VIVA.co.id - Pada 1803, tiga jemaah haji asal Minangkabau mengembangkan gerakan Paderi sekembali dari Tanah Suci. Tujuan utama gerakan ini adalah mengembangkan ajaran Islam yang lebih modern untuk melawan praktik-praktik tradisional setempat.
Pemerintah Kolonial Belanda rupanya tak senang dengan gerakan ini, dan menilainya sebagai cikal bakal pemberontakan. Sejak saat itu, Belanda mulai mengawasi kegiatan haji secara ketat. Belanda takut kalau masyarakat pribumi yang menunaikan haji akan membawa pemikiran baru lalu mengembangkan gerakan untuk menentang penjajahan.
Di buku Naik Haji di Masa Silam Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji Jilid I (1482 – 1890), karya Henri Chambert-Loir diceritakan, pada 1825, Belanda mengeluarkan berbagai peraturan haji, salah satunya disebut ordonansi. Peraturan ini membuat ongkos naik haji sangat tinggi.
Belanda menuntut para calon haji untuk memperoleh paspor dan membayar pajak sebesar 110 gulden. Aturan tersebut, juga memungkinkan Pemerintah Belanda mengawasi aktivitas para pribumi selama bermukim di Mekkah.
Pemerintah Belanda juga berusaha memonopoli angkutan haji. Sebelumnya, hak untuk mengangkut jamaah haji Indonesia (saat itu disebut Hindia Belanda) dipegang oleh pemilik-pemilik kapal Arab dan Inggris.
Inggris ikut dalam bisnis pengangkutan haji Nusantara karena melihat potensinya yang besar. Pada masa itu, pengangkutan jemaah haji tak lagi menggunakan kapal layar. Namun kapal api yang lebih canggih.
Pemerintah Belanda juga menyediakan angkutan haji, memberikan izin monopoli pengangkutan kepada kongsi tiga, yaitu Rotterdamsche Llyod, Stoomvaartmatschappij Nederland, dan Stoomvaartmatschappi Oceaan pada 1873.
Selanjutnya... Belanda sulitkan jemaah haji...