Evolusi Sistem Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia

Ilustrasi Logistik Pilkada DKI Jakarta
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin

VIVAnews - Sistem politik Indonesia memasuki fase baru. Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (UU Pemilukada) yang disahkan pada 26 September 2014 mengubah cara berdemokrasi bangsa Indonesia, terutama dalam menentukan pemimpin daerah. Sistem pemilukada langsung oleh rakyat yang berlaku selama sepuluh tahun, berganti menjadi pemilukada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sistem lama yang dinilai demokratis, ternyata menyebabkan dampak tak baik bagi bangsa. Sistem yang berbiaya mahal itu disebut telah melahirkan pemimpin daerah yang korup. Sistem baru yang juga diklaim demokratis, diyakini lebih menjamin mampu melahirkan gubernur dan bupati/wali kota yang amanat, meski dikritik sebagai kemunduran demokrasi.

Tak ada sistem yang benar-benar ideal, apalagi berlaku sepanjang masa. Sebab sistem menyesuaikan dengan situasi zaman, beradaptasi dengan tradisi, sistem ekonomi-sosial-budaya, dan banyak hal. Sistem pemilihan kepala daerah terus bermetamorfosis sejak sejarah modern Indonesia.

Masa Hindia Belanda

Di masa kolonial, pemerintahan daerah tak seperti sekarang. Hierarkinya dimulai dari paling atas, yakni gewest (provinsi) yang dipimpin gubernur, karesidenan yang dipimpin residen, afdeling dipimpin asisten residen, kabupaten dipimpin bupati, lalu ada district atau kawedanan yang dipimpin wedana, dan onderdistrict atau kecamatan yang dipimpin camat.

Tak ada pemilu untuk menentukan pemimpin di tiap-tiap tingkatan karena semua ditentukan Pemerintah Kolonial, yaitu gubernur jenderal. Itu pun, tiga jabatan tertinggi pertama diisi orang-orang Belanda. Bangsa pribumi hanya boleh menjabat jabatan bupati sampai camat ditambah kewajiban memberikan/membayar upeti kepada Pemerintah Kolonial.

Sistem itu berganti pada masa pendudukan Jepang meski secara parsial saja. Pemerintah kolonial negeri matahari terbit itu hanya mengubah istilah jabatan-jabatan, misalnya karesidenan disebut syuu dan dipimpin syuutyoo, kawedanan disebut gunson yang dipimpin guntyoo.

Tak ada pemilu juga dalam sistem ini. Semua jabatan ditunjuk dan ditentukan pemerintah Jepang. Jabatan di tingkat karesidenan diisi perwira-perwira militer Jepang, sedangkan pada level kawedanan ke bawah dijabat orang pribumi.

Masa kemerdekaan

Segera setelah Indonesia merdeka, sistem kembali berubah. Di era ini, kepala daerah berfungsi sebagai pemimpin komite nasional daerah, sekaligus menjadi anggota dan ditetapkan sebagai ketua badan perwakilan daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah.

Dalam sistem ini, kepala daerah yang diangkat adalah kepala daerah pada masa sebelumnya. Alasannya karena situasi politik, keamanan, dan hukum ketatanegaraan kala itu sedang tidak stabil.

Sistem ini disempurnakan pada tahun 1948. Istilah dalam tingkatan pemerintah daerah diperjelas, yakni provinsi, kabupaten atau kota besar, desa, dan nagari. Proses pemilihannya pun sedikit lebih demokratis, karena, misalnya, gubernur diangkat oleh Presiden setelah ada nama calon yang diajukan DPRD tingkat provinsi. Di bawahnya, DPRD tingkat kabupaten mengusulkan calon bupati, lalu diangkat oleh Menteri Dalam Negeri. Kepala desa diangkat Gubernur setelah menerima nama calon yang diajukan DPR desa.

Masa Republik Indonesia Serikat

Sistem pemilihan kepala daerah kembali berubah bersamaan perubahan bentuk negara Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat tahun 1950. Itu terjadi karena konstitusi berubah dari Undang-Undang Dasar 1945 menjadi Undang-Undang Sementara tahun 1950.

Pada era ini, istilah dalam tingkatan pemerintah daerah diubah: di tingkat provinsi disebut daerah tingkat I yang dipimpin gubernur, di tingkat kota/kabupaten disebut daerah tingkat II yang di bupati atau wali kota, dan tingkat kecamatan disebut daerah tingkat III yang dipimpin camat.

Setelah konstitusi negara kembali pada Undang-Undang 1945, terbit undang-undang yang mengatur mekanisme dan peraturan pengangkatan kepala daerah. Kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri. DPRD hanya mengajukan nama, dan yang menentukan adalah Presiden atau Menteri Dalam Negeri sesuai tingkatan masing-masing.

Posisi pemerintah pusat atas pemerintah daerah semakin kuat setelah terbit Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965, menyusul Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dalam undang-undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri melalui calon-calon yang diajukan DPRD.

Pemerintah pusat makin mengendalikan daerah setelah status kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara. Seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh DPRD. Pemberhentian kepala daerah merupakan kewenangan penuh Presiden untuk gubernur, dan Menteri Dalam Negeri untuk bupati atau wali kota.

Masa Orde Baru

Pemerintah pusat era Orde Baru mengukuhkan dominasi atas pemerintah daerah. Rezim Soeharto mengontrol penuh kepala daerah di seluruh tingkatan, sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Kepala daerah diangkat oleh Presiden, yang mekanisme pemilihannya di DPRD juga dikontrol oleh Presiden.

Maka, kepala daerah sesungguhnya bukan hasil pemilihan DPRD, karena patut atau tidak seseorang menjadi kepala daerah, bergantung sepenuhnya pada penilaian Presiden. Aturan tersebut terkait kepentingan Pemerintah Pusat untuk mendapatkan gubernur atau bupati yang mampu bekerja sama.

Misalnya, DPRD provinsi memiliki dua calon gubernur, yang salah satunya didukung lebih banyak legislator. Jika Pemerintah Pusat menghendaki calon yang memiliki lebih sedikit dukungan DPRD, Presiden berhak mengangkatnya. Begitu juga pemberhentiannya, dapat dilakukan tanpa persetujuan DPRD.

Masa reformasi

Tahun 1998 adalah tanda berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang sentralistik. Setelah itu, semangat berbangsa dan bernegara berubah menjadi desentralistik atau pemerataan kekuasaan di daerah-daerah, tidak berpusat di Jakarta. Terbit Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah pada 7 Mei 1999, yang segera mengubah penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pemerintah dareah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah. DPRD berada di luar pemerintah daerah, yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan.

Di masa ini, kepala daerah dipilih sepenuh oleh DPRD, tak lagi ada campur tangan Pemerintah Pusat. Berbeda dengan sistem sebelumnya, yaitu kepala daerah diangkat oleh Presiden atau Menteri Dalam Negeri, yang diajukan atau diusulkan oleh DPRD.

Pemilihan kepala daerah mengandung kelemahan, karena dalam mekanisme rekrutmen calon ditemukan banyak praktik politik uang. Calon kepala dareah selalu mengobral uang untuk membeli suara para anggota DPRD dalam pemilihan. Selain itu, mengumbar uang untuk membiayai kelompok-kelompok tertentu sebagai cara menciptakan opini publik.

Undang-Undang itu kemudian direvisi setelah banyak dikritik karena dianggap menyuburkan politik uang dan tak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Lalu, terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemilihan umum kepala daerah secara langsung.

Meski begitu, pemilukada langsung tak serta-merta diterapkan karena Undang-Undang itu terlebih dahulu diuji materi (judicial review), lalu diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 3 Tahun 2005, yang berimplikasi pada perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pedoman pelaksanaan pemilukada langsung menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005.

Setelah itu, pemilukada dilaksanakan secara langsung. Para calon adalah pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh dukungan minimal 15 persen kursi DPRD atau dari akumulasi perolehan suara sah pada Pemilu Legislatif.

Undang-Undang itu direvisi yang kemudian diganti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan terhadap Undang-undang mengenai pelaksanaan otonomi daerah. Ada perubahan mencolok dalam perubahan ini, yaitu diperbolehkan calon perseorangan —tidak hanya calon yang diusung partai politik— menjadi calon kepala daerah dalam pemilukada secara langsung.

Masa baru

Tahun 2014 adalah tahun baru bagi sistem politik Indonesia. Kepala daerah kembali dipilih DPRD, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Pemilukada yang baru disahkan. Hiruk-pikuk kampanye pemilukada yang terjadi sepanjang tahun di seluruh wilayah di Tanah Air, berakhir di tahun ini.

Kepala daerah dan wakil kepala daerah tak lagi ditentukan di tempat pemungutan suara yang kadang digelar di tempat terbuka dengan risiko kehujanan atau kepanasan. Pemimpin daerah akan ditentukan di ruang-ruang rapat paripurna DPRD provinsi dan kota/kabupaten se-Indonesia. Sistem baru itu diklaim lebih efisien dibanding pemilukada langsung menguras anggaran hingga ratusan miliar rupiah.

Sistem yang diklaim lebih efisien itu diyakini juga akan menekan tingkat korupsi, karena selama ini para kepala daerah terpilih ingin kembali modal atas biaya yang dikeluarkan selama pencalonan. Tapi, pemilihan yang akan dilakukan di ruang-ruang rapat DPRD itu jelas tertutup bagi partisipiasi khalayak. Sebagian kalangan memperkirakan potensi politik traksaksional antara calon kepala daerah dengan DPRD.

Risma Populer di Jatim tetapi Elektabilitas Khofifah Tinggi, Menurut Pakar Komunikasi Politik

Diolah dari berbagai sumber

Ilustrasi Paspor

Kelanjutan Nasib Hyoyon SNSD, Bomi Apink hingga Im Nayoung Pasca Paspornya Ditahan Imigrasi Bali

Saat ini, paspor semua pemeran dan kru, dengan total sekitar 30 orang, disita. Mereka juga saat ini tinggal di sebuah hotel sementara itu kasus ini sedang diselidiki.

img_title
VIVA.co.id
26 April 2024