Sumber :
- Getty Images
VIVAnews -
Presiden Direktur PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI) Abdul Hamid Batubara dan Managing Director Chevron Indonesia Jeff Shellebarger menyatakan prihatin akan tindakan Kejaksaan Agung yang memanggil paksa dan menahan karyawan Chevron, Bachtiar Abdul Fatah pagi ini, Jumat 17 Mei 2013.
Abdul Hamid menyatakan tindakan tersebut melanggar hak hukum dan hak asasi dengan mengabaikan putusan pra peradilan yang sah dan telah membatalkan penetapannya sebagai tersangka terkait kasus bioremediasi yang telah disidik oleh Kejaksaan Agung.
Baca Juga :
Epy Kusnandar Rayakan Ultah Sebelum Ditangkap Kasus Narkoba, Make A Wish Minta Kerjaan Baru
Baca Juga :
Pelajar Hingga Mahasiswa Indonesia Banyak Jadi Korban, Ini Beda Judi Online dan Game Online
Putusan pengadilan ini terjadi setelah Bachtiar dan tiga karyawan yang lain dipenjara selama 62 hari tanpa adanya bukti-bukti yang cukup. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah memutus bebas dari tahanan bagi semua karyawan Chevron tersebut termasuk Bachtiar melalui putusan No.38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel.
"Menurut hukum Indonesia, putusan pra peradilan tidak dapat diabaikan oleh siapapun tanpa adanya putusan resmi dari Mahkamah Agung yang memang menganulir putusan pra peradilan tersebut," katanya.
Namun, Kejaksaan Agung tetap melanjutkan kasus hukum terkait dengan proyek bioremediasi terhadap Bachtiar dan tiga karyawan Chevron yang tidak bersalah walaupun para pejabat pemerintah di semua institusi pengawasan terkait telah memberikan kesaksian di pengadilan bahwa program bioremediasi Chevron dalam operasinya memiliki izin hukum dan mematuhi semua peraturan dan perundang-undangan pemerintah.
Pengadilan telah mendengarkan kesaksian dari pejabat-pejabat dari SKK Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa operasi Chevron taat hukum dan Kejaksaan Agung salah mengerti mengenai program bioremediasi ini.
Padahal,SKK Migas secara terbuka menyatakan bahwa Chevron telah menanggung seluruh biaya program bioremediasi tanpa ada pengembalian biaya dari pemerintah Indonesia. "Karena itu tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan oleh program bioremediasi ini seperti yang dituduhkan oleh Kejaksaan Agung," katanya.
SKK Migas juga menyatakan apabila ada sengketa mengenai program bioremediasi maka seharusnya diselesaikan dengan mengacu kepada hukum perdata seperti yang diatur oleh Kontrak Kerja Bersama (PSC) antara Chevron dan pemerintah Indonesia.
"Chevron telah dan akan terus membela hak hukum dan asasi karyawan dan kontraktor kami dalam kasus ini. Chevron percaya bahwa tindakan Kejaksaan Agung ini tidak beralasan dan menimbulkan ancaman bagi setiap pekerja di industri migas karena mereka bisa menjadi korban berikutnya dari pelanggaran hak-hak warga Negara yang merusak keselamatan dan keamanan mereka," katanya.
Halaman Selanjutnya
"Menurut hukum Indonesia, putusan pra peradilan tidak dapat diabaikan oleh siapapun tanpa adanya putusan resmi dari Mahkamah Agung yang memang menganulir putusan pra peradilan tersebut," katanya.