Nikmatnya Menjajal Kopi Cokot Khas Madiun

Kopi Cokot Madiun
Sumber :
  • VIVA / Adib Ahsani

VIVAlife – Menikmati kopi, belakangan berkembang dengan berbagai cara penyajian dan bahan campuran. Berbagai kedai dan coffee shop bermunculan, seakan berlomba menyajikan kopi terbaik, dengan segudang cita rasa berbeda. Sesuatu yang mengarah ke gaya hidup.

Namun sejatinya, menikmati kopi yang sebenarnya, adalah menikmati kopi murni, bukan dengan bahan campuran dan rasa bermacam-macam. Paling tidak, konsep itu yang diterapkan Wahyudi, pemilik Wakoka (warung kopi kawula alit). Sebuah kedai kopi di Jalan Menur, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Wahyudi ingin menghadirkan rasa kopi asli tanpa ada bahan tambahan lain.

Pada zaman dahulu, yang dimaksud gula adalah tebu dan gula aren. “Gula arena atau gula dari kelapa, jelas harganya lebih mahal dibanding dengan gula tebu. Itulah sebabnya, gula aren hanya bisa dibeli dari kalangan priyayi dan pejabat kerajaan. Sedangkan rakyat jelata atau kawula alit, hanya kuat membeli gula tebu,” ujar Wahyudi, pria yang sering mengenakan kopyah dari koran ini.

Di Wakoka, Wahyudi ingin kembali menghadirkan budaya minum kopi zaman lampau. Kopi pahit, dihidangkan dengan dua potong kecil gula aren dan gula tebu. “Kopi yang kami hidangkan juga tidak digiling halus, melainkan giling kasar,” tambahnya.

Untuk menikmatinya, pengunjung menggigit gula, lalu diikuti dengan menyeruput kopi panas. “Nikmatnya kopi hanya pada saat masih panas. Seberapa besar gigitan gula, juga menentukan kadar manisnya kopi yang diminum,“ tandas Wahyudi, yang sudah bertahan 10 tahun menjaga konsep kopinya.

Itulah keuntungan kopi cokot, bisa menentukan sendiri kadar manis kopi. Ini berbeda dengan kopi yang langsung diseduh dengan gula. Satu cangkir kopi, pahitnya atau manisnya kopi akan sama hingga habis.

Meski begitu, Wakoka juga menyediakan kopi jenis lain, seperti kopi susu, dan kopi jahe. Dan disediakan juga, kopi yang bukan cokot. “Saya tetap mengakomodasi keinginan orang, karena mereka mempunyai cara tersendiri dalam menikmati kopi,” tambahnya.

Di warungnya, pengunjung juga dimanjakan suasana tradisional. Sebuah rumah Joglo khas Jawa, menjadi bangunan utama warung miliknya. Mebelnya pun Wahyudi tidak menghadirkan yang modern.

Ini Cara Indonesia Promosi Kopi Nusantara di Norwegia

Ia malah menjadikan gerobog (brangkasnya orang Jawa) sebagai meja, dan lesung (tempat menumbuk padi zaman dahulu) sebagai kursi. “Tetapi di sini ada free wifi-nya,” ujarnya berseloroh.

Selain kopi cokot, berbagai makanan tradisional juga bisa didapatkan. Seperti kacang rebus, ketela rebus, pisang goreng, dan sebagainya. “Sekali lagi, konsepnya tradisional,” tuturnya.

Dalam sehari, pria itu bisa menjual 4-5 kilogram kopi. Kopi yang dimasak, dibeli dari pasar tradisional di Ponorogo. Tidak jarang ada orang yang memesan bubuk kopinya saja, untuk dibawa pulang.

“Saya beberapa kali, mengantarkan kopi saya ke Gus Ipul (Saifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur). Beliau juga pernah ngopi di sini lima kali. Pak Karwo (Soekarwo, Gubernur Jawa Timur) juga pernah ke sini,” cerita Wahyudi bangga.

Tidak hanya itu, beberapa artis pernah singgah ke Wakoka. Mereka adalah Tukul Arwana dan Alex Komang. “Mereka mengaku enjoy dengan konsep kopi yang saya hadirkan,” ujarnya. (art)

Laporan: Adib Ahsani/Madiun

Baca juga:

Menelik Jejak Fenomena Kopi di Kalangan Kaum Urban (I)

Jelajah Kuliner, Berburu Kopi Enak di Bandung

Secangkir kopi.

Bahaya Kafein dalam Enam Cangkir Kopi

Syarat konsumsi kafein perhari yaitu 80 hingga 125 miligram.

img_title
VIVA.co.id
2 Agustus 2016