Tangkal Hoax Jelang Pilpres

Seorang warga membubuhkan tanda tangan untuk mendukung Pemilu 2019 anti hoax saat berlangsung Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Jelang Pilpres 2019, jumlah berita bohong atau hoax dilaporkan meningkat. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merilis daftar temuan hoaks selama Maret 2019.  

Prabowo Tak Hadir di Acara Halal Bihalal PKS, Ini Alasannya

Hasilnya, data dari tim AIS (mesin pengais konten negatif) Subdit Pengendalian Konten Ditjen Aplikasi Informatika Kominfo, dalam sebulan terakhir ini telah mengidentifikasi 453 hoaks. Hampir sepertiganya merupakan hoaks politik.

Dari total 453 hoaks tersebut, terdapat 130 hoaks merupakan hoaks politik. Hoaks politik yang muncul berupa kabar bohong yang menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu.

Sudahi Kegaduhan terkait Pilpres 2024, Elite Politik Diminta Tiru Sikap Prabowo

Jumlah hoax itu, bila dibandingkan tahun lalu memang terlihat meningkat. Selama periode Juli-September 2018, misalnya, pantauan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), menyebutkan ada 230 hoax yang diklarifikasi termasuk di dalamnya 135 hoax politik.

Presidium Mafindo Anita Wahid, mengatakan, selama September 2018 saja, ada lebih dari 52 hoax terkait politik. Sebanyak 36 hoax menyerang kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin, pemerintah dan pendukungnya, serta 16 hoax menyerang kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Elite PAN soal PKB-Nasdem Gabung Prabowo: Ini Masih Perubahan atau Keberlanjutan? 

"Hoax terkait politik berdampak pada turunnya kredibilitas penyelenggaraan pemilihan umum. Kualitas pemilihan menurun dan merusak rasionalitas pemilih," kata Anita saat itu, dalam diskusi bertema "Negara Darurat Hoaks", di Kementerian Kominfo, Jakarta Pusat, Selasa 16 Oktober 2018.

Dari sejumlah hoax politik yang beredar, kedua capres, Jokowi maupun Prabowo, cukup sering mendapat serangan. Jokowi mengeluh kerap dituduh sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI), sedangkan Prabowo disebut sebagai pihak yang pro-khilafah. Keduanya pun dalam berbagai kesempatan membantah berbagai isu yang beredar itu.

Hoax diciptakan demi meraih kepentingan tertentu. Ibarat bola salju, ada pihak yang sengaja merancang kemudian menggulirkannya dengan memanfaatkan berbagai faktor kondisi yang ada di masyarakat.
 
Saat suatu isu hoax sampai di tangan pihak yang memiliki sentimen senada, secara ringan tangan ia pun turut menyebarkan. Sering kali tanpa mempedulikan benar atau tidaknya. Inilah cikal bakal viralnya suatu hoax, kemudian memengaruhi opini publik yang menjadi targetnya. 

Masif Jelang Pencoblosan

Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu menuturkan, jumlah hoaks, kabar bohong, berita palsu, dan ujaran kebencian terus meningkat menjelang hari pencoblosan 17 April 2019. Jumlah konten hoaks yang beredar di tengah masyarakat cenderung meningkat dari bulan ke bulan. 

"Di bulan Agustus 2018, hanya 25 informasi hoaks, Di bulan September 2018, naik menjadi 27 hoaks, sementara pada Oktober dan November 2018 masing-masing di angka 53 dan 63 hoaks. Di bulan Desember 2018, jumlah info hoaks terus naik di angka 75 konten," ujarnya dalam keterangan resminya, dikutip Senin 1 April 2019. 

Peningkatan jumlah konten hoaks sangat signifikan terjadi pada Januari dan Februari 2019. Sebanyak 175 konten hoaks yang berhasil diverifikasi oleh Tim AIS Kementerian Kominfo. Angka itu naik dua kali lipat pada Februari 2019 menjadi 353 konten hoaks. 

"Dari jumlah 453 hoaks yang diidentifikasi selama Maret 2019 tersebut, selain terkait isu politik, juga menyasar isu kesehatan, pemerintahan, hoaks berisikan fitnah terhadap individu tertentu, terkait kejahatan, isu agama, internasional, mengarah ke penipuan dan perdagangan serta isu pendidikan," kata pria yang akrab disapa Nando tersebut. 

Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, terus mengingatkan akan adanya serangan hoaks itu. Dia mengatakan, berita bohong itu kebanyakan juga mengenai pemilu. Kementerian Kominfo pun bersiap menangani masalah hoaks tersebut.

"Dan kami sampaikan kepada publik hati-hati dengan hoaks. Kepada siapa pun, kepada peserta pemilu. Hoaks menyerang satu pihak dan menyerang pihak lain," kata Rudiantara di Gedung Kominfo, Jakarta, Senin, 1 April 2019.

Rudiantara mengingatkan bahwa berita bohong merupakan musuh bersama. Tak melihat siapa ataupun tempatnya. Dia juga mengatakan pihaknya siap untuk mengklarifikasi setiap hoaks. Asalkan ada kerja sama baik dengan para peserta pemilu.

Tim AIS Kemkominfo pun telah dibentuk oleh Rudiantara pada Januari 2018 untuk mengais, verifikasi, dan validasi terhadap seluruh konten internet yang beredar di ruang siber Indonesia, baik konten hoaks, terorisme dan radikalisme, pornografi, perjudian, maupun konten negatif lainnya. Saat ini, Tim AIS berjumlah 100 personel didukung oleh mesin AIS yang bekerja 24 jam, tujuh hari sepekan tanpa henti.

Kenapa Masih Ada Hoaks?
 
Hoaks menggunakan media internet untuk penyebarannya. Pemerintah telah mengeluarkan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai upaya untuk menangkal arus berita palsu.
 
Berdasarkan isi pasal 28 ayat 1 dalam UU ITE, penyebar informasi bohong alias hoaks bisa terkena sanksi berat. Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.
 
Namun, kenapa hoaks masih terus ada? Fenomena ini pernah dibahas oleh pengamat media sosial, almarhum Nukman Luthfie, saat mengomentari maraknya hoaks bencana alam Lombok Agustus 2018.  
 
Menurutnya, motif penyebar hoaks itu bermacam-macam. Akan tetapi jika dalam ranah politik, oknum perancang dan penyebar hoaks memang sengaja melakukan perbuatan tersebut, dan mencari seribu cara supaya tak tertangkap.
 
"Ada yang sengaja dengan tujuan komersial atau politik, ini yang harus kita cegah. Mereka sadar dengan adanya UU ITE dan mereka akan cari cara agar tidak tertangkap," tutur Nukman saat itu.  
 
Ditambahkan Nukman, orang-orang seperti ini yang harus ditindak tegas, dan jangan segan untuk melaporkannya ke pihak berwajib.  
 
Terlepas dari itu, setidaknya ada dua hal yang menjadi benang merah tentang penyebaran hoaks.

Pertama, ada pihak berkepentingan yang sengaja merancang dan menyebarkannya. Kedua, ketika masyarakat telah menyadari itu, artinya mereka dapat pasang ‘kuda-kuda’ kalau-kalau menangkap informasi palsu, entah di gawai hingga cerita dari kerabat.
 
Berpikir kritis dan mempertanyakan kebenaran suatu informasi adalah langkah pertama yang dapat diterapkan. Selanjutnya, mencerna terlebih dahulu informasi yang diterima, sebelum yakin keabsahannya, tahan diri untuk tidak menyebarkan. Jurus lainnya adalah melakukan cek fakta melalui situs-situs yang tersedia.  
 
Belakangan ini, Presiden RI Joko Widodo bahkan ikut membeberkan rumus menangkal hoaks, seperti yang dicuitkan di Twitter pada Selasa 2 April 2019. “Dengan pikiran, akal sehat, dan mengecek fakta; kita tahu semua itu hoaks belaka," kata Presiden.

Sementara itu, Kominfo mengimbau warganet yang menerima informasi elektronik yang patut diduga diragukan kebenarannya dapat menyampaikan kepada kanal pengaduan konten melalui email: aduankonten@kominfo.go.id atau akun Twitter @aduankonten. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya