Logo DW

Death Metal, Aliran Musik yang Ciptakan Rasa Gembira dan Pemberdayaan

picture-alliance/CITYPRESS24
picture-alliance/CITYPRESS24
Sumber :
  • dw

Ingin merasa gembira? Cobalah dengarkan musik death metal. Itulah kesimpulan diskusi DW dengan pakar yang melakukan studi mengenai aliran musik tersebut. Namun, hal itu hanya berlaku untuk para penggemar death metal.

Tim DW memiliki kesempatan untuk berdiskusi dengan Bill Thompson, seorang pakar di bidang persepsi musik dan kognisi. Death metal adalah sebuah subgenre heavy metal, yang identik dengan tema kematian dan penyiksaan. Lirik-lirik lagu tersebut biasanya bersifat masokis, sedih dan brutal. Namun, studi Thompson menunjukkan bahwa pecinta aliran musik death metal merasakan pemberdayaan, kegembiraan dan kedamaian.

Thompson meneliti apakah orang-orang yang mendengarkan musik dengan tema kasar dan lirik agresif dalam jangka panjang bisa terpengaruh dan menujukkan perubahan terhadap gambaran kekerasan. Tetapi hasil riset menunjukkan bahwa pecinta death metal, termasuk death metal yang memiliki tema kekerasan, cenderung merasakan pemberdayaan, kegembiraan, transendensi dan kedamaian saat mendengarkan lagu-lagu tersebut.

Menurutnya, mereka tidak terpaku dengan lirik-lirik yang misoginis dan terkait dengan kekerasan. Mereka tidak memroses lirik tersebut dalam konteks linguistik, melainkan secara emosional, yang bisa membangkitkan energi dan rasa pemberdayaan mereka.

Lalu bagaimana dengan gambaran kekerasan? Thompson menguji hal tersebut dengan teknik ‚binocular rivalry‘, dimana peserta studi dihadapkan dengan dua buah gambar, satu gambar di depan masing-masing mata. Otak tidak akan bisa memroses kedua gambar tersebut dalam waktu yang bersamaan. Tanpa disadari, orang akan menangkap satu gambar pada satu waktu dan kemudian berganti ke gambar berikutnya.

Hal ini membuktikan bahwa otak kita cenderung memroses hanya satu gambar tertentu. Beberapa orang akan memroses gambar kekerasan terlebih dahulu, karena kekerasaan adalah bentuk ancaman biologis. Otak kita akan dengan sendirinya memperhatikan ancaman tersebut.

Jika ada perubahan bertahap pada gambaran para fans musik kekerasan, maka akan ditemukan bias lebih kuat terkait pengolahan citra kekerasan dibanding citra non-kekerasan. Namun ternyata, biasnya sama saja, baik bagi para fans dan non-fans musik kekerasan. Mereka sama-sama memiliki empati. Mereka juga sensitif terhadap gambaran kekerasan. Mereka pun peduli terhadap kekerasan di luar konteks musikal.