Terdakwa Korupsi Suap Pilkada Morotai Gugat UU KPK

Bupati Morotai Rusli Sibua
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA.co.id - Kasus suap yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar berbuntut uji materi. Bupati Morotai periode 2012-2016, Rusli Sibua, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga melakukan suap terhadap Akil dalam kasus sengketa Pilkada Kabupaten Morotai mengajukan uji materi atas sejumlah pasal.

KPK Periksa Pesaing Bupati Buton di Pilkada 2011

Pada sidang pendahuluan, Rusli mengajukan gugatan terhadap Pasal 50 ayat (2), ayat (3), Pasal 82 ayat (1) huruf d, Pasal 137, pasal 143 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 52 ayat (1), ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK).

Kuasa hukum pemohon Achmad Rifai menjelaskan, pada Pasal 50 ayat (2) KUHAP mengatur tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. Menurut pemohon yang masih dalam proses praperadilan, kata 'segera' dalam pasal tersebut dalam penerapannya cenderung disalahartikan.

KPK Periksa Istri Mantan Ketua MK Akil Mochtar

Sebab, KPK mempercepat proses penyerahan tahap I dan tahap II dengan menyerahkan berkas tahap II pemohon dengan atau tanpa melaksanakan pemeriksaan saksi.

"Permohonan ini didasarkan pada penetapan tersangka oleh KPK pada 6 Juni. Kemudian baru dikeluarkan laporan tindak pidana korupsi pada 23 Juni. Lalu keluar sprindik 25 Juni. Harusnya proses penyelidikan dan penyidikan ujung akhirnya adalah penetapan tersangka," ujar Achmad dalam sidang uji materi UU KUHAP dan UU KPK di Gedung MK, Jakarta, Rabu, 9 September 2015.

SBY Undang Netizen Kopi Darat, Bahas Revisi UU KPK

Rifai menilai, telah terjadi kriminalisasi pada Rusli karena ia ditetapkan sebagai tersangka terlebih dahulu sebelum ada laporan dan sprindiknya. Karena itu, Rusli mengajukan praperadilan atas kasus ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 6 Juli dan dipanggil untuk sidang praperadilan pada 27 Juli.

Ia melanjutkan, pada sidang praperadilan yang pertama pada 27 Juli, hakim meminta sidang ditunda. Alasannya, KPK meminta untuk menyiapkan materi menghadapi gugatan ini. Tapi ternyata KPK malah melimpahkan kasus ini ke pengadilan. Padahal, sesuai Pasal 65 dan pasal 116 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) KUHAP disebutkan tersangka mempunyai hak untuk mengajukan saksi yang meringankan.

Tersangka mengajukan saksi yang meringankan dalam proses praperadilan, tapi hingga perkaranya dilimpahkan ke pengadilan, saksi sama sekali tidak diperiksa. Sehingga KPK dituding sengaja menggugurkan perkara ini karena sudah dilimpahkan ke pengadilan. Padahal, praperadilan diajukan sebelum diperiksa sebagai tersangka.

Rifai menilai, pasal yang digugat digunakan penegak hukum untuk menggugurkan praperadilan. Begitu pun dengan pasal lain yang digugat yaitu Pasal 82 ayat (1) huruf d, Pasal 137, Pasal 143 KUHAP dan Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2). Dalam konteks kasus ini, saksi pemohon bahkan belum diperiksa, tapi perkaranya malah dilimpahkan ke pengadilan.

Ia meyimpulkan, kata 'segera' dalam pasal yang digugat telah menimbulkan pelanggaran hak terdakwa. Karena itu seharusnya dimaknai 'sepanjang belum ada permohonan gugatan praperadilan oleh pemohon' atau apabila terdakwa sudah mengajukan praperadilan maka praperadilannya harus didahulukan.

Menanggapi hal ini, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan, semangat KUHAP soal kenapa suatu perkara harus cepat diajukan ke pengadilan untuk memberikan perlindungan. Ia mengutip ungkapan keadilan yang tertunda adalah keadilan yang diingkari.

"Tapi saudara melihatnya sebagai persoalan konstitusionalitas, itu hak saudara karena memang ada kasus faktual," ujar Palguna pada kesempatan yang sama.

Sementara, hakim MK yang lain Aswanto mengatakan, permohonan pemohon seharusnya menyandingkan pasal-pasal mana di dalam KUHAP yang bertentangan dengan UUD 1945. Sementara, permohonan lebih banyak menguraikan persoalan implementasi norma.

"Soal tersangka yang membawa saksi lalu tidak diperiksa. Itu bukan persoalan norma tapi implementasi. Itu tidak masuk ruang lingkup MK. Sehingga saudara bisa koreksi lagi fokus yang saudara minta," ujar Aswanto.

Laporan: Lilis Khalisotussurur

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya