Organisasi Profesi Kesehatan NTB Tegas Tolak RUU Kesehatan Omnibus Law

Ilustrasi dokter/rumah sakit.
Sumber :
  • Freepik

VIVA Lifestyle – Penolakan untuk RUU Kesehatan (Omnibus Law) terus berdatangan dari berbagai pihak di wilayah Indonesia. Pada Sabtu 5 November 2022, Nusa Tenggara Barat (NTB) mewakili wilayah Indonesia Timur telah mulai mengajukan penolakannya terhadap penghapusan UU Profesi dalam RUU Kesehatan.

Selebritis Perempuan Naik Ring Tinju, Amankah bagi Wajah dan Hasil Operasi Plastik?

Lima perwakilan dari Organisasi profesi medis dan Kesehatan Wilayah NTB yakni Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) menyampaikan bahwa ada banyak kondisi kesehatan di NTB yang umumnya dialami oleh wilayah Indonesia Timur yang lebih membutuhkan perhatian segera oleh pemerintah pusat ketimbang RUU kesehatan ini. Scroll untuk informasi selengkapnya.

Selama puluhan tahun koordinasi antara OP dan pemerintah kesehatan setempat berjalan sangat harmonis dan saling bersinergi untuk mengatasi minimnya perhatian pemerintah pusat terhadap kondisi tersebut.

Bingung Pilih Skincare Lokal atau Luar? Begini Saran Dokter

“Kami mendukung perbaikan sistem kesehatan yang terdapat dalam RUU tersebut, terutama dalam hal pemerataan dokter spesialis untuk daerah-daerah. Saat ini hanya sekitar 14 persen dokter yang dapat diserap pemerintah. Namun sayangnya sektor kesehatan swasta belum dikembangkan sepenuhnya,” tegas Dr. dr Rohadi, SpBS(K), Ketua Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Sabtu 5 November 2022.

Terungkap, Ini Hasil Tes Kejiwaan Suami Mutilasi Istri di Ciamis

“Meski demikian, kewenangan UU profesi tidak bisa dihilangkan, karena hal ini sudah berjalan dengan baik dan tertib. Penghilangan UU Profesi ini tidak hanya berpotensi negatif pada organisasi profesi, namun terutama pada masyarakat, karena dalam hal ini masyarakat lah yang pada akhirnya merasakan efek terbesar dari penghapusan UU tersebut,” sambungnya.

Kelima organisasi profesi kesehatan tersebut sepakat bahwa kebijakan kesehatan harus mengedepankan jaminan hak kesehatan terhadap masyarakat. Dalam menjamin praktik dari tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya, harus dipastikan kompetensi dan kewenangannya agar keselamatan pasien dapat tetap dijaga. 

Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia Wilayah NTB, drg. Bagio Ariyogo Murdjani menambahkan, UU Profesi tidak boleh dihilangkan dan harus diatur dan dilindungi oleh Undang-undang tersendiri. Karena profesi dokter, dokter gigi, perawat, apoteker, bidan ini menyangkut hak pasien, banyak risiko berkaitan dengan penerapan teknologi, dan menyangkut kepastian hukum, keadilan, dan keselamatan pasien.

UU di bidang kesehatan yang ada saat ini boleh dikatakan sudah berjalan dengan selaras seperti UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No 38/2014 tentang Keperawatan, UU No 4/2019 tentang Kebidanan, dan RUU tentang Kefarmasian. Sebab semua UU tersebut merujuk kepada UUD Negara RI Tahun 1945 dan UU No 36/2009 tentang Kesehatan (hasil revisi dari UU No 23/1992), dan semuanya dibuat oleh institusi yang sama, yakni DPR dan Pemerintah. 

Selain itu, semua UU tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi serta tenaga medis lainnya, memberikan kepastian hukum kepada dokter dan dokter gigi dan tenaga medis kesehatan lainnya seperti bidan, perawat, dan apoteker, dan terutama perlindungan pelayanan kepada masyarakat.

Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia Provinsi NTB, H. Muhir, S,Kep, Ners dan Ketua Ikatan Bidan Indonesia Provinsi NTB: Ni Wayan Mujuningsih, S.St., S.Sos mengatakan bahwa hal-hal lain yang perlu dijadikan perhatian, tenaga kesehatan juga merupakan warga negara yang memiliki hak-hak konstitusi yang sama, di antara hak-haknya adalah mendapat perlindungan hukum, perlindungan diri, harkat dan martabat, serta berhak memperoleh pekerjaan dan kesejahteraan diri dan keluarganya. 

Ilustrasi dokter/suster.

Photo :
  • Pixabay/voltamax

Biaya pendidikan yang tinggi menyebabkan tidak semua siswa berpotensi sanggup melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran. Pajak alat kesehatan yang tinggi menyebabkan pemerataan dan penguasaannya membutuhkan biaya tinggi. Selain itu, remunerasi yang berkeadilan bagi tenaga kesehatan sangat dibutuhkan, terutama di daerah 3T (terluar, tertinggal, terdepan) agar lebih banyak yang mengabdi. 

Sementara itu, Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Provinsi NTB, apt. Drs. Agus Supriyanto menyatakan bahwa OP Kesehatan tidak pernah memperoleh informasi ataupun diajak terlibat dalam diskusi mengenai RUU Kesehatan ini. Demikian juga dengan Pemerintah daerah dan Dinkes Setempat juga tidak mengetahui hal ini. Padahal keberadaan OP kesehatan membantu tugas pemerintah dan dinkes daerah terutama dalam pemeriksaan latar belakang anggota, penanganan etik, dan lain-lain.

Sejalan dengan pernyataan Organisasi Profesi Medis dan Kesehatan Nasional yang digaungkan beberapa pekan lalu, Kelima OP Kesehatan di NTB ini juga menyatakan siap mendukung perbaikan Sistem Kesehatan Nasional melalui UU Sistem Kesehatan Nasional, namun tidak dengan menghilangkan UU Profesi yang sudah ada. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya