Awak Redaksi Majalah Kampus yang Diberedel Pasrah Saja

Foto sampul Majalah Kampus Lentera yang dibredel polisi
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id - Awak redaksi Lentera, majalah kampus yang diberedel Polisi di Salatiga, pasrah ketika mereka diminta menarik majalah itu dan menyerahkannya kepada aparat. Mereka menarik seluruh majalah dari peredaran karena sudah disepakati sejumlah pihak, termasuk Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dan Polres.
Mendiang Adik Pramoedya Ternyata Sudah Siapkan Album Lagu

"Kami hanya bisa nurut apa yang diminta seluruh pihak untuk menarik majalah yang sudah kami distribusikan," kata Pemimpin Umum Lentera, Arista Ayu Nanda, saat dikonfirmasi VIVA.co.id pada Senin, 19 Oktober 2015.
Kebebasan Pers RI Alami Kemunduran, Turun ke Peringkat 138

Seluruh awak redaksi majalah Lentera kini sibuk menarik kembali majalah yang telah didistribusikan itu. Tak memungkiri rasa kecewanya, Arista mengaku hanya bisa berusaha menarik majalah yang bisa ditarik kembali.
IPT: Terjadi Kejahatan Kemanusiaan pada 1 Oktober 1965

"Kami menarik apa yang bisa kami kumpulkan. Cetaknya 500 eksemplar, tapi belum kami distribusikan semua, kok," katanya.

Lentera adalah majalah kampus yang diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Seluruh majalah yang telah didistribusikan diminta ditarik dan diserahkan kepada Polisi.

Majalah yang ditarik dari peredaran adalah edisi 10 Oktober 2015. Dalam edisi itu, Lentera menulis artikel berita utama seputar tragedi 1965 atau lebih dikenal dengan istilah G30S (Gerakan 30 September 1965) berdasarkan peristiwa di Salatiga. Artikel itu berjudul Salatiga Kota Merah.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang menyebut bahwa aparat Kepolisian Resor Salatiga telah menginterogasi para awak Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera. AJI memprotes tindakan aparat itu karena dianggap melanggar melanggar kebebasan pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Lagi pula, tiga jurnalis LPM Lentera diinterogasi tanpa surat resmi pemanggilan untuk pemeriksaan.

Ketua AJI Kota Semarang, Muhammad Rofiuddin, mengaku telah mengkaji artikel yang ditulis LPM Lentera edisi 10 Oktober 2015 itu. Tak ada prinsip maupun kode etik jurnalistik yang dilanggar dalam laporan itu. Sebaliknya, hasil reportase itu dibuat berdasarkan prinsip kerja jurnalistik yang memadai, yakni wawancara dengan narasumber, observasi untuk reportase, hingga menggunakan dokumen dan literatur yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum.

"AJI juga menilai, LPM Lentera tidak melanggar batasan kebebasan berekspresi sesuai konvensi HAM. Jika ada pihak yang merasa keberatan atas liputan LPM Lentera, bisa melakukan dialog dan diskusi," kata Rofiuddin.

Dia mengingatkan bahwa Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik mengatur penyampaian hak jawab atau ralat atau koreksi jika ada hal yang dianggap keliru atau salah dalam artikel Salatiga Kota Merah itu. "Bukan dengan cara menarik majalahnya. Ingat, laporan jurnalistik itu adalah usaha memperoleh kebenaran secara terus menerus," ujarnya.

VIVA.co.id masih terus mencoba mengontak Kepala Sub Bagian Hubungan Masyarakat Polres Salatiga, Ajun Komisaris Polisi Djoko Lelono, untuk mengonfirmasi seputar itu. Namun nomor ponselnya tak dapat dihubungi. Panggilan telepon sempat tersambung tetapi kemudian nonaktif hingga berita ini dipublikasikan.
 Imdadun Rahmat

Kasus Tragedi 1965 Harus Diselesaikan

Ketua Komnas HAM bicara panjang lebar soal kontroversi Tragedi 1965.

img_title
VIVA.co.id
1 Agustus 2016