SKK Migas Kasih Bukti Sanksi Barat ke Rusia Bikin Sektor Migas RI Kena Imbas

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak & Gas Bumi / SKK Migas
Sumber :
  • VIVA/Andry Daud

Jakarta – Dampak dari konflik Rusia dan Ukraina secara tidak langsung masih dirasakan oleh Indonesia. Seperti yang terjadi pada pengembangan proyek migas di Blok Tuna, Kepulauan Natuna.

Dari Dokter Hingga Pengusaha, Perjalanan Inspiratif Daniel Tanri Rannu

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menjelaskan, hal itu terjadi karena Blok Tuna yang dikelola oleh perusahaan asal Inggris, Harbour Energy, melalui Premier Oil Tuna B.V., harus menghadapi sanksi Uni Eropa dan Pemerintah Inggris. Sebab, Zarubezhneft (ZN) yang menjadi partner mereka di blok tersebut nyatanya berasal dari Rusia.

Wakil Kepala SKK Migas, Nanang Abdul Manaf menjelaskan, hal itulah yang membuat Zarubezhneft mengundurkan diri dari proyek tersebut. Karena, Harbour Energy telah diperingatkan oleh pemerintah setempat, untuk tidak menjalin hubungan bisnis dengan perusahaan asal Rusia.

Ini Harapan Industri Hulu Migas RI ke Prabowo Sebagai Presiden RI Selanjutnya

Blok Offshore Southeast Sumatra. (ilustrasi blok migas)

Photo :
  • Pertamina

"Sebenarnya (Blok) Tuna sudah selesai. Tapi tiba-tiba terjadi konflik (Rusia-Ukraina), sehingga perusahaan-perusahaan dari negara barat, Eropa, UK, dan dari AS itu memberlakukan sanksi terhadap Rusia," kata Nanang dalam media briefing ICIOG 2023, di kawasan Kebon Sirih, Jakarta, dikutip Kamis, 24 Agustus 22023.

Putin Resmi Dilantik Jadi Presiden Rusia, Lanjut Menjabat 6 Tahun Lagi

Namun, Nanang menegaskan bahwa mundurnya Zarubezhneft itu akan segera mendapat penggantinya. Sebab, saat ini sudah ada belasan calon investor, yang berminat menggantikan Zarubezhneft di Blok Tuna tersebut.

"Banyak yang mau, belasan. Jadi yang antri itu belasan. Nah, yang pusing Harbour ini memilih mana yang cocok. Kita doakan saja agar segera selesai karena PoD tinggal eksekusi," ujar Nanang.

Dia bahkan membuka kemungkinan bahwa nantinya pemerintah Indonesia juga akan bekerja sama dengan Vietnam, melalui sejumlah pertimbangan teknis maupun rencana kerja sama bisnis baik G-to-G maupun B-to-B.

"Dan memang rencananya komersialnya ke Vietnam, karena jaraknya ke pasar domestik 600 km pipa. Tapi kalau ditarik ke production facilities yang ada, tinggal 20 km," kata Nanang.

"Nah, itu yang jadi pilihan. Kebetulan kita juga punya bilateral yang bagus dengan Vietnam, sehingga nanti G-to-G dulu baru B-to-B nya. Dan di satu sisi, Vietnam juga punya gas," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya