Bahaya Hepatitis C, Mudah Menular Melalui Cuci Darah

Ilustrasi Diinfus.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Penyakit hepatitis disebabkan oleh virus yang menyerang organ hati. Peradangan yang terjadi akibat virus tersebut, dapat memicu bahaya fatal termasuk penyakit ginjal kronik (PGK).

Ginjal Sehat dengan Diet Tepat: Panduan Lengkap untuk Pasien Penyakit Ginjal

Dijelaskan Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, dr. Azhar Jaya, SKM, MARS, penyakit PGK angkanya semakin lama semakin tinggi, untuk itu masyarakat harus melakukan tindakan preventif jangan sampai menjadi parah dan melakukan cuci darah

"Banyak upaya preventif yang menjadi tugas bersama, agar bisa mengurangi kenaikan kasus. Pemerintah selalu berupaya memberikan pelayanan bagi pasien cuci darah, dimana saat ini anggaran penyakit gagal ginjal harus didiskusikan lebih lanjut dengan parlemen.

Bolehkah Pasien Penyakit Ginjal Puasa Ramadhan?

Kementerian Kesehatan siap bekerjasama dengan organisasi profesi dalam memberikan pengobatan kepada pasien PGK salah satunya usulan penggunaan Erythropoietin (EPO) dengan memperhatikan standard terapi yang sudah ada," ujarnya dalam acara virtual 'Hepatitis dan Penyakit Ginjal Kronik #TemanKPCD', baru-baru ini.

Senada, Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia dr Aida Lydia PhD SpPD-KGH FINASIM mengatakan, hepatitis C menginfeksi 130 juta hingga 150 juta orang di dunia dengan estimasi prevalensi 3 persen. Hal ini menyebabkan 300 ribu orang meninggal akibat HCV per tahun.

Angka Kasus Penyakit Ginjal Makin Meningkat, Sedot Dana BPJS Hingga Rp2,9 T

"Kelompok tertinggi terkena hepatitis diantaranya pasien hemodialisis di mana secara umum usia harapan hidup pasien dialisis yang terkena hepatitis akan semakin singkat, belum lagi kalau terkena penyakit hati kronik, yaitu sirosis hati atau kanker hati,” imbuhnya.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), setiap 30 detik ada satu orang meninggal karena hepatitis, khususnya di era pandemi COVID-19 sehingga kerap disebut sebagai The Silent Killer.

Padahal, Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia Dr dr Irsan Hasan SpPD-KGEH FINASIM mengungkapkan, sudah tersedia vaksin untuk hepatitis B sebagai langkah pencegahan pada kondisi yang lebih buruk.

"Salah satu kondisi yang harus diperhatikan adalah hepatitis kronik yang dapat berlanjut menjadi sirosis hati, di mana kasus sirosis hari di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh hepatitis B dan hepatitis C," kata dr Irsan.

Dalam hal pelayanan hemodialisis, semua pihak tidak dapat dipungkiri jika penggunaan tabung dialiser yang digunakan secara berulang pada setiap tindakan dialisis berpotensi menjadi sumber paparan penularan virus hepatitis C kepada kepada pasien hemodialisis.

Selain itu, tingginya penggunaan dan tindakan transfusi darah karena akses obat-obatan yang belum merata dijamin oleh BPJS Kesehatan juga berpotensi menjadi penyebab penularan hepatitis C yang semakin tidak terkontrol pada pasien yang menjalani hemodialisis.

Berdasarkan Riset KPCDI tahun 2018 dengan total responden 200 pasien hemodialisis menunjukan bahwa 45% pasien PGK terpapar hepatitis C setelah mereka menjalani tindakan hemodialisis.

Jika dirinci, sebanyak 43,1% pasien PGK terjangkit hepatitis C pada usia 1-3 tahun pertama proses cuci darah. Sebanyak 25,6% pada 3-5 tahun, 12,3% pada 5-10 tahun, 14,3% kurang dari satu tahun, dan 4,3% pada saat proses hemodialisis di atas 10 tahun.

Seiring berkembangnya teknologi medis, pemberian obat-obatan yang mudah dijangkau, menjalankan standar operasional prosedur yang baik serta memilih terapi dialisis maupun transplantasi ginjal yang sesuai dengan kebutuhan pasien, bisa menjadi pilihan yang tepat dan disarankan bagi para pasien gagal ginjal tahap akhir. Sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penderita.

Manfaat lainnya, menurunkan risiko terkena penyakit menular termasuk virus hepatitis, dan pasien dapat melakukan aktivitas layaknya orang normal karena tidak perlu secara rutin datang ke rumah sakit untuk cuci darah.

"Pada kejadian penyakit ginjal kronik stadium akhir atau dalam 8 tahun, studi menunjukkan bahwa pada kelompok yang mendapatkan terapi antiviral lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan terapi antiviral,” tambahnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya