Bagaimana Nasib Golkar di Era Pemilih Milenial?

politisi senior Partai Golkar, Yorrys Raweyai (tengah kanan)
Sumber :
  • VIVA/Mohammad Yudha Prasetya

VIVA – Suara Partai Golkar semakin tergerus terutama di kalangan pemilih milenial. Hal ini menjadi tantangan bagi partai politik senior seperti Golkar di era pemilu saat ini, yakni kemampuan mesin partai dalam menggaet suara dari kaum milenial.

Kembali Mencuat, Golkar Tak Ingin Berandai-andai Soal Kabar Jokowi Gabung

Hal itu juga diakui oleh politisi senior Partai Golkar, Yorrys Raweyai. Ia mengatakan, bahwa masalah ini juga harus menjadi fokus di internal Golkar, karena meskipun mereka memiliki pemilih milenial namun jumlahnya tidak signifikan.

Hal ini menurutnya dapat dilihat dari perolehan suara mereka di Pilkada DKI Jakarta, sehingga membuat perolehan kursi mereka di DPRD DKI ikut berkurang.

Survei di Atas 50 Persen, Elite Golkar Dorong Ridwan Kamil Maju Pilgub Jabar Ketimbang Jakarta

"Kalau suara milenial ada. Tapi yang tragisnya di DKI sekarang ini, Golkar yang sebelumnya memiliki tujuh kursi di DPRD, saat ini kita melorot jadi hanya lima kursi," kata Yoris dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu 22 Juni 2019.

"(Caleg) Milenial ada, tapi saya enggak tahu kenapa hanya satu yang terpilih yaitu anaknya Ketua DPR sekarang dari Dapil Jakarta Timur. Dapat satu dari kalangan milenial (di DPRD DKI), tapi di nasional (milenial) kita nol," ujarnya.

JK Sebut Golkar Partai Terbuka, Tak Masalah Jika Jokowi-Gibran Gabung

Yoris pun mengakui bahwa PSI berhasil mengusung dan menggaet pemilih milenial di DKI Jakarta. Sehingga, Golkar harus menjadikan isu soal pemilih milenial ini salah satu fokus mereka menghadapi tahun 2024 mendatang

"PSI ini dominasi, mereka dapat tujuh kursi lho (di DPRD DKI). Jadi partai anak muda ya PSI. Maka di Golkar sekarang saya yakin kita akan berkomitmen menyiapkan diri untuk (menggaet pemilih milenial di) 2024," kata Yoris.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Institut Peradaban dan Guru Besar Ilmu Politik, Prof. Dr. Salim Haji Said menilai, keberhasilan PSI mendapatkan tujuh kursi di DPRD DKI Jakarta dan melampaui Golkar yang hanya memperoleh lima kursi, juga harus dilihat dari materi kampanye apa yang mereka pilih sehingga berhasil memperoleh sedemikian banyak suara.

"Di DKI Jakarta, memang PSI dapat tujuh kursi dan Golkar cuma lima kursi, tapi bagaimana kita mengukurnya? Apakah ideologi mereka untuk di Jakarta lebih bisa diterima sementara partai-partai tua terlalu riskan untuk mengkampanyekannya?" ujar Salim.

Perpektif baru

Menjawab hal tersebut, Heroik M. Pratama yang merupakan peneliti dari Perludem menjelaskan, konteks pemilih Milenial itu sebenarnya lebih ditujukan bagi para pemilih muda, yang memutuskan memberikan hak pilihnya dengan perspektif baru hasil keterbukaan informasi di era digital saat ini.

"Kalau pemilih muda itu sudah ada sejak pilpres atau pemilu sebelumnya, mungkin yang membedakan dengan pemilih milenial saat ini adalah era keterbukaan informasi dan media yang membuat mereka memiliki orientasi politik yang lebih terbuka," kata Heroik.

Apalagi, lanjut Heroik, hal ini pun juga terjadi di beberapa negara Asia lainnya, seperti misalnya di Thailand, di mana sejumlah partai baru yang mengusung kampanye bertema kepemudaan atau milenial mendapat banyak dukungan dari masyarakat.

"Di Thailand ada yang namanya Future Forward Party sebagaimana misalnya PSI di sini. Di Pemilu parlemennya mereka memang dapat kursi meskipun memang belum cukup signifikan," kata Heroik.

"Nah kenapa partai yang dapat dikatakan milenial itu bisa berhasil mendapatkan kursi? Karena masyarakatnya pun merasa terwakili dengan sudut pandang ideologi mereka yang cenderung terbuka sebagaimana yang juga dilakukan PSI di sini," ujarnya. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya