Eksekusi Mati Gembong Narkoba Freddy Terancam Ditunda

Ilustrasi sidang di pengadilan.
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews - Pakar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Prof Nyoman Sarikat Putrajaya, menyatakan bahwa pengajuan Peninjauan Kembali (PK) yang ditempuh terpidana mati, Freddy Budiman, bakal menunda pelaksanaan eksekusi mati gembong narkoba tersebut. Sebab, eksekusi masih harus menunggu keputusan PK.

"Secara yuridis, PK memang boleh diajukan satu kali, bahkan Mahkamah Konstitusi membolehkan itu dua kali. Jadi, jika itu diajukan, maka eksekusi harus menunggu keputusan PK," kata Nyoman kepada VIVAnews di Semarang, Jumat, 12 Desember 2014.

Diketahui, Kejaksaan Agung telah menetapkan gembong narkoba Freddy untuk dihukum mati. Namun jelang pelaksanaan eksekusi mati itu, Freddy berdalih, prosedur hukum melalui novum atau bukti baru yang ia punya akan meringankan hukumannya.

Menanggapi hal itu, Nyoman mengatakan, sekalipun grasi dari presiden telah ditolak, namun jika terpidana masih mengajukan upaya PK maka hukuman tetap harus menunggu keputusan PK tersebut.

"Jika PK ditolak, maka hukuman mati itu tetap dilaksanakan, meskipun waktunya berbeda, " ucap Nyoman.

Guru Besar Hukum Undip itu mengatakan, pidana mati juga pernah dimohonkan (review) untuk uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK berpendapat pidana mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Mimpi Borussia Dortmund Belum Berakhir

"Jadi secara umum pidana mati di Indonesia masih tetap dipertahankan," kata dia. 

Namun demikian, permohonan grasi secara yuridis dikatakannya harus mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung, baru kepada Presiden. Hal itu sesuai dengan amandemen terbaru Undang-Undang 1945. MA kemudian mempunyai kekuatan menolak atau menerima sebelum akhirnya diputuskan presiden.

"Jadi terkait ini (masalah Freddy), memang tidak ada ketentuan yang mengatur batas waktu pelaksanaan eksekusi bagi terpidana yang sudah divonis mati oleh pengadilan karena pelaksanaan eksekusinya menunggu persetujuan presiden," kata dia.

Hukum positif

Lebih lanjut dikatakan Nyoman, sesuai Undang-Undang Nomor 35/2009 tentang Narkotika telah mengatur ancaman hukuman mati bagi pengedar narkoba untuk golongan I dan II, sementara untuk golongan III tidak diatur pidana mati.

"Hukum postif itu karena melihat bahwa dampak peredaran narkoba sangat besar. Bahkan membahayakan tak hanya satu generasi," ucapnya.

Hukuman mati, kata dia, selama ini telah diberikan kepada kasus pidana berat, seperti terorisme, dan narkoba. Namun, untuk koruptor sebenarnya juga diatur, tetapi belum pernah ada yang divonis mati.
 
"Meski praktik selama ini belum seluruh terpidana mati menjalani eksekusi, bahkan ada yang menunggu sampai puluhan tahun sebelum dieksekusi," kata dia. (ms)

Ganjar Ngaku Siap jadi Oposisi Prabowo, Senior PDIP Bilang Itu Murni Pribadi Bukan Partai
Gedung Bank Indonesia (BI).

BI dan MUI Teken Kerja Sama Pengembangan Pasar hingga Digitalisasi Pengelolaan Syariah

BI dan MUI berkomitmen untuk mendukung dan mewujudkan iklim yang kondusif bagi pengembangan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah (eksyar) di Indonesia.

img_title
VIVA.co.id
8 Mei 2024