BPOM Sarankan Pengadaan Vaksin Hanya Satu Pintu

Salah satu contoh vaksin palsu milik Kementerian Kesehatan yang pernah ditemukan. Umumnya vaksin ini diganti label dan menggunakan botol bekas/Ilustrasi.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Filzah Adini Lubis

VIVA.co.id – Kasus vaksin palsu yang membuat banyak orangtua geram menyeret banyak instansi. Instansi itu di antaranya seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kepolisian, Industri Farmasi dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI).

Pertanggungjawaban merekapun dipertanyakan. Saat itu semua pihak ramai angkat bicara soal vaksin. Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah bagaimana jalur distribusi obat dan vaksin, dan bagaimana proses pengawasan yang dilakukan.

Setelah kasus vaksin palsu mencuat, penyelidikan terhadap jalur distribusi vaksin kembali ditelusuri. Dan ditemukan bahwa rumah sakit-rumah sakit yang menggunakan vaksin palsu tersebut ternyata pengadaan obat dan vaksinnya menggunakan banyak pintu.

"Pengadaan obat vaksin di klinik dan rumah sakit menggunakan banyak pintu. Kalau pengadaan dari banyak pintu, tentu tidak bisa dikontrol," ujar Drs. Arustiyono, Apt, MPH, Direktur Pengawasan Distribusi PT dan PKRT Badan POM RI, dalam Dialog Polri Kupas Tuntas Vaksin Palsu, di Kopi Boutique, Jakarta Selatan, Kamis 11 Agustus 2016.

Dan untuk mencegah kejadian vaksin palsu ini kembali berulang, Arustiyono menyarankan agar pengadaan obat dan vaksin di rumah sakit dan penyedia layanan kesehatan lainnya harus melalui kualifikasi pemasok.

"Badan POM menyarankan agar pengadaan vaksin dikontrol melalui kualifikasi pemasok, dan melalui satu pintu. Kalau kualifikasi tidak dilakukan dengan benar, ada kemungkinan besar untuk disusupi vaksin palsu," ujarnya.

Sebelumnya, Arustiyono juga pernah menegaskan bahwa sistem pengawasan obat sendiri ada tiga lapis yaitu pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.

"Pemerintah, artinya bukan hanya Badan POM saja, berapa puluh ribu rumah sakit, apotik, klinik di Indonesia. perlu sinergisme yang lebih kuat. Dan pelaku usaha, kalau ada yang palsu langsung dilaporkan," ujarnya.

Vaksin Palsu, Wakabareskrim Sebut Rumah Sakit Juga Korban

Untuk masyarakat sendiri, Arustiyono menjelaskan bahwa pada masyarakat dengan tingkat ekonomi baik, akan lebih baik dalam melakukan pengawasan, dibanding masyarakat di negara berkembang.

"Tingkat ekonomi baik, pengawasan lebih mudah, karena masyarakat jauh lebih aware. Tapi di negara berkembang, di mana tingkat pendidikan masih kurang, ekonomi kurang, pertimbangan mutu dan keamanan obat vaksin belum yang utama," tegasnya.

Perdagangan Obat di Internet Perlu Diawasi Ketat
Sidang vaksin palsu di Bekasi.

Pembuat Vaksin Palsu Divonis 9 Tahun Penjara

Suaminya 9 tahun, istrinya dibui 8 tahun.

img_title
VIVA.co.id
20 Maret 2017