5 Penyakit Fatal yang Bisa Dicegah dengan Vaksin

Vaksin difteri
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Asep/Fathulrahman

VIVA – Vaksin diketahui menjadi salah satu cara efektif mencegah berbagai penyakit berbahaya yang menjadi endemis di Indonesia. Tapi sayangnya, jumlah anak yang belum mendapatkan vaksin di Indonesia masih sangat tinggi.

Bolehkah Anak Lakukan Vaksin Tanpa Izin Orangtua?

Pemerintah pun sudah membuat program imunisasi dasar yang wajib dilakukan oleh anak. Ketua Satgas Imunisasi Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita, SpA(K), M.Sc, Phd mengungkapkan beberapa penyakit yang bisa berakhir fatal namun sangat dapat dicegah melalui imunisasi.

Hepatitis B

8 Mitos Soal Vaksin Ini Picu Kembali Munculnya Penyakit

Cissy mengatakan, vaksin Hepatitis B penting diberikan pada bayi baru lahir karena Indonesia masih termasuk daerah endemis. "Hepatitis bisa menjadi kronis dan menyebabkan kelainan di kemudian hari," ujar Cissy saat seminar media Pekan Imunisasi Dunia 2018 di Kantor Pengurus Pusat Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta, Rabu 25 April 2018.

Cissy melanjutkan, 80-90 persen infeksi yang terjadi pada tahun pertama bisa menjadi kronis. Pada saat dewasa bisa menjadi penyakit hati bahkan menjadi kanker hati di kemudian hari.

Orangtua Antivaksin Jadi Sebab Meningkatnya Kasus Campak di Dunia

Poliomyelitis

Atau lebih awam dikenal dengan polio yang bisa menyebabkan kecacatan pada anak. Meski di Indonesia dinyatakan sudah teradikasi, namun masih ada beberapa negara di dunia yang masih tinggi polio. Yang menjadi kekhawatiran ada warga dari negara tersebut yang membawa penyakit ini kemudian mengenai anak yang belum divaksin. Seperti kasus yang terjadi pada tahun 2006.

"Kalau terinfeksi, bisa tidak ada gejala, bisa juga menjadi lumpuh karena mengenai tulang belakang," jelas Cissy.

Meski kelumpuhan bisa disembuhkan, tapi hanya 30 persen saja dan sisanya bisa menyebabkan kelumpuhan karena otot mengecil atau tidak tumbuh. Bahkan bisa juga menyebabkan kematian.

Tuberculosis (TBC)

Indonesia menduduki peringkat kedua penderita TBC di dunia. Pada anak, TBC sulit terdeteksi. Secara klinis TBC tidak hanya menyerang paru-paru tapi juga bisa di luar paru. Kalau di dalam paru-paru, kata Cissy, masalah terjadi pada saluran pernapasan, batuk-batuk berkepanjangan hingga demam tinggi yang berlangsung lama.

"TB tidak hanya paru, bisa juga di kulit, kelenjar leher atau seluruh organ. Bisa juga di tulang belakang, banyak anak di bawah usia 5 tahun yang terkena TBC tulang belakang. TBC juga bisa menyebabkan meningitis hingga tidak sadarkan diri," ujar Cissy.

Ilustrasi vaksin.

Difteri

Pasca mewabahnya kembali difteri di beberapa wilayah Indonesia, pemerintah telah melaksanakan Outbreak Response Immunization (ORI) sebanyak dua kali. Cissy mengingatkan bahwa masih ada ORI yang ketiga dan ini tidak boleh dilewatkan agar wabah tidak kembali terjadi.

Anak yang tertular, dalam 2-3 hari akan timbul gejala awal. Cissy mengatakan, gejala awal difteri cukup ringan seperti gelisah dan menurunnya aktivitas. Kemudian akan muncul bercak putih di tenggorokan yang makin lama makin besar.  Gejala khas difteri lain adalah leher yang membengkak atau bullneck (leher banteng). Jika kondisinya sudah demikian akan sulit diobati.

Pertusis

Disebut juga dengan batuk rejan atau batuk 100 hari. Pertusis disebabkan oleh bakteri. Seringkali bayi yang baru lahir yang belum sempat imunisasi lalu mengalami batuk hebat karena ibunya sedang sakit. Pada anak remaja, pertusis muncul karena imunisasi yang tidak diulang. Imunisasi pertusis biasanya ada di dalam vaksin TDP.

Masa inkubasi infeksi pertusis selama 7-10 hari. Dalam 1-2 minggu mulai batuk dan pilek, kemudian batuk menjadi intens, mata memerah karena perdarahan di mata. Pada bayi kecil, batuk ini bisa berakhir dengan muntah. Pertusis bisa menyebabkan komplikasi yang menyebabkan kematian, tapi bisa disembuhkan selama mendapatkan pengobatan yang cepat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya