ICW: Indonesia Butuh Revisi UU Tipikor

Tantangan Pemberantasan Korupsi
Sumber :
  • ANTARA/ Prasetyo Utomo

VIVA.co.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, Indonesia tidak perlu merevisi Undang-Undang KPK. Tapi, untuk menghadapi korupsi, Indonesia sangat butuh merevisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor).

Soal Revisi UU KPK, Menteri Yasonna: Publik Salah Paham

Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Aradila Caesar menilai, UU Tipikor harus direvisi karena masih banyak memiliki kelemahan.

"Revisi UU Tipikor masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2014-2019, tapi tidak menjadi prioritas jangka pendek. Jika pemerintah dan DPR ingin memperkuat KPK dan mendukung pemberantasan korupsi, bukan dengan cara merevisi UU KPK. Justru yang harus dilakukan adalah merevisi UU Tipikor," ujar Aradila di kantor ICW, Minggu 21 Juni 2015.

Dalam wacana revisi UU KPK tahun 2015, setidaknya ada lima poin krusial yang perlu dicermati dan berpeluang melemahkan KPK.

Seperti pencabutan kewenangan penyadapan, penghapusan kewenangan penuntutan KPK, diperlukannya pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK, memperketat rumusan kolektif kolegial, dan KPK diberikan kewenangan menghentikan perkara.

Dari kelima poin tersebut, Caesar menjelaskan dampak yang ditimbulkan apabila kelima isu krusial tersebut diakomodasi dalam revisi UU KPK.

"KPK akan menjadi mandul dalam mengungkap kasus korupsi. Perkara korupsi KPK akan berlarut-larut karena penyidikan dan penuntutan dilakukan dua lembaga yang berbeda. Selain itu, kewenangan penuntutan dilakukan terpisah dan potensi penghentian perkara korupsi oleh kejaksaan sangat terbuka lebar," ujarnya.

Lebih lanjut, Aradila juga menyebut dampak lain dikhawatirkan akan membuka praktik korupsi baru, jika kewenangan penuntutan KPK dilimpahkan ke kejaksaan dengan modus penghentian perkara.

Selain itu, dibentuknya dewan pengawas hanya akan menimbulkan tumpang tindih pengawasan, karena sudah ada komite elite KPK dan pengawasan internal yang mengawasi kerja KPK.

"Memberikan kewenangan penghentian perkara hanya akan mendegradasi kualitas KPK sebagai penegak hukum modern. Di samping itu, KPK tak lagi menjadi contoh bagi kepolisian dan kejaksaan dalam hal penanganan perkara korupsi. Bahkan KPK akan berangsur menjadi "Komisi Pencegah Korupsi," tuturnya.

Sementara itu, ICW memberikan sejumlah rekomendasi dalam revisi UU Tipikor yang diharapkan dapat mendukung optimalisasi pemberantasan korupsi. Seperti, pemberatan ancaman pidana yang merugikan keuangan negara.

"Semestinya ancaman pidana kepada pejabat publik yang melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangannya mendapat hukuman lebih berat dibanding yang bukan pejabat publik," kata Aradila.

Selain pemberatan hukuman, Ardila menilai bahwa dalam UU Tipikor harus ada pengaturan pidana dan perampasan kekayaan. Kemudian, UU Tipikor harus ditambahkan hukuman berupa pencabutan hak politik terhadap terpidana korupsi. Menurut Ardila, terpidana tidak boleh mendapat keringanan hukuman berupa remisi dan pembebasan bersyarat.

"Harta benda yang diperoleh secara tidak sah atau tidak sesuai dengan pendapatannya yang sah dirampas untuk negara. Lalu, terpidana juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, hak untuk mendapat remisi, pembebasan bersyarat dan cuti, hak memperoleh gaji atau tunjangan atau fasilitas sebagai PNS, hak mendapat dana pensiun dan hak untuk menduduki jabatan struktural di lingkungan pemerintah," katanya.

Dianty Winda Yanti - Jakarta

Gerindra Curiga Barter Revisi UU KPK dan Pengampunan Pajak
Sidang paripurna DPR Bahas RUU Pilkada

Cabut Revisi UU KPK, Demokrat Dekati PKS dan Gerindra

Butuh dukungan pemerintah dan mayoritas partai politik di DPR.

img_title
VIVA.co.id
25 Februari 2016