Enam Perkara Tes Keperawanan yang Kontroversial

ilustrasi seorang guru
Sumber :
  • 108jakarta.com

VIVA.co.id - Masyarakat riuh lagi menyoal ide tes keperawanan. Kali ini muncul dari Kabupaten Jember, Jawa Timur. Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat mengusulkan tes keperawanan bagi siswi SMP dan SMA yang rencananya dimasukkan dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang perilaku terpuji (ahlakul karimah).

Usulan itu, sebagaimana biasanya, menuai kecaman dari banyak kalangan, mulai anggota DPR, mantan menteri, pegiat pendidikan, sampai organisasi massa perempuan. Ragam pendapat dilontarkan, mulai yang setegah mendukung dan separuh menolak, mengecam tapi memahami alasannya, sampai menolak keras karena dinilai bertentangan dengan konstitusi.

Gagasan menguji kegadisan perempuan, terutama pelajar, yang kemudian menuai pro dan kontra sesungguhnya bukan hal baru di Tanah Air. Kebanyakan memang muncul di daerah tapi ada juga yang bermula dari pusat. VIVA.co.id mencatat sedikitnya ada lima lagi ide uji keperawanan yang paling kontroversial sejak tahun 2010.

Di mana saja?

WGAT: Tes Keperawanan TNI Sakiti Wanita

Jambi

Seorang legislator Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD Jambi, Bambang Bayu Suseno, melontarkan wacana tes keperawanan atau kegadisan bagi calon siswa SMA di provinsi itu September 2010. Dia mengaku mewacanakan itu sebagai bentuk kegelisahan atas perilaku pergaulan bebas pelajar kala itu dan demi mereformasi pendidikan.

Bambang mengoreksi pemberitaan media massa yang menyebut wacananya sebagai tes keperawanan. Menurutnya, istilah yang benar adalah tes kegadisan karena tes keperawanan lebih bermakna buruk atau konotatif.

Apa pun istilah yang dipakai Bambang, publik telah ribut, terutama di media sosial, kala itu. Sebagian mengecam ide Bambang karena tes keperawanan itu adalah bagian dari hal paling pribadi. Sebagian yang lain menuding Bambang memandang rendah perempuan karena keperjakaan lelaki/siswa tak dites juga. Ada yang menilai melanggar hak asasi manusia, melanggar hak anak/pelajar, melanggar konstitusi dan sebagainya.

Bambang berkilah bahwa idenya hanya inisiatif pribadi, bukan sebagai anggota DPRD. Karena itu pula, dia tak berniat mengusulkan ide itu menjadi Peraturan Daerah di Jambi. “Karena saya wakil rakyat, mungkin diekspose. Kalau saya tukang becak, mana mungkin diekspose. Saya memikirkan ini bukan untuk Jambi saja, tapi untuk nasional. Jadi silakan diwacanakan di nasional,” katanya dalam wawancara dengan VIVA.co.id ketika itu.



Magetan

Awalnya adalah sebuah sekolah, SMKN I Magetan, Jawa Timur, yang melakukan tes kehamilan terhadap 300 siswinya pada 10 November 2010. Tes kehamilan itu bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat. Sekolah berdalih mencegah seks bebas. Tes dilakukan kepada siswa kelas XI yang baru selesai praktik kerja industri.

Kabar itu segera menyebar. Amnesty International AI menilai upaya-upaya melakukan tes keperawanan atau tes kehamilan telah mencoreng hak-hak dasar anak perempuan Indonesia.

Tapi tak semua menolak. Seluruh siswa SMKN 3 Kota Malang, Jawa Timur, menggelar tanda tangan bersama sebagai bentuk mendukung atas tes keperawanan itu. Mereka sesungguhnya menolak perilaku seks bebas tapi sekaligus mengusulkan kepada Pemerintah Kota untuk melakukan tes keperawanan kepada masing-masing sekolah. Tujuannya agar para pelajar tidak tercemar aksi seks bebas.

Tes Keperawanan Prajurit TNI, Pelecehan atau Kehormatan?



Prabumulih

Dinas Pendidikan Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, berencana melakukan tes keperawanan pada siswi sekolah di kota itu pada Agustus 2013. Rencana itu diklaim dapat menekan tindakan asusila terhadap para pelajar di Prabumulih. DPRD setempat, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat, kompak mengecam wacana tes kegadisan itu.

Tapi Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI, Hasrul Azwar, justru mengaku mendukung rencana itu. Dia bahkan mengusulkan tes keperawanan itu diberlakukan kepada semua siswi mulai awal tahun 2014.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Prabumulih saat itu, M Rasyid, bahkan mengatakan telah menyusun anggaran untuk program tes keperawanan. Biaya untuk tes keperawanan akan dimasukkan ke dalam pengajuan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2014.

Namun rencana itu urung dilaksanakan setelah kecaman datang dari banyak kalangan, terutama Menteri Pendidikan, MUI, dan DPRD. “Untuk apa, sih, melakukan tes virginitas? Kalau sudah tidak perawan lagi, terus mau diapakan? Apa dia tidak boleh sekolah? Kalau tujuannya untuk perbaikan supaya anak-anak terhindar dari hal negatif, ada cara-cara lain yang lebih baik,” kata Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan kala itu.

Dinas kemudian mengoreksi bahwa tes keperawanan itu hanya untuk satu siswi, bukan untuk semua pelajar perempuan di Kota Prabumulih. Semua bermula ketika ada enam siswi SMA di Kota Prabumulih yang berhasil lolos dari perdagangan manusia. Mereka semula hendak dijual kepada pria hidung belang seharga Rp1 juta per orang. Transaksi itu berhasil digagalkan Polisian berkat informasi warga.

Namun masalah kemudian timbul karena seorang siswi yang berhasil diselamatkan mengaku sudah tidak perawan. Polisi mengatakan, perempuan itu sesungguhnya bukan pelajar, namun mengaku sebagai siswi SMA. Polisi tak bisa tahu perempuan itu memang benar tidak perawan lagi atau ia sekadar membual.

Orang tua siswi itu khawatir anaknya juga tidak perawan lagi. Dari sinilah muncul ide tes keperawanan untuk menghindari fitnah. “Jadi, tes sesungguhnya tidak diusulkan diterapkan untuk semua siswi, tapi terhadap salah satu siswi SMA yang terjaring kasus perdagangan manusia itu,” kata Rasyid.

“Jadi Disdik (Dinas Pendidikan) Prabumulih sebenarnya tidak pernah mewacanakan tes keperawanan bagi seluruh siswi atau calon siswi di Kota Prabumulih, apalagi mengajukan anggaran APBD 2014 untuk tes keperawanan tersebut,” Rasyid menambahkan.



Sabang

Dinas Kesehatan Kota Sabang, Aceh, mendadak tenar tapi karena dikecam. Bukan urusan spesifik tes keperawanan tetapi pokoknya mengarah ke perkara kegadisan. Semua bermula ketika beredar kuesioner Dinas Kesehatan di sejumlah SMP tentang organ vital siswi pada September 2013. Para pelajar perempuan diwajibkan menjawab pertanyaan berapa ukuran alat kelamin dan payudara mereka.

Anggota DPR RI kala itu, Nurhayati Ali Assegaf, menilai kuesioner itu vulgar dan tak sesuai budaya bangsa Indonesia. "Kita harus tahu budaya Timur kita bagaimana. Jika itu kuesioner pendidikan seks, mestinya tidak ada hubungannya dengan ukuran BH," katanya.

Anggota DPR lainnya, Ace Hasan Syadzily, menilai penyebaran koesioner berisi berbagai gambar alat vital itu sangat janggal, "Untuk apa isian formulir ukuran kelamin dan payudara? Apa kaitannya dengan dunia pendidikan? Aneh sekali," katanya.

Kritik keras juga dilontarkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI meminta Dinas Kesehatan Kota Sabang segera menarik kuesioner itu. Menurut Komisioner KPAI, Maria Advianti, pertanyaan-pertanyaan di kuesioner itu tidak relevan dengan permasalahan kesehatan reproduksi anak dan remaja.

Maria Advianti yang juga Sekretaris KPAI mewanti-wanti, "Kuesioner yang menampilkan gambar, foto, atau sketsa bagian-bagian alat vital reproduksi tanpa penjelasan yang memadai bisa mengarah kepada pornografi."

Kementerian Kesehatan mengatakan kuesioner itu merupakan upaya pemerintah untuk mendeteksi dini masalah reproduksi siswa. Itu bukan survei, tapi upaya untuk mendeteksi masalah kesehatan anak di sekolah.

Dia membenarkan bahwa kegiatan ini merupakan program resmi pemerintah yang dilaksanakan setiap tahun di seluruh daerah di Indonesia terhadap siswa usia remaja, yakni di tingkat SMP dan SMA. Anak diajarkan untuk melakukan deteksi dini, sekaligus tentang kesehatan reproduksi.

Didesak Hapus Tes Keperawanan, Ini Respons Moeldoko



Polri

Kali ini bukan muncul dari dari daerah, melainkan dari pusat. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dikabarkan menerapkan tes keperawanan terhadap para calon polisi wanita (polwan) pada November 2014. Praktik itu masih dilakukan walau telah dilarang empat tahun lalu. Tes keperawanan dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan fisik secara rutin.

Organisasi pengawas Hak Asasi Manusia (HRW) mengkritik praktik itu karena dinilai sebagai tindakan diskriminasi dan melukai serta mempermalukan wanita. Mereka yang gagal tes tidak dikeluarkan tapi uji itu disebut menimbulkan trauma.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Inspektur Jenderal Polisi Ronny Sompie, mengakui masih ada praktik tes keperawanan kepada calon polwan. Tapi dia mengatakan calon polwan tidak harus perawan. Tidak ada peraturan yang mewajibkan polwan untuk perawan sehingga tidak ada diskriminasi.

Seorang calon polwan mengatakan tidak keberatan dengan pemeriksaan itu. Namun dia keberatan dengan bagaimana pemeriksaan dilakukan di ruangan yang banyak dengan orang lainnya.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut tes keperawanan merupakan tindak serangan seksual yang merendahkan derajat manusia dan diskriminatif terhadap perempuan. Komnas mendesak Kepala Polri mengeluarkan kebijakan tertulis dan memastikan tak ada toleransi terhadap praktik tes keperawanan.



Jember

Seorang anggota Komisi D DPRD Jember, Mukti Ali, mengusulkan tes keperawanan bagi pelajar SMP dan SMA yang rencananya dimasukkan dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang perilaku terpuji atau ahlakul karimah. Dia menyampaikan ide itu saat rapat dengar pendapat dengan Dinas Pendidikan setempat pada Februari 2015.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, menilai gagasan tes keperawanan itu bias gender. Sebab pihak laki-laki juga harus ditanya. “Saya paham, semangat dari wacana itu ingin mengedepankan moralitas. Tapi caranya jangan begitu karena kerjaan ke depan masih banyak," katanya.

Penolakan tegas disampaikan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo. Menurutnya, keperawanan itu menyangkut masalah privat dan tak memenui syarat untuk disusun regulasi. "Dari segi aturan, masalah privat itu tidak bisa dijadikan regulasi karena syarat regulasi, enggak masuk. Kalau soal itu masuk untuk agama," katanya.

Organisasi wanita Muhammadiyah, yakni Aisyiyah, terang-terangan menolak ide itu. Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur, dr Esty Martiana Rachmie, mengatakan ide tes keperawanan yang akan dimasukkan dalam Perda ahlakul karimah itu jelas sesat nalar. Sebab keperawanan seorang perempuan bukan ukuran atau tolok ukur moralitas.

Esty bisa memaklumi latar belakang yang menjadi dasar sehingga ide itu muncul. Sebab Kabupaten Jember dengan penduduk terpadat kedua di Jawa Timur setelah Surabaya tengah mengalami degradasi moral di kalangan pelajar.

“Tapi tidak bisa dengan tes keperawanan. Harus ada evaluasi menyeluruh mulai dari keluarga, institusi pendidikan, dan lembaga keagamaan di sana. Di Jember itu terkenal religius, tapi mengapa moral pelajarnya makin merosot. Harus dipikirkan itu pendampingannya,” katanya.

Wakil Ketua DPRD Jember, Ayub Junaidi, mengoreksi kontroversi ituy. Dia juga meminta maaf atas wacana tes keperawanan yang disampaikan legislator. "Saya tegaskan, di DPRD Jember tidak ada usulan untuk perda yang berkaitan dengan wacana tes keperawanan para pelajar, dan hal tersebut bukan wacana Dewan secara kelembagaan, tapi wacana pribadi anggota Dewan," katanya.


Baca berita lain:


Ilustrasi  traveling.

Sayembara Aneh untuk Mahasiswi Perawan Berhadiah Beasiswa

"Penerima beasiswa akan dikenakan tes keperawanan biasa."

img_title
VIVA.co.id
24 Januari 2016