Hubungan Indonesia-Malaysia

"Mirip Konfrontasi Malaysia Era Soekarno"

VIVAnews - Terangnya persoalan penayangan Tari Pendet dalam iklan 'Enigmatic Malaysia' di Discovery Channel, bahwa Discovery mengaku salah dan minta maaf, tak lantas membuat hubungan dua negeri jiran.

Berbagai aksi penolakan, protes, tudingan terhadap Malaysia masih terjadi di nusantara. Tak hanya berupa protes, aksi juga diwarnai pembakaran bendera Malaysia.

Posko-posko 'ganyang Malaysia' didirikan. Para sukarelawan dikumpulkan. Dengan senjata seadanya, plus tenaga dalam, siap mengobarkan perang melawan negeri jiran.

Kondisi ini disesali oleh pengamat sosial dan politik, Wimar Witoelar. Menurutnya, kondisi saat ini mirip dengan emosi di tahun 1960-an, saat Presiden Soekarno melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia.

"Sukarelawan maju mendaftarkan diri, bahkan pemerintah mengumpulkan mereka dan kirim tentara ke Malaysia, hasilnya, hancur-hancuran. 820 orang jadi korban di pihak kita," kata Wimar kepada VIVAnews, Selasa 8 September 2009.

Sejarah mencatat konfrontasi yang dilancarkan Indonesia gagal dan tidak didukung dunia.

Menurut Wimar, tak semua orang ingin ribut dan merasa marah terhadap Malaysia. Meski tak menyalahkan pihak-pihak yang marah, Wimar tak setuju jika rasa marah sekelompok orang mengatasnamakan seluruh bangsa Indonesia.

Kata dia, bangsa Indonesia harus berfikir arif dalam berhubungan dengan negeri jiran. "Kalau perang kalah, malah ditertawakan. Kita ini negara yang sudah berhasil menyelenggarakan pemilu dengan baik, berhasil menangkap teroris, banyak kemajuan, jangan itu hancur karena emosi sesaat," tambah Wimar.

Bangsa Indonesia, tambah dia, harus fokus ke dalam. "Jangan perasaan minder, lalu mencari akar permasalahan dari luar. Kalau hidup susah, jangan salahkan orang lain," tambah dia.

Merujuk pada kondisi era 60-an, kata Wimar, saat itu kondisi Indonesia sedang dalam kesusahan. Lalu, Presiden Soekarno mengatakan hal tersebut dikarenakan kita dikelilingi imperialis-imperialis. Konfrontasi lalu dilancarkan.

Indonesia, dalam beberapa hal, justru harus belajar dari pengalaman Malaysia. Sebagai negara baru, Malaysia harus 'mengimpor' guru, konsultan, dan tenaga ahli dari Malaysia.

Namun negara yang baru mendapat kemerdekaan dari Inggris itu lalu mengirimkan warganya belajar di luar negeri. "Hasilnya, mereka punya universitas yang lebih terkenal, perusahaan minyak yang lebih besar dari Pertamina," tambah Wimar.

Sebagai negara besar, bangsa Indonesia seharusnya berjiwa besar. Alih-alih mengeluarkan energi untuk marah pada Malaysia, bangsa ini seharusnya memprioritaskan membangun negara dan membereskan masalah-masalah dalam negeri.

Untuk jadi juara, kata Wimar, Indonesia harus berprestasi. "Kita bukan kalah 5-0 dari Malaysia. Ini ibaratnya lima menit pertama pertandingan sepak bola. Indonesia jauh lebih besar, kalau mau saing-saingan kita menang," tambah dia.

Ngambek saat Ditarik Keluar, Erling Haaland Disemprot Legenda MU: Anak Manja!
Maudy Ayunda.

Angkat Kisah Ki Hadjar Dewantara Jadi Film, Maudy Ayunda Debut Jadi Produser

Dengan pengalaman dan jam terbang di industri perfilman, Maudy Ayunda juga banyak belajar dari para pembuat film yang ia kenal. Maudy Ayunda bekerja sama dengan sutradara

img_title
VIVA.co.id
6 Mei 2024