Demokrat Bantah Impor Gula SBY Rugikan Negara Rp3 Triliun

Mantan Presiden SBY.
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Mantan Dirut PT RNI Ismed Hasan Putro mengatakan, kebijakan penetapan kuota impor gula pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merugikan negara hingga triliunan rupiah. Pernyataan itu langsung dibantah oleh Partai Demokrat.

SBY Kaget Lihat Tubuh Kurus Mike Mohede

"Karena kebutuhan industri meningkat pesat, kebutuhannya pun meningkat pula. Sehingga kemampuan dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi permintaan. Dan impor adalah jalan terakhir yang dilakukan," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Herman Khaeron, Selasa, 25 Agustus 2015.

Herman mempertanyakan maksud dari pernyataan tersebut. Sebab, dia mencatat ketika Ismed menjabat Dirut RNI justru selalu minta kuota impor gula untuk RNI.

"Dan menyatakan bahwa sampai kiamat pun swasembada gula tidak akan tercapai," ujarnya.

Menurut Herman, impor gula itu hanya digunakan untuk kebutuhan industri dengan memperhatikan industri gula dan petani tebu dalam negeri. Pada era pemerintahan SBY, ada lima komoditas pangan pokok yang secara khusus diupayakan  menuju swasembada seperti beras, gula, daging sapi, jagung, dan kedelai.

Kader Disegani, Demokrat Kehilangan Sosok Gubernur Kepri

"Progress report dan evaluasi setiap tahunnya selalu ada kemajuan, bahkan untuk beras dan jagung sejak tahun 2008 ditetapkan sebagai swasembada berkelanjutan, karena produksinya sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri," katanya menjelaskan.

Wakil Ketua Komisi IV DPR ini menambahkan, sejak tahun 2004 SBY sudah mencanangkan revitalisasi sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan sebagai upaya menuju kemandirian pangan.

Kemelut PSSI, Suporter Sepakbola Curhat ke SBY

"Dokumennya lengkap, serta arah, tujuan dan pencapiannya jelas dan terukur."

Sebelumnya, Ismed Hasan Putro yang juga Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia menyatakan, Kementerian Perdagangan di era pemerintahan SBY menetapkan kuota impor gula rafinasi hingga 6 juta ton. Menurut dia, kebijakan itu menyebabkan potensi kerugian negara mencapai Rp3 triliun.

(mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya