Siaga Anak Krakatau, Waspada Tsunami Lagi

Foto udara letusan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu, 23 Desember 2018
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Bisnis Indonesia/Nurul Hidayat

VIVA – Gunung Anak Krakatau mulai menampakkan jati diri. Sejak bereaksi Minggu malam kemarin, yang menyebabkan tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember lalu, kini Gunung Anak Krakatau kembali bergeliat. Status gunung ini dinaikkan dari waspada (level II) menjadi siaga (level III) sejak Kamis 27 Desember 2018 pukul 06.00 WIB.

Cek Fakta: Video Detik-detik Erupsi Gunung Anak Krakatau

Sekretaris Badan Geologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dari Kementerian ESDM, Antonius Ratdomopurbo, mengungkapkan alasan pihaknya menaikkan status Anak Krakatau menjadi siaga.

Purbo menjelaskan, status dinaikkan karena aktivitas Anak Krakatau tidak berhenti sejak tanggal 22 Desember 2018. Badan Geologi juga melihat perubahan pola aktivitas.

BMKG: Waspada Gelombang Tinggi dan Erupsi Gunung Anak Krakatau

"Kami memantau perkembangan dari tanggal 22 Desember, tanggal 23 aktivitas tidak berhenti. Kami juga menghitung pola perkembangan pola aktivitas Anak Krakatau," kata Purbo di kantornya, Jakarta Pusat.

Petugas menunjukkan data rekam seismograf pemantau aktivitas Gunung Anak Krakatau (GAK) beberapa saat sebelum terjadinya tsunami di Pos Pengamatan GAK Pasauran, Serang, Banten

Gempa Lokal Picu Aktivitas Gunung Anak Krakatau Meningkat

Pertimbangan lain, menurut Purbo, merujuk munculnya abu pada Rabu malam, 26 Desember 2018. "Pertimbangannya, munculnya abu tadi malam. Sebagai eskalasi lanjut, status dinaikkan menjadi waspada dan itu menimbulkan potensi bahaya yang lebih luas," ujarnya.
 
Dia melanjutkan, untuk jarak aman juga ditambah menjadi lima kilometer. Hal itu dilakukan karena adanya lontaran material dan neutron material dari gunung tersebut.

Bukan fase mematikan

Sementara itu, dari hasil kajian dan pemantauannya, aktivitas Anak Krakatau yang bergeliat belakangan ini berdasarkan dua hal. Pertama, dari ledakan. Kedua, dari tremor (getaran).

"Itu juga dilihat dari proses magma keluar dari kawahnya," kata Purbo.

Purbo menambahkan, Dari data yang diterimanya, gelegar Anak Krakatau sebanyak 14 kali per menit. "Jadi, kalau ada gelegar itu sekarang 14 kali per menit, itu berarti tiap lima menit. Ya, memang Anak Krakatau meletus begitu gelegar magma melimpah keluar dan jatuh ke air," ujarnya.

Untuk itu, Purbo menjelaskan, pemantauan terus dilakukan secara intensif. Sementara itu, Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG memastikan peringatan kewaspadaan potensi tsunami di wilayah Pantai Selat Sunda dalam radius 500 meter hingga satu kilometer masih tetap berlaku. Hal itu, sehubungan dengan adanya peningkatan aktivitas Gunung Anak Krakatau.

Namun dia membantah jika Gunung Anak Krakatau telah masuk fase mematikan. "Anak krakatau tidak benar masuk dalam fase mematikan. Itu kan hanya judul, tapi tidak seperti itu. Kalau orang naik ke puncak Krakatau ya mematikan. Judul tinggal konteksnya saja seperti apa," kata Purbo.

Purbo menambahkan, ketinggian abu secara visual terlihat 2.500 hingga 3.000 meter di atas permukaan laut. Cakupannya dari Pantai Anyer ke Rakata, ditambah terbawa angin.

"Letusan dari anak Krakatau secara visual abu kelihatan 2.500 sampai 3.000, dianggap maksimal sekali. Dari Anyer itu kan keluar Rakata, kalikan saja dari Rakata itu dan kebawa angin ke mana-mana," katanya.

Petir Aktivitas Erupsi Gunung Anak Krakatau

Lebih lanjut, Purbo menuturkan, pihaknya juga memberikan warning. Begitu juga dengan kapal laut, asalkan tidak melewati sekitaran anak Krakatau dipastikan masih aman.
 
"Penerbangan juga kami beri warning saja, ada gunung meletus. Kapal laut asal tidak melewati kompleks Krakatau tidak apa-apa, masih aman," katanya.

Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono meminta masyarakat tetap tenang dan waspada, serta terus memonitor perkembangan informasi BMKG melalui Aplikasi Mobile Phone Info BMKG, serta Aplikasi Magma Indonesia.

Bolak-balik ke Gunung

Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, menjelaskan, sampai saat ini erupsi Gunung Anak Krakatau memang masih terjadi dengan diiringi suara gemuruh yang keras.

Suara dentuman bahkan terdengar hingga sampai beberapa daerah diakibatkan arah angin yang sedang mengarah ke daerah tertentu. Daerah itu tentu akan mendengar suara dentuman lebih jelas.

Menariknya saat muncul suara dentuman tersebut, sensor gempa BMKG juga mencatat getaran tanah. Sebagai contoh adalah suara dentuman yang terdengar oleh petugas BMKG Stasiun Geofisika Liwa pada tanggal 25 Desember 2018 sekitar pukul 22.00 WIB dan pada tanggal 26 Desember 2018 pada pukul 20.40 WIB.

"Kedua kejadian dentuman ini tercatat dengan baik oleh sensor seismik BMKG yang berada di Liwa," kata Daryono.

Kondisi Gunung Anak Krakatau pada Sabtu, 22 Desember 2018.

Sementara itu, 991 warga Pulau Sebesi, Lampung Selatan, pulau terdekat dengan Gunung Anak Krakatau, dievakuasi menggunakan kapal RoRo menuju Pelabuhan Bakauheni. 

Mereka akan dibawa ke posko pengungsian di Kalianda, Lampung. "Kami mengerahkan KMP Jatra III untuk membantu proses evakuasi penduduk Pulau Sebesi yang merasa khawatir dengan adanya aktivitas Gunung Anak Krakatau," kata corporate secretary PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Imelda Alini, Kamis, 27 Desember 2018.

Jarak Pulau Sebesi di Perairan Selat Sunda hanya sekitar tujuh nautical mile (NM). Satu NM sama dengan 1.852 km, artinya hanya berjarak sekitar 12.964 kilometer dari Gunung Anak Krakatau.

"Penduduk Pulau Sebesi setiap hari bolak balik ke gunung karena khawatir akan datangnya tsunami susulan, dengan keterbatasan makanan dan minuman," ujarnya.

Sebelum dievakuasi, warga Pulau Sebesi sempat diberikan bahan makanan dan kebutuhan primer lainnya. Hal itu untuk menunjang kehidupan mereka yang pasokan makanannya terganggu saat tsunami Selat Sunda melanda.
 
"Beberapa hari sebelumnya juga telah mengirimkan bantuan berupa sembako, susu, dan perlengkapan anak sehari-hari untuk para korban tsunami," ujarnya. 

Kronologi Letusan

Berdasarkan data PVMBG, Gunung Anak Krakatau aktif kembali dan memasuki fase erupsi mulai Juli 2018. Erupsi selanjutnya  berupa letusan-letusan Strombolian yaitu letusan yang disertai lontaran lava pijar dan aliran lava pijar yang dominan mengarah ke tenggara. Erupsi yang berlangsung fluktuatif.

Pada 22 Desember lalu terjadi erupsi namun tercatat skala kecil, jika dibandingkan dengan erupsi periode September-Oktober 2018. Hasil analisis citra satelit diketahui lereng barat daya longsor (flank collapse) dan longsoran masuk ke laut. Inilah kemungkinan yang memicu terjadinya tsunami.

Kemudian saat itu pula, diamati adanya letusan tipe Surtseyan yaitu aliran lava atau magma yang keluar kontak langsung dengan air laut. Hal ini berarti debit volume magma yang dikeluarkan meningkat dan lubang kawah membesar. Kemungkinan terdapat lubang kawah baru yang dekat dengan ketinggian air laut. Sejak itulah letusan  berlangsung tanpa jeda. Gelegar suara letusan terdengar beberapa kali per menit.

Foto udara letusan gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Minggu, 23 Desember 2018

Saat ini aktivitas letusan masih berlangsung secara menerus, yaitu berupa letusan Strombolian disertai lontaran lava pijar dan awan panas. Pada 26 Desember kemarin, terpantau letusan berupa awan panas dan Surtseyan. Awan panas ini yang mengakibatkan adanya hujan abu. Dominan angin mengarah ke barat daya sehingga abu vulkanik menyebar ke barat daya ke laut.

Adanya beberapa lapisan angin pada ketinggian tertentu mengarah ke timur menyebabkan hujan abu vulkanik tipis jatuh di Kota Cilegon dan sebagian Serang sejak kemarin sekitar pukul 17.15 WIB. Masyarakat pun diimbau agar mengantisipasi menggunakan masker dan kacamata saat beraktivitas di luar saat hujan abu.

Pengamatan Gunung Anak Krakatau selama dini hari tadi pada pukul 00.00 – 06.00 WIB, aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau masih berlangsung, tremor menerus dengan amplitude 8-32 milimeter (dominan 25 milimeter), dan terdengar dentuman suara letusan.

PVMBG merekomendasikan masyarakat dan wisatawan dilarang melakukan aktivitas di dalam radius 5 km dari puncak kawah karena berbahaya terkena dampak erupsi berupa lontaran batu pijar, awan panas dan abu vulkanik pekat. Di dalam radius 5 km tersebut tidak ada permukiman.

Sementara itu BMKG merekomendasikan masyarakat agar tidak melakukan aktivitas dalam radius 500 meter hingga 1 kilometer dari bibir pantai untuk mengantisipasi adanya tsunami susulan. Berjaga-jaga dari ancaman tsunami dari longsor bawah laut akibat erupsi Gunung Anak Krakatau, seperti yang terjadi pada 22 Desember lalu. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya