Jenderal Polri Jadi Penjabat Gubernur, PDIP Sindir SBY

Wakil Sekjen PDIP Ahmad Basarah (memegang pengeras suara)
Sumber :
  • VIVA/Zahrul Darmawan

VIVA – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meminta, isu pencalonan dua perwira tinggi Polri sebagai penjabat gubernur tidak dibesar-besarkan. PDIP mengaku telah mendalami secara saksama wacana usulan perwira tinggi polisi tersebut. Terkait hal itu, partai berlambang banteng ini pun menyinggung era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Heru Budi Apresiasi Kerja Sama Proyek MRT dengan Jepang, Nilainya Rp11 Triliun

"Saya dengar banyak kritik dan pendapat kontra, terkait usulan Mendagri pada Presiden untuk mengangkat dua pati Polri sebagai Plt Gubernur Sumut dan Jabar. Kami telah pelajari keputusan Mendagri, mengusulkan dua perwira Polri kepada presiden sebagai calon Plt gubernur secara yuridis formal, kami menemukan dasar hukum yang kuat oleh Mendagri," kata Wakil Sekjen PDIP, Ahmad Basarah saat menghadiri pembukaan sekolah partai PDIP di Wisma Kinasih Tapos Depok, Minggu 28 Januari 2018.

Dasar hukum usulan dua perwira tinggi Polri pengganti gubernur tersebut, kata Basarah, yaitu pada Pasal 201 ayat 10 UU Pilkada, Pasal 109 UU Aparatur Sipil Negara serta Permendagri.

Survei di Atas 50 Persen, Elite Golkar Dorong Ridwan Kamil Maju Pilgub Jabar Ketimbang Jakarta

"Di luar fakta hukum yang jadi pertimbangan, ada juga yurisprudensi politik. Di Pilkada 2017, Mendagri juga mengangkat Irjen Polisi Carlotehu sebagai Plt Gubernur Sulbar dan Mayor Jenderal TNI AD Sudarno sebagai Plt Gubernur Aceh," katanya menambahkan. 

Kemudian Basarah menyinggung, pada era pemerintahan SBY, pada Pilgub 2008 pernah juga mengangkat Mayor Jenderal aktif sebagai Plt gubernur. "Jadi ada yurisprudensi hukum dan politik," ujarnya menegaskan. 

Bawaslu Didesak Panggil Pj Gubernur NTB Terkait Dugaan Pelanggaran Netralitas ASN

Menurut Basarah, yang jadi persoalan wacana ini lantaran ada calon gubernur mantan Kapolda Jawa Barat, Anton Charliyan yang menjadi Cawagub Jabar.

"Itulah yang dikaitkan dengan netralitas Polri. Jangan-jangan pak Iriawan akan bersikap tidak netral. Nah asumsi ini perlu diperhatikan Mendagri sekalipun kalau dilihat dari masa tugas Iriawan jika Presiden menyetujui, itu hanya bertugas tanggal 14-27 Juni. Karena Aher berhenti tanggal 13 Juni. Pencoblosan 27 Juni. Sehingga hanya sekitar 13 hari Iriawan jadi penjabat gubernur. 13 hari apa yang dilakukan kalau tidak netral," ujarnya.

Dia menegaskan, asumsi tidak netral tersebut jangan berangkat dari prasangka buruk. Apalagi wacana ini belum mendapat persetujuan Presiden Jokowi.

“Mereka juga belum jabat Plt kenapa sudah diasumsikan tidak netral. Kenapa kemarin Carlotehu jadi Plt Sulbar, kenapa Plt Gubernur Aceh tidak dikatakan tidak netral. Atau SBY dulu ada Mayjen TNI ada dulu, kenapa enggak dikatakan tidak netral," ujar Basarah.

Terkait hal itu, Basarah pun mengajak semua pihak untuk  berfikir positif dengan usulan Mendagri. "Namun, Pak Tjahjo perlu pertimbangkan seluruh masukan dan pikiran yang berkembang, yang khawatir jika Polri aktif ditugaskan sebagai Plt Jabar meskipun masa jabatan singkat. Menurut saya tidak perlu jadi kekhawatiran soal netralitas. Namun demi perasaan publik ini perlu jadi pertimbangan," ujarnya menambahkan.

Soal sikap dan keputusan Presiden nantinya atas wacana tersebut, Basarah menanggapinya dengan cukup santai. "Kami belum tahu respons Presiden terkait usulan Mendagri. Saya kira ini tupoksi pemerintahan. Mendagri dan Presiden meski kader PDIP, tapi kan berada dalam suprastruktur politik. Itu kamar yang berbeda. Kita tunggu keputusan Presiden dalam mengambil usulan tersebut," ucapnya.

Sebelumnya, dua perwira tinggi Polri, yaitu Inspektur Jenderal Polisi Muhammad Iriawan dan Inspektur Jenderal Polisi Martuani Sormin, masing-masing diwacanakan menjadi Penjabat Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara.

Bila usulan dari Polri diterima, Iriawan akan mengisi posisi Gubernur Jawa Barat untuk menggantikan Ahmad Heryawan, sementara Martuani akan mengisi posisi Gubernur Sumut untuk menggantikan Tengku Erry Nuradi.

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengakhiri masa jabatannya pada 13 Juni 2018, sedangkan Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry pada 17 Juni 2018.

Pemungutan suara Pilkada serentak ditetapkan pada 27 Juni 2018. Artinya ada masa lowong Jawa Barat dan Sumatera Utara tanpa gubernur karena masa jabatan mereka berakhir sebelum pencoblosan. Maka pemerintah pusat perlu mempersiapkan pengganti sementara yang disebut penjabat gubernur sampai gubernur terpilih atau definitif hasil Pilkada dikukuhkan. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya