Membuka Sejarah Formasi Mematikan 4-3-3

Pelatih legendaris Timnas Belanda, Rinus Michels
Sumber :
  • Fcbarcelona.com

VIVA – Strategi jadi salah satu elemen penting dalam sepakbola. Setiap tim wajib memiliki dan menentukan strategi apa yang akan digunakan saat menghadapi sebuah pertandingan, yang dituangkan dalam sebuah formasi baku di atas lapangan. Ada yang menarik jika membahas sebuah formasi dalam sepakbola. Kali ini, kita akan coba mengupas sejarah formasi mematikan 4-3-3.

Jokowi Tunjuk Menko Airlangga Jadi Ketua Pelaksana Tim Nasional OECD, Intip Tugasnya

Siapa yang setuju jika 4-3-3 adalah formasi paling efektif jika dilihat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir? Boleh percaya, tidak pun tak apa-apa. Tapi, faktanya, ada banyak bukti yang membuktikan bahwa formasi ini sangat mematikan dan digunakan oleh begitu banyak tim di dunia.

Mari kita mundur 11 tahun ke belakang. Tepatnya di Stadio Olimpico, Roma, digelar sebuah pertandingan prestisius yang mempertemukan dua kekuatan sepakbola Eropa, Barcelona dan Manchester United, dalam laga final Liga Champions 2008/2009.

Prediksi Pertandingan Premier League: West Ham United vs Liverpool

Lionel Messi mencetak gol Barcelona di final Liga Champions 2008/2009

Tepatnya pada 27 Mei 2009, Setan Merah memiliki ambisi besar mempertahankan gelar paling bergengsi di Benua Biru, setelah semusim sebelumnya sukses mengangkat trofi Si Kuping Besar. Di sisi lain, Barcelona juga punya misi yang sama untuk bisa meraih gelar ketiganya di ajang ini. Apalagi, saat itu The Catalans begitu beringas dengan strategi andalan "Tiki-taka".

5 Fakta Menarik Jelang Duel Everton vs Liverpool di Premier League

Duel ini juga jadi pertemuan pertama antara dua juru taktik papan atas, Sir Alex Ferguson di kubu MU, sementara Pep Guardiola jadi otak di balik performa apik Barca. 

Menurut data yang dikutip Uefa.com, baik Ferguson maupun Guardiola ternyata menerapkan formasi 4-3-3. Benar saja, bentrok kedua tim ini berlangsung sengit selama 90 menit. Akan tetapi, Guardiola bersama Barcelona pada akhirnya berhasil memenangkan pertandingan dengan skor akhir 2-0.

Barcelona juara Liga Champions 2008/2009

Sumbangan gol Samuel Eto'o (menit 10) dan aksi fenomenal Lionel Messi (70), memastikan gelar juara Liga Champions Barcelona. Bukan hanya di Liga Champions, Barcelona dengan formasi andalannya dan sentuhan Tiki-taka berhasil menjadi kampiun di ajang LaLiga dan Copa del Rey.

Semusim setelah itu, giliran raksasa Italia, Inter Milan, yang berhasil meraih gelar treble winner. Dipimpin oleh pelatih kawakan asal Portugal, Jose Mourinho, armada La Beneamata juga sukses menjadi yang terbaik di Benua Biru, Serie A, dan Coppa Italia.

Khusus di Liga Champions, Inter juga mampu memenangkannya dengan fomasi 4-3-3. Diego Milito cs mampu mengubur ambisi raksasa Jerman, Bayern Munich, usai menang 2-0 dalam pertandingan yang digelar di Santiago Bernabeu.

Inter Milan juara Liga Champions 2009/2010

Ternyata, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, gelar juara Liga Champions lebih banyak jatuh di tangan tim yang memasang formasi 4-3-3 dibanding dengan formasi yang lain. Kembali mengutip data Uefa.com, tercatat hanya Bayern yang juara musim 2011/2012 dan Chelsea yang meraih gelar ini pada 2012/2013, yang tak menggunakan formasi 4-3-3.

Setelah 2014, praktis hanya Barcelona, Real Madrid, dan Liverpool yang meraih gelar juara di ajang ini. Los Blancos bahkan sukses meraih empat gelar, tiga di antaranya secara beruntun. Kemudian yang terakhir, Liverpool di bawah komando Juergen Klopp yang kembali mengangkat trofi Big Ear, setelah terakhir kali pada musim 2004/2005.

Dari tiga tim yang berhasil menjadi juara Liga Champions dalam lima musim terakhir, semuanya menggunakan formasi baku 4-3-3. Dari beberapa fakta di atas, bisa disimpulkan bahwa formasi ini memang begitu mematikan andai didukung dengan kualitas pemain yang mumpuni.

Siapa Penemunya?

Sebagian orang percaya bahwa formasi 4-3-3 ditemukan oleh pelatih legendaris asal Belanda, Rinus Michels. Ya, mendiang Michels pernah membawa Belanda menjadi runner-up Piala Dunia 1974 dan juara Piala Eropa 1988.  Michels juga pernah membawa Ajax Amsterdam menjadi juara Liga Champions musim 1970/1971.

Menurut data yang dikutip Uefa.com dan Fifa.com, Michels memang menggunakan formasi 4-3-3 dalam laga final Piala Dunia 1974, Piala Eropa 1988, dan Liga Champions 1970/1971. Dari ketiga final itu, Michels hanya gagal di Piala Dunia 1974 saat Belanda dikalahkan Jerman Barat 1-2 dalam laga yang dihelat di Olympiastadion, Berlin.

Sistem "Total Football" yang diusung Michels pada akhirnya begitu mashyur dan sangat terkenal di dunia. Karakter ini juga yang pada akhirnya diterapkan oleh Johann Cruyff, legenda Timnas Belanda, Ajax, dan Barcelona. Seperti yang diketahui, Cruyff adalah salah satu anak emas Michels saat masih aktif bermain.

Cruyff pada akhirnya memperkenalkan "Total Football" ke Barcelona, yang memaksimalkan formasi 4-3-3 dengan sentuhan Tiki-taka. Tapi, bisa jadi, "Tiki-taka" adalah "Total Football" versi Spanyol.

Skuat Timnas Belanda di Piala Eropa 1988

Doktrin yang dibawa Cruyff ke Barcelona ternyata berimbas positif. Formasi 4-3-3 seperti menjadi ruh permainan Los Azulgranas, baik di level senior maupun junior. Bagaimana tidak, formasi ini menjadi formasi baku Barcelona yang diterapkan juga di akademi sepakbolanya, La Masia.

Jika dilihat secara umum, tim yang menggunakan formasi 4-3-3 biasanya akan mendominasi penguasaan bola. Dengan menguasai bola, maka lawan akan dipaksa menunggu sementara tim yang menerapkan formasi itu akan lebih leluasa untuk membuat peluang dan langsung melakukan pressing saat kehilangan bola.

Para pemain yang digunakan biasanya punya fisik yang tak terlalu besar, dan lebih mengutamakan kualitas penguasaan bola serta akurasi operan yang maksimal. Selain itu, tim yang menggunakan formasi ini cenderung memaksimalkan peran pemain yang punya kecepatan di atas rata-rata. Contohnya sudah jelas, dua megabintang, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.

Johan Cruyff saat bermain bersama Barcelona

"Hanya ada satu bola di lapangan. Jadi, Anda harus memilikinya," sebuah ungkapan yang pernah diucapkan oleh Cruyff, dikutip The Guardians.

Akan tetapi, Cruyff juga pada akhirnya sadar bahwa penguasaan bola saja tak cukup untuk memaksimalkan strategi yang ada. Cruyff pernah menyebut bahwa setiap pemain harus bisa terus bergerak baik dengan atau tanpa bola. Mobilitas dalam lapangan bagi Cruyff juga bisa menentukan kualitas yang dimiliki oleh seorang pemain.

"Saat Anda memainkan pertandingan, secara statistik terbukti bahwa Anda hanya memegang bola rata-rata tiga menit. Jadi, hal yang terpenting adalah apa yang Anda lakukan selama 87 menit saat Anda tidak memegang bola. Itulah yang menentukan apakah Anda seorang pemain berkualitas atau tidak," kata Cruyff.

Era Modern

Formasi sepakbola juga tak lepas dari pengaruh perkembangan zaman. Kebutuhan tim dan karakter pelatih jadi penentu digunakannya formasi dalam setiap tim. Jika ada dua nama pelatih yang konsisten menggunakan formasi 4-3-3, pastilah Guardiola dan tentunya Juergen Klopp.

Usai menuai sukses di Barcelona, Guardiola memang belum mampu membawa tim yang ditanganinya menjadi raja di Benua Biru lagi. Bayern Munich, dan saat ini Manchester City, belum bisa dibawa Guardiola mencapai prestasi yang diraih Barca dulu.

Meski demikian, Guardiola adalah salah satu manajer yang setia pada formasi yang memang lekat dengannya sebagai mantan pemain Barcelona. Formasi itu tetap dipakai Guardiola hingga saat ini bersama armada Manchester Biru.

Pep Guardiola saat mengantar Barcelona juara Liga Champions 2010/2011

Di kompetisi domestik, hasilnya cukup baik. Pelatih berusia 49 tahun ini pernah membawa Bayern meraih tiga gelar Bundesliga secara beruntun, periode 2013/2014 hingga 2015/2016. Pep juga mendaratkan dua gelar Piala Jerman (DFB-Pokal), satu gelar Piala Super Eropa, dan satu gelar Piala Dunia Klub.

Kemudian bersama City, mantan pemain AS Roma dan Brescia ini menciptakan sejarah saat membawa The Citizens juara Premier League dua musim beruntun pada 2017/2018 dan 2018/2019. Lantas, apa kata Guardiola soal strategi yang senantiasa digunakan,

*"Rahasianya adalah memberikan tekanan lebih di satu sisi lapangan. Sehingga, lawan harus berkonsentrasi hanya satu sisi untuk mengatasinya. Jika Anda menekan satu sisi mereka, membuat sisi lainnya menjadi lemah," ucap Guardiola dikutip The Telegraph.

Setelah Guardiola, Klopp sudah tentu jadi salah satu juru taktik yang percaya pada efektivitas formasi 4-3-3. Mantan pelatih Mainz 05 dan Borussia Dortmund ini sukses mendaratkan tiga gelar internasional buat Liverpool.

Setelah 14 tahun berlalu, The Anfield Gang akhirnya jadi raja Benua Biru lagi. Liverpool berhasil melibas Tottenham Hotspur 2-0, dalam laga yang digelar di Wanda Metropolitano, Madrid. Setelah itu, Klopp juga mampu membawa Liverpool merebut gelar Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Klub 2019.

Jika Guardiola dianggap jadi salah satu ikon tiki-taka, maka Klopp jadi sosok yang dikenal dengan gaya gegenpressing. Klopp percaya bahwa tampil menekan dengan intensitas tinggi adalah kunci kemenangan setiap laga.

Juergen Klopp membawa Liverpool juara Liga Champions 2018/2019

"Jika Anda memenangkan bola di seluruh lapangan, Anda akan dekat dengan gol. Itu adalah peluang terbaik yang sangat baik di setiap waktu. Tidak ada playmaker di dunia yang lebih bagus dari situasi menyerang dan menekan," kata Klopp dikutip Thisisanfield.com.

Dengan semua sejarahnya, formasi 4-3-3 akan senantiasa berubah. Mematikan lagi dinamis, formasi ini sepertinya akan terus berevolusi sesuai dengan perkembangan zaman.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya