Denny JA Usul Bentuk Koalisi Partai Semi Permanen 20 Tahun, Ini Alasannya

Denny JA pada diskusi Creator Club di Grand Hyatt Hotel, Jakarta
Sumber :
  • Istimewa

Jakarta - Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengatakan, pada tahun 2045, Indonesia diprediksi menjadi negara terbesar keempat secara ekonomi. Untuk itu, menurutnya perlu kesinambungan leadership agar selama 20 tahun ke depan berada pada kerangka makro legacy yang sama.

Surya Paloh Sambut Baik PKS Jika Ikut Merapat ke Koalisi Prabowo-Gibran

“Berarti selama 20 tahun itu, kita memerlukan konsistensi kekuasaan yang bersetuju mencapai satu gagasan besar bersama, yang terus dirawat," kata Denny dalam diskusi di Creator Club dikutip Kamis, 7 Maret 2024.

Untuk mewujudkan hal itu, Denny menuturkan, koalisi semi permanen untuk mengawal pemerintahan sampai tahun 2045 menjadi terpenting. Salah satu tugas koalisi ini termasuk membantu siapa yang akan menjadi the next presiden hingga 2045, yang memiliki visi yang sama.

Anies Puji Konsistensi PKS Jadi Oposisi di Depan Surya Paloh dan Cak Imin

“Karena saat ini, Gerindra dan Golkar yang menjadi partai terbesar di pemerintahan, maka dua partai ini bisa memimpin koalisi semi permanen hingga 2045," ujarnya.

Denny JA

Photo :
  • Istimewa
Tak Bakal Usung Anies, Ini Sederet Kader yang Dijagokan PKS di Pigub Jakarta

Denny yang baru saja menerima The Legend Award karena lima kali ikut memenangkan pilpres berturut-turut mencari solusi atas trend pemenang pemilu pileg yang semakin lama semakin kecil.

Dalam pemilu legislatif di tahun 1999, PDIP mampu mendapatkan kemenangan dengan dukungan 33,74%. Di tahun itu masih ada partai yang menang di atas 30%.

Lalu di tahun 2004, Golkar yang menang. Pada Pileg 2009, Demokrat yang menang. Namun angka kemenangannya sudah menurun di bawah 30%, bahkan di bawah 22% saja.

Tahun 2004, Golkar juara satu tapi menang di persentase 21,58%. Tahun 2009, Demokrat menangnya turun lagi di posisi 20,85%.

Semakin mengecilnya partai pemenang pemilu berlanjut. Di pemilu 2014, pemenangnya turun lagi Di bawah 20%. PDIP menangnya di 2014 ini hanya 18,95%. Lalu PDIP lagi di 2019 pada angka 19,33%.

Sekarang di tahun 2024, dalam Quick Count LSI Denny JA, PDIP masih masih menang tapi sudah di bawah 17%.

Denny pun menjelaskan mengapa partai pemenang pemilu bertambah kecil. Menurut Denny, terminologi ilmu politik, ada yang disebut party ID, party identification. Di Amerika Serikat, dari 100% pemilih itu, 60% warga loyal kepada partainya.

Sejak lama, dia pilih Demokrat dan terus pilih Demokrat. Bahkan juga mendukung calon presiden Demokrat. Hal yang sama berlaku untuk Partai Republik. Hanya 40% saja yang mengambang.

"Tapi kita sini, di Indonesia, rata-rata Party-ID nya hanya 30% saja. Sebanyak 70% pemilih mengambang bisa ke mana saja," ucap Denny.

Lebih lanjut, ia pun menjelaskan efek rendahnya Party-ID. Pertama adalah stabilitas koalisi di DPR. Bagaimanapun, siapapun presiden yang terpilih, dari partai manapun, ia memerlukan dukungan mayoritas DPR.

Tanpa dukungan mayoritas DPR, kebijakan presiden lumpuh. Jika mayoritas DPR beroposisi, UU yang diajukan presiden, dan APBN yang dikehendaki akan berlarut.

Untuk mendapatkan dukungan mayoritas DPR di tahun 1999, kata Denny, itu cukup memerlukan gabungan dua partai politik tertinggi saja. Jika PDIP itu (di atas 33%) dan Golkar (di atas 22%) bergabung, mereka sudah menjadi koalisi yang menguasai mayoritas kursi DPR.

Tapi di tahun 2024 ini, karena partai politik yang paling tinggi hanya memperoleh 17%, bahkan tiga partai politik menggabungkan suaranya, dukungannya masih kurang dari 50%.

"Akibatnya, kebijakan publik lebih diwarnai oleh negosiasi kasuistik di parlemen. Satu kerangka besar public policy, apalagi satu legacy program yang perlu dukungan di atas lima tahun, itu akan susah untuk dibangun," ujarnya.

Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA

Photo :
  • Istimewa

Denny menambahkan, negosiasi kebijakan publik tidak lagi pada ideologi, tak lagi pada platform, tapi pada hal-hal yang sifatnya sangat pragmatis saja.

Partai politik, lanjutnya, menghilangkan warnanya, ikut saja kebijakan presiden. Yang celaka jika presiden tak memiliki core philosopy jangka panjang yang konsisten.

"Karena semakin mengecilnya partai pemenang pemilu, perlu kita memunculkan satu inovasi baru, satu gagasan baru," katanya.

Denny mengatakan, hal tersebut sudah disampaikan kepada Presiden Jokowi dalam perjumpaan empat mata, sebelum hari pencoblosan. Hal yang sama juga ia lakukan saat bertemu dengan Prabowo Subianto.

Denny mengatakan, legacy seorang presiden atas sebuah gagasan besar memerlukan waktu hingga 20-25 tahun agar gagasan itu kokoh dieksekusi hingga tuntas dan detail. Artinya, sebuah gagasan besar hanya mungkin mengejawantah jika didukung oleh beberapa presiden tanpa diinterupsi, tanpa dioposisi.

Contohnya IKN, pindah ibu kota baru ke Kalimantan. Agar IKN itu benar-benar bisa tuntas berdiri di sana, dan semua instrumen pemerintahan bekerja di sana, tumbuh dan kemudian juga sehat, itu tak selesai dalam waktu lima tahun.

IKN memerlukan waktu 20 tahun sampai 25 tahun agar terkonsolidasi. Apa jadinya jika di tengah jalan, IKN ditentang karena presiden baru tak memiliki komitmen memindahkan ibu kota, bahkan berupaya membatalkan UU yang mendasarinya.

"Jika di tahun 2024, Anies Baswedan yang terpilih, bukankah Anies sudah mengatakan ia tidak setuju dengan IKN?," ujarnya.

"Maka segala pembangunan yang dimulai Jokowi di IKN segera mangkrak. Tak akan pernah ada program besar yang berkelanjutan dapat tumbuh konsisten jika setiap ganti presiden juga berarti ganti kebijakan," katanya menambahkan.

Ia pun memberikan solusi agar segala gagasan besar bisa terlaksana dengan baik, yaitu dengan mencoba memulai membuat semacam barisan nasional layaknya di Malaysia yakni koalisi semi permanen, setidaknya untuk kerja sama selama 20 tahun.

"Mengapa minimal 20 tahun? Itu karena tahun 2045 tinggal 20 tahun lagi. Setelah Prabowo terpilih di tahun 2024-2029, kita memerlukan tambahan lima belas tahun, tiga pemilu presiden lagi," katanya.

Untuk itu, karena saat ini Gerindra dan Golkar yang menjadi partai terbesar di pemerintahan, maka dua partai ini bisa memimpin koalisi semi permanen hingga 2045.

"Siapa ketum Gerindra dan ketum Golkar hingga 2045 menjadi krusial," katanya.

Partai lainnya yang kini ikut dalam Koalisi Indonesia Maju di bawah Prabowo-Gibran, seperti PAN dan Demokrat menjadi pilihan sekutu yang pertama. 

Sebagian dari partai di luar koalisi pemenang pilpres, seperti PKB, Nasdem, PPP, bahkan PDIP dan PKS, bisa mempertimbangkan diri untuk bergabung.

"Tentu saja penting pula menyisakan partai politik untuk tetap berada di luar pemerintahan. Oposisi politik tetap diperlukan," ujar Denny.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya