serta relasinya dengan keperluan intersepesi komunikasi oleh aparat negara, dalam kerangka penegakan hukum. Terakhir MK menegaskan dalam putusannya pada perkara No. 5/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Pasal 31 ayat (4) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik.

Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, MK menyatakan bahwa penyadapan merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain dan oleh karenanya melanggar hak asasi manusia (HAM), akan tetapi untuk kepentingan nasional yang lebih luas, seperti halnya penegakan hukum, hak tersebut dapat disimpangi dengan pembatasan. Menurut MK, pengaturan dengan menggunakan undang-undang akan memastikan adanya keterbukaan dan legalitas dari penyadapan itu sendiri.

Saat ini di Indonesia, sedikitnya terdapat sembilan undang-undang yang memberikan kewenangan penyadapan kepada sejumlah lembaga negara, dengan mekanisme dan cara yang berbeda-beda. Kesembilan peraturan perundang-undangan tersebut adalah: (1) Bab XXVII WvS tentang Kejahatan Jabatan, (2) UU No. 5/1997 tentang Psikotropika, (3) UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (4) UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi, (5) Perpu Nomor 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, (6) UU No. 18/2003 tentang Advokat, (7) UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (8) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan (9) UU No. 35/2009 tentang Narkotika.

Selain sembilan undang-undang tersebut, juga terdapat setidaknya dua Peraturan Pemerintah, dan dua Peraturan Menteri, yang materi muatannya mengatur tentang penyadapan, yaitu: (i) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (ii) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, (iii) Peraturan Menteri Informasi dan komunikasi No. 11 Tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, (iv) Peraturan Menteri No. 01/P/M.KOMINFO/03/2008 tentang Perekaman Informasi untuk Kepentingan Pertahanan dan Keamanan Negara. 

Oleh karena itu, sejalan dengan praktik-praktik internasional dan hukum HAM internasional, pengaturan mengenai pemberian kewenangan khusus intersepsi komunikasi—penyadapan bagi lembaga intelijen, di dalam RUU Intelijen, cukuplah disebutkan perihal pemberian kewenangan untuk melakukan intersepsi—penyadapan. Selebihnya, mengenai otorisasi, tata cara, pengawasan, dan penggunaan hasil penyadapan, serta mekanisme komplain bagi korbannya, haruslah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lain (undang-undang mengenai penyadapan).

Khusus terkait dengan pengaturan penyadapan di dalam UU Intelijen Negara, jelas pengaturan ini telah menyimpangi apa yang dimandatkan oleh putusan MK, yang menghendaki adanya sentralisasi pengaturan hukum penyadapan. Tidak mengikuti putusan MK, pembentuk undang-undang justru menjadikan UU Intelijen Negara, sebagai undang-undang khusus yang mengatur penyadapan yang dilakukan oleh lembaga intelijen, dan melepaskan lembaga intelijen, dari keharusan tunduk pada aturan-aturan penyadapan yang musti diatur di dalam UU tentang penyadapan.

Kekhawatiran lain akibat pengaturan penyadapan di dalam UU Intelijen Negara, adalah terkait dengan banyaknya lembaga yang diberikan wewenang untuk menyadap, jika lembaga tersebut adalah bagian dari unsur intelijen negara. Tidak hanya BIN, Intelijen TNI dan Kepolisian, intelijen kementerian juga diberikan wenang untuk melakukan tindakan penyadapan. Hal ini tentu menjadi ancaman yang sangat besar bagi perlindungan hak-hak sipil warganagara, yang tegas secara konstitusional dijamin oleh konstusi, UUD 1945.

Problem lain dari UU Intelijen Negara, adalah terkait dengan ketidakjelasan mekanisme komplain dan pemulihan. Meskipun di dalam ketentuan Pasal 15 UU Intelijen Negara mengatur tentang ketersediaan pemulihan bagi orang-orang yang korban dari suatu praktik operasi intelijen, namun ketentuan tersebut tidak secara jelas mengatur tentang mekanisme, bagaimana korban bisa mengakses pemulihan yang disediakan.

Momen Akrab Prabowo dan Jokowi di Acara Bukber di Istana Negara

Di sisi lain, undang-undang ini justru memberikan acaman pidana yang cukup tinggi, bagi mereka yang dianggap melakukan pembocoran rahasia informasi intelijen. Setiap orang yang yang dengan sengaja, atau karena kelalaian dapat dipidana dengan ancaman 10 tahun penjara dan 7 tahun penjara. Artinya, selain mengancam kebebasan sipil dan perlindungan hak asasi manusia, kelahiran UU Intelijen Negara, juga telah melahirkan rezim kriminalisasi baru bagi warganegara.

Sisterhood Modest Bazaar

Sisterhood Modest Bazaar, Berburu Baju Lebaran Hingga Menu Berbuka

Pada bulan Ramadhan dan menyambut datangnya Hari Raya, Modinity kembali hadirkan Sisterhood Modest Bazaar pada 27-30 Maret 2024 di The Hall, Senayan City

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024