Cegah Lonceng Kematian KPK di Era Jokowi

Presiden Joko Widodo
Sumber :
  • Dok. Sekretariat Presiden

VIVA – Revisi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2012 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diinisiasi DPR menjadi sorotan masyarakat luas. Presiden Joko Widodo diharapkan tak menerbitkan surat presiden atau surpres soal revisi UU tersebut.

Buruh di Yogyakarta Tolak Iuran Tapera, Banyak Potongan Gaji Hidup Makin Sulit

Pengamat sosial politik, Ray Rangkuti menyindir dengan desakan penolakan revisi dari berbagai pihak semestinya pemerintah terutama Jokowi selaku Presiden bisa mempertimbangkannya.

"Dengan semua pertimbangan ini, kita mendesak Presiden agar tidak menerbitkan surpres dan tidak mengirim perwakilan dalam pembahasan revisi UU KPK," kata Ray kepada VIVAnews, Senin, 9 September 2019.

KPK Sebut Status Gazalba Saleh Masih Tersangka meski Hakim Kabulkan Eksepsinya

Dia menekankan, bila revisi UU KPK tetap dipaksakan maka sorotan negatif akan makin meluas. Apalagi melihat prosedurnya dalam memunculkan revisi UU ini dari DPR yang dinilai tak lazim.

Menurutnya, janggal dengan sisa waktu tiga pekan, anggota DPR periode 2014-2019 terkesan memaksakan revisi UU KPK. Ia menyerukan agar lonceng kematian KPK bisa dicegah.

Didampingi Gus Yaqut, Jokowi Takziyah ke Rumah Habib Luthfi

"Semoga Pak Jokowi tetap tegar berada di barisan antikorupsi. Agar kita kelak tetap mengenang beliau sebagai Presiden yang teguh dalam hal memberantas mafia, pungutan liar dan anti korupsi," jelas Ray yang juga aktivis antikorupsi itu.

Ray pun mempersoalkan revisi UU KPK yang terkesan dipaksakan sebagai inisiatif DPR. Ia mempertanyakan keabsahan rapat paripurna pada Kamis, 5 September 2019. Menurutnya, revisi ini tak masuk Program Legislasi Nasional atau Prolegnas 2019 di DPR.

"Revisi UU KPK tidak termasuk dalam Prolegnas 2019. Sesuai dengan UU MD3 dan Tatib DPR, semua RUU yang akan dibahas di DPR harus terlebih dahulu dikelompokkan ke dalam prolegnas," tutur Ray.

Kantor KPK di Kuningan, Jakarta.

KPK Diamputasi

Revisi UU KPK dinilai akan mengamputasi kewenangan lembaga antirasuah tersebut. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyebut beberapa poin dalam revisi tersebut dinilai berlebihan. Salah satu yang disinggungnya masalah penyadapan.

"Masalah poin penyadapan kan selalu jadi yang diperjuangkan mereka karena tak menyukai kewenangan KPK," kata Kurnia, Minggu, 8 September 2019.

Dia mencatat setidaknya ada beberapa poin dalam revisi ini yang menjadi sorotan. Poin-poin ini akan membuat KPK pincang. Ia merincikan poin tersebut yaitu independensi KPK terancam, penyadapan dipersulit, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih DPR.

Lalu, ada lagi soal sumber penyelidik dan penyidik dibatasi. Keinginan penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung. Kemudian, kewenangan pengambilalihan perkara di tahap penuntutan dipangkas.

"Faktanya revisi ingin soal penyadapan, dewan pengawas, SP3, penyidik lebih diatur. Sudah berlebihan dan bisa membuat KPK seperti diamputasi dan bisa pincang," jelasnya.

Sebelumnya, Jokowi sudah menerima draf revisi UU KPK yang diinisiasi Jokowi. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang dipanggil ke Istana oleh Jokowi, Senin pagi 9 September 2019, mengaku kepala negara belum mengeluarkan surat presiden atau surpres untuk membahas revisi UU KPK ini.

"Sampai sekarang belum," kata Yasonna, usai bertemu Jokowi.

Surpres adalah surat yang berisi persetujuan Jokowi untuk membahas revisi UU KPK dengan DPR. Maka itu, revisi UU KPK belum bisa dibahas sebelum Jokowi menerbitkan surpres.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya