Revisi UU Pelayaran Dinilai Bentuk Pengkhianatan Bangsa

Kapal tunda melintas di antara kapal yang melakukan bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran dinilai belum layak direvisi. Perubahan pada isi Undang-Undang ini justru dianggap akan menghilangkan Asas Cabotage (pelayaran yang wajib menggunakan bendera Indonesia).

Masa Jabatan 8 Tahun 2 Periode, Kades di Bekasi Girang: Bisa Dapet Pajero

Menurut anggota DPR RI periode 2014-2019, Bambang Haryo Soekartono, usulan revisi Undang-Undang tentang pelayaran bisa disebut sebagai pengkhianatan bangsa.

Dengan menghilangkan Asas Cabotage justru dapat mengancam kedaulatan negara, termasuk soal devisa. Sebab, dalam asas cabotage itu, pelayaran domestik dan juga pelabuhan dikelola oleh Indonesia. Sehingga devisa dari transportasi bisa diterima langsung pemerintah.

Lembaga Adat dan Kebudayaan Betawi Didorong Masuk dalam Revisi UU 29/2007

"Saat ini pelabuhan internasional Indonesia ada 141. Ini mengakibatkan pelayaran asing bisa masuk ke seluruh pelabuhan di Indonesia. Beda dengan Amerika Serikat, di sana betul-betul memproteksi pelabuhan, dan pelabuhan internasional hanya ada lima," kata Bambang, Rabu, 9 Oktober 2019.

Mantan anggota Komisi V ini pun, menyarankan agar Indonesia dapat menerapkan seperti yang dilakukan Amerika. Pelabuhan internasional di Indonesia harus dikurangi agar dapat meminimalisir masuknya barang-barang ilegal.

Yasonna Beberkan Alasan Pemerintah Kirim Draf Revisi UU IKN ke DPR pada 2023

"Yang kita harapkan Indonesia seperti itu (Amerika), pelabuhan internasional harus dikurangi. Karena dikhawatirkan akan masuk barang-barang ilegal dan imigran gelap yang membahayakan keutuhan negara kita," jelasnya.

Bambang menambahkan, selain devisa dan keamanan, jika pelayaran asing masuk ke dalam negeri, imbasnya pelayaran dalam negeri akan tersingkirkan. Ini sangat berbahaya terhadap keberlangsungan transportasi laut Indonesia.

"Kapal-kapal dalam negeri mati dan melumpuhkan ekonomi secara total. Sedangkan sekarang ini, transportasi laut kita sudah ada 25 ribu lebih di bawah INSA, 9 ribu di bawah Pelra, serta sekitar 8 ribuan kapal perikanan. Ini sebenarnya satu aset nasional yang luar biasa besar dan tidak boleh sampai dimatikan," ungkap Bambang.

"Kalau ini sampai dilumpuhkan, maka kita sebagai negara maritim yang memiliki laut 2/3, sudah bukan lagi menjadi negara kelautan, kalau misalnya kapal-kapal dalam negeri ini akan digusurkan kapal-kapal asing itu," imbuhnya.

Seperti diketahui, Asas Cabotage menjadi harapan baru bagi industri angkutan laut nasional. Dengan asas ini pengusaha pelayaran dalam negeri terjamin usahanya dan kedaulatan negara terlindungi dari gangguan pihak asing. 

Sebelum adanya Asas Cabotage, sebagian besar angkutan laut domestik dilayani kapal-kapal berbendera asing. Hal ini menjadikan kepentingan usaha angkutan laut nasional terpuruk. Atas dasar itu pada 7 Mei 2011, lahir Asas Cabotage.

Asas ini memberikan kekuatan bahwa penyelenggaraan pelayaran dalam negeri sepenuhnya hak negara pantai. Artinya, negara pantai berhak melarang kapal-kapal asing berlayar dan berdagang di sepanjang perairan negara tersebut.

Penerapan Asas Cabotage didukung ketentuan Hukum Laut Intenasional, berkaitan dengan kedaulatan dan yurisdiksi negara pantai atas wilayah lautnya. 

Karena itu, kapal asing tidak boleh berada atau memasuki wilayah perairan tanpa izin dan alasan yang jelas. Kecuali untuk jalur kapal bantuan dan memiliki izin atau alasan yang sah tanpa mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban negara. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya