RI Bisa Tiru Cara Jerman Lawan Hoaks, Cukup Didenda Tak Dipenjara

Diskusi hoax dan fake news
Sumber :
  • VIVA/Misrohatun Hasanah

VIVA – Fenomena hoaks dan fake news nyatanya tidak hanya laris di Indonesia, hal ini juga menjadi masalah global. Situasi ini melahirkan fenomena 'Post-Truth', suatu keadaan saat fakta objektif tidak terlalu memengaruhi pendapat publik.

Tim Pengawal Anies Pamitan usai Pilpres 2024 Berakhir

Deputi Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar mengatakan, Indonesia masuk ke dalam kategori negara yang terlambat merespons tingginya penetrasi pengguna internet. Pemerintah sebenarnya bisa belajar dari Jerman yang saat ini sudah cepat dalam merespons tingginya pengguna internet.

"Berdasarkan pengalaman yang cukup panas, hoaks dan fake news menjadi dua masalah yang tak terpisahkan. Ada yang ingin memecah keberagaman dan persatuan negara, khususnya dalam kontes Pilkada DKI Jakarta kemarin. Hoaks dan fake news bersendikan politik, ideologi dan agama," ujarnya, Jakarta, Senin 20 Agustus 2018.

Bawa Kabar dari Tanah Suci, Peran Media Optimalkan Penyelenggaraan Ibadah Haji

Seorang ahli hukum dan matematika asal Jerman, Wolfgang Schulz mengatakan, hoaks adalah upaya mereka untuk menyesatkan kebenaran serta mengaburkan pembaca. Menurutnya, fake news bukanlah hal baru dalam politik.

"Amerika sudah menggunakan teknik ini pada tahun 1990-an untuk menjatuhkan lawan. Mereka mengatakan bahwa lawannya telah meninggal agar tidak ada masyarakat yang memilihnya," ujarnya.

Kondisi Gaza Jauh Lebih Hancur Dibanding Kota di Jerman Pada Perang Dunia II

Pengadilan di Jerman memakan waktu selama berjam-jam untuk menentukan apakah sebuah pernyataan masuk dalam kategori fakta atau opini. Di Jerman berlaku hukum keras untuk menangani hoaks. Platform daring yang mendistribusikan maupun yang gagal menghapus konten palsu akan dikenakan denda sebesar 50 euro atau sekitar Rp850 ribu.

Berbeda dengan Tanah Air, Jerman tidak mengkriminalisasi individu dalam kasus hoaks. Jika ada dari mereka yang menyebarkan fake news maupun hoaks, maka otoritas Jerman hanya akan dikenakan denda, tidak mendekam di balik jeruji besi. Indonesia masih memberlakukan sistem kriminalisasi, sehingga sering mendapat kritik dalam upaya membungkam kebebasan berekspresi.

"Regulasi di Jerman tidak sepenuhnya sempurna, namun mereka punya kemajuan yang lebih progresif. Indonesia ketika ada hoaks yang ditargetkan ialah individu, sementara di sana menargetkan media sosial, platform. Ini menarik, bisa kita tiru," ujar Wahyudi.

Penanganan terhadap maraknya disinformasi, fake news, dan hoaks harus dilakukan secara bersamaan dan kolaboratif. Penanganannya dapat dibagi ke beberapa level, yaitu negara, intermediet, media, dan masyarakat sipil.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya