Pilot Senior: Langit Papua Paling Sulit Ditaklukkan

Pesawat Trigana Air
Sumber :
VIVA.co.id - Pesawat maskapai Trigana Air mengalami kecelakaan di kawasan pegungungan Oksibil, sebuah distrik di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, pada Minggu, 16 Agustus 2015.
Tim SAR Temukan 20 Jasad Korban Kapal Karam di Batam

Berdasarkan pengamatan dari udara, pesawat itu ditemukan dalam kondisi hancur pada koordinat 04 derajat 49 menit 289 lintang selatan, 140 derajat 29 menit 953 bujur timur. Pesawat diduga menabrak gunung lalu jatuh di ketinggian 8.500 kaki. 
11 Nelayan Hilang di Perairan Pangandaran

Lokasi pesawat dengan empat awak dan 49 penumpang itu berada di 7 mil dari landasan Bandara Oksibil, bandara tujuan. Badan SAR Nasional (Basarnas) mengklaim lokasi jatuhnya pesawat pada radius 20 meter x 100 meter.
KNKT Selidiki Pesawat Wings Air Tabrakan di Kupang

Tim SAR menghentikan sementara pencarian karena cuaca menjelang malam hujan deras dan gelap jarak pandang hanya satu meter. Kondisi cuaca itu meyulitkan tim SAR untuk mengevakuasi korban.

Tim SAR berencana mengevakuasi para korban pada Selasa, 18 Agustus 2015. Namun proses itu bergantung pada kondisi cuaca di lokasi. Lagi pula, lokasi ditemukan pesawat itu cukup terpencil dan kawasan pegunungan terjal sehingga tak mudah dijangkau.

Kapten Abdul Aziz Hamid, seorang pilot senior, memberikan kesaksian bahwa jalur penerbangan di Papua adalah yang paling sulit di Indonesia. Banyak pegunungan tinggi dan terjal. Cuaca dapat berubah setiap saat. Awan muncul tiba-tiba sehingga harus secepat mungkin dihindari.

Menurut Kapten Aziz, penerbangan di langit Papua tak sama dengan di wilayah lain di Indonesia. Jalurnya bisa berbelok-belok atau naik-turun menyesuaikan situasi alam.

Seorang pilot harus sangat awas saat menerbangkan pesawat di langit Papua meski sekarang telah dibantu berbagai teknologi prakiraan cuaca maupun alat penentu lokasi (GPS).

Dia mengumpamakan dalam satu penerbangan di langit Papua, seorang pilot tiba-tiba melihat secara visual awan di depan. Pilot harus mengambil keputusan cepat dan tepat untuk menghindari awan: berbelok ke kanan atau ke kiri, naik atau turun.

Keputusan berbelok bisa saja berhahaya karena di kanan dan kiri ada gunung. Begitu juga, misalnya, keputusan turun yang kemungkinan ada gunung menghadang. 

“Kadang-kadang secara visual tiba-tiba ada awan. Jadi harus turun atau naik cepat. Kalau di depan ada awan lagi, harus cepat naik atau turun,” katanya dalam perbicangan dengan tvOne pada Selasa pagi, 18 Agustus 2015.

Di sisi lain, dia menambahkan, landasan pacu di banyak bandara di Papua sering basah atau lembab sehingga licin dan membahayakan pendaratan pesawat. Sebagian besar bandara di Papua sekarang sudah relatif memadai, meski semua pilot harus tetap ekstra waspada.

“Saya dulu pernah mendarat di (sebuah bandara) di Papua. Runway (landasan pacu di bandara) basah, licin. Kalau langsung mengerem, pesawat bisa berputar (tergelincir), tak terkendali,” katanya.

Semua pilot, kata Kapten Aziz, memang telah dilatih untuk menerbangkan pesawat di semua kondisi geografi dan cuaca. Namun kehebatan seorang pilot benar-benar diuji ketika menerbangkan pesawat di langit Papua karena kondisi alam yang memang tak mudah ditaklukkan.

“Kalau sudah pernah menerbangkan pesawat ke Papua, insya Allah, ke tempat lain sudah lapang (relatif lebih mudah,” ujar Aziz. (ase)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya