Sumber :
- REUTERS/Beawiharta
VIVA.co.id -
Isu perombakan (
reshuffle
) kabinet jilid II akan dilakukan pertengahan Januari 2016 ini kembali mencuat. Sejumlah menteri dikabarkan diganti, meskipun beberapa di antaranya hanya digeser posisinya.
Sejumlah pergantian dan pergeseran yang belakangan santer disebut, seperti nama Luhut Binsar Pandjaitan yang akan menjadi menteri utama, membawahi seluruh menteri koordinator. Sementara itu, jabatan Menkopolhukam diisi Johnny Lumintang.
Baca Juga :
Jokowi Serukan Kekuatan Islam Perangi Terorisme
Baca Juga :
Aroma Politik dan Harapan Rakyat
Baca Juga :
PKS Konsisten di Luar Pemerintahan
Menurut anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, isu tersebut menjadi bukti bahwa bagi-bagi kursi itu tetap tidak bisa dihindari.
"Inilah yang disebut politik akomodatif. Lagi-lagi, kita disuguhi oleh realitas sistem presidensial yang bercita rasa parlemen," kata Nasir, saat dihubungi
VIVA.co.id
, Kamis 7 Januari 2016.
Nasir mengatakan, dengan sikap akomodatif tersebut, membuat publik semakin sadar bahwa hak preogratif Presiden tidak sepenuhnya ada. Meskipun lingkungan Istana Negara selalu menggembar-gemborkan masalah perombakan kabinet adalah urusan Presiden Jokowi.
"Warna-warni perombakan kabinet menunjukkam bahwa
reshuffle
kabinet bukanlah hak mutlak Presiden," katanya.
Politisi asal Aceh itu mengakui, kalau kinerja kabinet harus didorong untuk pertumbuhan ekonomi. Tak terkecuali, serapan anggaran juga harus diutamakan.
"Karena itu, Presiden melalui menkumham harus mengevalusi peraturan perundang-undangan yang selama ini menghambat daya serap anggaran," kata Nasir. (asp)
Halaman Selanjutnya
Menurut anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, isu tersebut menjadi bukti bahwa bagi-bagi kursi itu tetap tidak bisa dihindari.