Facebook Tutup Pintu Hoax

Media sosial Facebook.
Sumber :
  • REUTERS/Eric Gaillard

VIVA – Informasi palsu alias hoax menghantui banyak pengguna Internet di penjuru dunia. Hoax membuat kenyamanan pengguna media sosial terusik, sedangkan pihak berwenang di banyak negara dibuat repot menanggulangi kecamuk hoax yang menyerang mereka.

Awas Hoaks, Ayu Dewi Tegaskan Gak Pernah Jadi MC Peluncuran Jet Pribadi Sandra Dewi dan Harvey Moeis

Hoax juga membuat perusahaan teknologi dunia seperti Facebook sampai Google dibikin repot.
Mereka dituntut untuk bisa “turun gunung” menanggulangi penyebaran hoax.

Telunjuk berbagai pihak pun sering mengarah ke Facebook sebagai platform media sosial terkemuka dunia. Hoax umumnya menyebar luas melalui media sosial dan aplikasi perpesanan.

Nikita Mirzani Ngaku Dapet Kekerasan dari Rizky Irmansyah, Lita Gading: Lapor Jangan Koar-koar

Selama dua tahun belakangan, Facebook sudah berperang membendung hoax pada platformnya. Media sosial ini lebih senang menyebutkan gerakan ini sebagai perang melawan misinformasi atau informasi yang salah dan berita palsu alias false news

Target pertama Facebook yakni membendung infomasi yang salah dan sejenisnya dalam bentuk artikel yang muncul pada platformnya. Beragam jurus dilakukan Facebook, mulai dari cara mandiri dengan mengembangkan algoritma khusus dan terus merilis teknologi untuk memerangi masalah ini, menggandeng lembaga pengecek fakta pihak ketiga, sampai memberikan peringkat akurasi konten berbasis ulasan dari mitra pengecek fakta. 

Amanda Manopo Murka! Gosip Hoaks Tersebar Luas, Keluarga Sampai Tahu

Media sosial besutan Mark Zuckerberg tak puas dengan membasmi hoax di artikel saja. Namun Facebook menyadari hoax tak cuma nongol di artikel saja, tapi jug pada konten foto dan video. 

"Kami saat ini sedang memperluas pengecekan fakta untuk konten foto dan video pada semua 27 mitra di 17 negara di seluruh dunia," ujar Produk Manajer News Feed Integrity Facebok, Antonia Woodford dikutip dari Newsroom Facebook, Jumat 14 September 2018.

Dia meyakini, dengan banyaknya entitas yang terlibat dalam membendung hoax dan false news itu, maka tugas berat untuk mengidentifikasi dan membasmi lebih banyak jenis informasi bisa lebih cepat dilakukan. 

Nah, untuk membendung hoax pada konten foto dan video, Facebook berbekal pengalaman dalam penanganan artikel pada platformnya. Masih dengan skema melibatkan pihak ketiga dan dengan menambah kekuatan dengan teknologi kecerdasan buatan dalam bentuk mesin pembelajaran (machine learning/ML).

Kabarnya kecerdasan buatan baru yang dipakai Facebook yakni bernama Rosetta. Dengan teknologi ini, media sosial raksasa ini yakin hoax dan ujaran kebencian pada foto dan video akan lebih cepat terdeteksi.

Sistem akan digunakan pada Facebook dan Instagram. Rosetta bisa juga untuk meningkatkan pencarian foto dan konten di permukaan pada News Feed. AI ini akan bekerja dengan mengekstraksi teks dalam berbagai bahasa dari lebih miliaran gambar serta video secara real time. Intinya Facebook mengombinasikan teknologi yang mereka miliki dengan ulasan dari tim pengecek fakta.

Bukan cuma mengandalkan Rosetta saja, Facebook punya teknologi optical character recognition (OCR), yang akan mengekstrak teks dari foto dan membandingkan teks itu dengan berita utama dari artikel pengecek fakta.

Woodford menuturkan, Facebook sedang mengupayakan cara-cara baru untuk mendeteksi apakah foto atau video telah dimanipulasi. 

Ragam teknologi tersebut, ujarnya, akan membantu mengidentifikasi foto dan video yang lebih berpotensi menipu, dan kemudian diuji dan ditinjau tim pengecek fakta.  

Cara kerjanya

Secara teknis, begitu menemukan atau mendapatkan laporan foto atau video diduga mengandung informasi yang salah, Facebook akan mengirimkannya ke mitra pemeriksa fakta untuk diulas. 

Pemeriksa fakta mitra Facebook sudah punya keahlian dalam mengevaluasi foto dan video dengan teknik verifikasi visual, seperti kapan dan di mana foto atau video diambil. Mereka membaca dan menganalisis metadata konten foto dan video. 

Woodford menegaskan, pengecek fakta mereka bekerja dengan gaya jurnalis investigatif. Mereka menilai kesahihan foto atau video dengan basis data dari riset ahli, akademisi sampai lembaga pemerintah. 

"Sumber-sumber yang digunakan mitra kami bisa dipercaya, sehingga tidak bergantung sama Wikipedia atau informasi lainnya," klaim Woodford.

Sedangkan Produk Manajer News Feed Integrity Facebook , Tessa Lyons mengatakan salah satu tantangan dalam membendung informasi yang salah adalah tak ada satu konsensus atau sumber kebenaran. 

Menurutnya, untuk memastikan seberapa objektif atau salahnya sebuah berita, selalu ada banyak konten dalam area yang abu-abu. 

"Kebanyakan hal ini mungkin hadir di beberapa ruang yang mana orang melihat fakta di sana," ujarnya.  

Dia mengatakan saat informasi yang salah muncul di artikel, maka pertama-tama, Facebook akan menggunakan analisis melalui teknologi dan memprioritaskan ulasan dari pengecek fakta.

Langkah kedua, begitu mendapatkan hasil rating dari pengecek fakta, Facebook kembali pakai teknologi untuk menemukan duplikasi konten. Yang sudah dilakukan, Facebook akan menggunakan hasil ulasan pengecek fakta itu untuk menemukan berapa link dan domain yang menyebarkan klaim kontan yang sama. 

"Nah kami akan mengaplikasikan teknologi yang sama untuk mengidentifikasi duplikasi foto dan video yang telah dibantah olah pengecek fakta. Jadi kami bisa memanfaatkan setiap peringkat dari mitra kami," ujar Lyons. 

Ilustrasi skema identifikasi duplikasi foto dan video yang misinformasi

Pada langkah pertama menggunakan teknologi, Facebook akan melihat komentar dan laporan dari pengguna. Misalnya apakah ada pengguna yang menyangsikan dengan konten foto atau video. Selain komentar, Facebook juga menganalisis apakah Halaman yang membagikan konten punya riwayat membagikan konten palsu sesuai data pengecek fakta mereka atau tidak.

Tiga kategori

Berdasarkan pengalaman Facebook selama ini, setidaknya media sosial itu membagikan informasi yang salah pada foto dan video dalam tiga kategori yakni manipulasi, out of context, dan teks atau klaim audio. 

Untuk kategori manipuasi, Lyons menjelaskan, misalnya kamu berfoto dengan memegang sebuah benda, namun kemudian dimanipulasi kamu memegang benda lain. Sedangkan out of context maksudnya foto atau video pada kejadian di masa lalu dipakai untuk kejadian dan lokasi berbeda. 

Dan kategori klaim audio atau teks, maksudnya teks atau audio yang bukan sebenarnya, tapi ditempelkan pada konten lain untuk menciptakan sebuah informasi menyesatkan. 

Untuk mendeteksi manipulasi, Facebook akan memindai Facebook Stories dan menganalisisnya apakah ada manipulasi atau tidak. Jika tak bisa menemukan, maka Facebook akan meminta bantuan tim pengecek fakta. 

Sedangkan dalam mendeteksi kategori out of context, Facebook mengakui harus dengan bantuan ulasan tim pengecek fakta. Nah untuk mendeteksi klaim teks atau audio, Facebook mengandalkan teknologi OCR atau transkripsi audio.

Tiga jenis misinformasi dari foto dan video

Jika klaim yang dibuat pada foto dan video cocok dengan yang telah dibantah pengecek fakta, maka kami akan menyerahkan ke tim pengecek sehingga mereka bisa memverifikasi klaim tersebut. 

"Pada saat ini kami lebih banyak menggunakan OCR pada foto dibanding menggunakan transkrip audio pada video," ungkap Lyons.

Beragam upaya yang dilakukan itu tetap akan berkembang nantinya. Facebook menegaskan komitmen memerangi berita palsu adalah proyek jangka panjang, mengingat pelaku penyebar informasi yang salah akan terus berubah cara menyampaikan niat buruknya. 

"Kami telah mengambil langkah pada jangka pendek ini, kami juga terus berinvestasi lebih banyak teknologi dan kemitraan sehingga kami bisa tetap berada yang terdepan dalam memberantas jenis baru informasi yang salah di masa depan," jelas Woodford. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya