- ANTARA/Yudhi Mahatma
VIVA.co.id - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) prihatin dengan pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo yang mengatakan, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan diarahkan melalui rekonsiliasi.
Selain itu, Prasetyo juga mengatakan, pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc harus didahului dengan adanya keputusan politik di DPR.
"Pernyataan HM Prasetyo adalah persepsi sesat yang mengabaikan tugas dan fungsinya sebagai penyidik dan penuntut kasus pelanggaran HAM yang berat," kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Ferry Kusuma di kantor KontraS, Jakarta, Rabu, 22 April 2015.
Menurut Kontras, Pasal 21 UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM menyebutkan, penyidikan perkara pelanggaran HAM berat harus dilakukan oleh Jaksa Agung. Namun, sejak tahun 2002 sampai sekarang, Jaksa Agung hanya saling melempar berkas dengan Komnas HAM, tanpa melakukan penyidikan.
"Pernyataan Jaksa Agung yang menyebut bahwa pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc harus melalui rekomendasi DPR bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi," ujar Ferry menambahkan.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 18/PUU-V/2007 memerintahkan DPR dalam mengusulkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc harus berdasarkan pada hasil penyelidikan dan penyidikan oleh Komnas HAM dan Jaksa Agung. Itu artinya, atas hasil penyelidikan Komnas HAM, Jaksa Agung sudah semestinya menyelesaikan penyidikan terlebih dahulu, bukan malah mendorong rekonsiliasi.
"Di samping itu, pernyataan HM Prasetyo juga mengabaikan visi misi pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, yang katanya pemerintah akan menjajaki pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc."
(mus)