Pencabutan Status Kewarganegaraan Bisa Dianulir

Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie.
Sumber :
  • Moh Nadlir/VIVA.co.id
VIVA.co.id
Gelar Operasi Antiteror, Polisi Kanada Lumpuhkan Tersangka
- Pakar Hukum Tata Negara, Jimly Asshiddiqie, menjelaskan bahwa dari sejumlah pasal yang akan direvisi pada Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Terorisme, masalah pencabutan status kewarganegaraan atau Paspor, menjadi salah satu perhatian Pemerintah.

Bertemu Menteri Australia, Yasonna Bahas Soal Terorisme
Dalam Undang-undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 menyebutkan, Warga Negara Indonesia (WNI) akan kehilangan kewarganegaraannya jika masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin dari Presiden.

Tak hanya itu, masalah tersebut diatur juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.

UEA: Teroris Sebarkan Radikalisme Lewat Video Game
Menurut Jimly, meski kewarganegaraan seorang WNI dicabut, tetapi orang tersebut juga tetap memiliki hak untuk mendapatkan kembali status kewarganegaraannya dengan cara membela diri yang diatur melalui mekanisme peradilan.

"Nah peradilannya disesuaikan, nanti bisa dibicarakan teknis hukum acaranya, yang jelas kalau dia dicabut kewarganegaraannya tetapi dia tidak salah," ungkap Jimly kepada VIVA.co.id, di Jakarta, Jumat 29 Januari 2016.

Jimly mencontohkan, misalnya seorang yang telah dicabut status kewarganegaraannya ternyata terbukti bekerja sebagai relawan kemanusiaan di luar negeri, tetapi bukan untuk perang. Maka Pemerintah wajib mengembalikan status kewarganegaraannya, termasuk paspor orang itu. 

"Tapi mekanismenya harus lewat pembuktian di peradilan. Sebelum itu ditindak dulu, dicabut dulu untuk memberi pendidikan Politik kepada seluruh WNI, jangan ikut campur urusan negara orang lain," tegas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.

Jimly mengungkapkan, Pemerintah memang harus keras dalam mendidik publik di tanah air, agar setiap warga negara tidak dengan mudah menyatakan dukungan, bergabung, dan berperang dengan suatu kelompok atau negara lain.

"Itu penting sekali, kalau tidak akan terus seperti ini. Pemerintah harus sedikit keras mendidik rakyat kita jangan sampai berbuat kekeliruan, karena urusan terorisme, urusan perang ini adalah soal serius, soal kemanusiaan," terang dia.

Sebelumnya Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Widodo Eka Tjahjana menyebutkan, masalah yang paling banyak diperdebatkan dalam revisi Undang-undang Terorisme adalah terkait aturan negara, untuk mencabut Paspor atau status kewarganegaraan seorang WNI yang mengikuti kegiatan militer di luar negeri, atau dengan sengaja mendukung kelompok militan seperti ISIS.

Rencananya, minggu depan naskah revisi undang-undang ini akan diserahkan ke Presiden Joko Widodo.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya