Perang Tarif Selular Ada Lagi, Menkominfo Dukung Kompetisi

Sim Card.
Sumber :
  • REUTERS

VIVA.co.id – Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 dan Nomor 53 Tahun 2000, terutama yang terkait dengan interkoneksi dan network sharing, dituding memicu 'perang tarif' antaroperator seluler di luar pulau Jawa. 

Regulasi IMEI Disiapkan, Pengguna Ponsel Bakal Rugi?

Disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo),  Rudiantara bahwa dia sangat mendukung kompetisi antaroperator. 

"Harus ada pilihan bagi masyarakat,  mengenai jenis layanan maupun harga, itu namanya kompetisi, saya dorong kompetisi," ujar Rudiantara di sela pelantikan pejabat eselon I di Gedung Kominfo,  Jakarta Jumat 7 Oktober 2016.

Menkominfo: Regulasi dan Konsolidasi Operator Ibarat Telur dan Ayam

Tetapi, kompetisi ini pun, kata pria yang akrab disapa chief RA itu harus bersifat rasional. Karena, industri operator harus berkelanjutan, selain tarif yang diberikan 'jor-joran' biaya pemeliharaan dan lain sebagainya pun harus dipikirkan matang. 

"Tapi saya dorong efisiensi dari industri, agar ada tingkat affordability, harganya makin terjangkau oleh masyarakat," tambah Rudiantara. 

Sederhanakan Aturan Teknologi, Kasihan Pebisnis

Diketahuinya,  saat ini, tercatat perang tarif terjadi di dua operator,  setelah Indosat Ooredoo menurunkan tarif telepon ke semua operator sejak pertengahan 2016, kini XL Axiata juga mengikuti. 

Tepatnya, Indosat memasang tarif pembicaraan antaroperator dengan program Rp1 per detik, sedangkan XL baru-baru ini mengeluarkan program Rp59 per menit untuk telepon semua operator. Keduanya hanya berlakukan di luar pulau Jawa. 

Gara-gara Revisi PP 52/53 

Sebelumnya, pengamat telah menduga perang tarif ini akan terjadi. Ini dituding sebagai tujuan Kominfo melakukan revisi PP 52/53 tahun 2000 dan kebijakan turunnya biaya interkoneksi, agar tercipta kompetisi, termasuk persaingan harga. 

"Meski tarif murah akan menguntungkan konsumen, namun jika perang tarif terus dilakukan dalam jangka waktu yang lama dan masif, akan ada operator yang mengalami kerugian. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan ada operator telekomunikasi yang ‘gulung tikar’ akibat tak mampu bertahan di perang tarif ini," ujar Chief Economist Danareksa Research Institute, Kahlil Rowter, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Ke depannya, kata dia, dipastikan operator yang melakukan perang harga akan kembali menaikkan tarifnya untuk menutup kerugian selama perang harga berlangsung. Sebaba operator telekomunikasi harus menggembalikan dana yang dipergunakan untuk melakukan perang harga tersebut.

"Operator yang menjalankan perang harga kerap mengabaikan kualitas layanan telekomunikasinya. Seperti sering terjadinya drop call, atau terbatasnya coverage di satu wilayah. Jadi, perang harga tidak otomatis menguntungkan konsumen, justru berpotensi memperdaya," kata Kahlil. (asp)

Ilustrasi menara BTS.

Jangan Ada Kanibalisme di Industri Telekomunikasi

Berbagi jaringan atau network sharing bak dua sisi mata uang.

img_title
VIVA.co.id
18 Juni 2020