Triliunan Rupiah untuk 'Tamu Istimewa' Ibukota

Banj Banjir merendam jalan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • ANTARA/Fanny Octavianus
VIVA.co.id -
Kerusakan di Daerah Aliran Sungai Kian Parah
Hujan belum juga reda ketika Ayuningsih menanti angkutan kota di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Hari itu, kebetulan ia 'dinas' pagi. Tapi, angkutan kota yang dinantinya tak kunjung datang.

Jokowi Beber 'Mantra' RI di Forum Ekonomi Islam Dunia

Pukul tujuh lewat lima belas menit. Angkutan yang dinantinya belum juga tampak. Beberapa jenak kemudian, ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk. Isinya, pemberitahuan libur karena mal tempat tokonya berada kebanjiran.
Jokowi: Jumlah Peserta Tax Amnesty Baru 344 Orang


"Katanya tidak perlu masuk. Karena jalan depan mal banjir," ujar Ayu, mengenang peristiwa pagi itu. Dia adalah pelayan toko di salah satu mal di Kelapa Gading.

Ayu hanyalah satu dari sekian banyak pekerja yang tak bisa beraktivitas di Senin itu. Awal pekan di minggu kedua bulan Februari itu, air menggenang--kalau tak mau menyebut banjir--di Jakarta. Aktivitas ekonomi seketika lumpuh.

Hampir semua sektor yang berhubungan langsung dengan konsumen ( end user ) harus rela berhenti. Praktis banyak pelaku usaha merugi.

"Bisnis ritel yang paling terdampak. Misalnya, pusat perbelanjaan. Itu kan sifatnya langsung kepada konsumen," kata Haryadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), ketika dihubungi VIVA.co.id , Rabu 11 Februari 2015.


Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, mengatakan banjir mengakibatkan pengusaha Jakarta rugi hingga Rp1,5 triliun per hari.


Taksiran kerugian itu didasarkan pada perkiraan tutupnya 75 ribu kios dan toko di antero Jakarta. Hitungan kasarnya, bila tiap toko punya omzet Rp20 juta, maka jumlah kerugiannya bisa mencapai Rp1,5 triliun per hari.


Jumlah kerugian akibat banjir masih bertambah lagi. Bila Kadin DKI Jakarta mendasarkan hitungan dari omzet, Apindo menambahkan dari sisi biaya operasional.


"Saya kasih contoh. Di Kelapa Gading, total luasnya 500 ribu meter persegi. Kalau biaya operasionalnya Rp30 ribu per meter persegi, ruginya bisa Rp15 miliar per hari. Itu
potential loss
-nya. Kalau banjir, orang
nggak
pada datang ke sana," kata dia.


Ngapain pindah ke Bogor?


Itu baru di Kelapa Gading saja. Padahal, banjir pada Senin pagi, 9 Februari kemarin ada di beberapa titik di Ibu Kota. Sedikitnya, 49 titik banjir. Hampir semua wilayah di Jakarta (Timur, Selatan, Barat, Utara, Pusat) kebagian banjir.


Bahkan, kita tahu, kompleks kantor sekaligus kediaman resmi Presiden turut kedatangan Sang Tamu Istimewa Ibu Kota. Sempat muncul wacana kalau Presiden mau pindah kantor ke Istana Bogor.


Bahkan, beberapa keperluan Joko Widodo sudah mulai diangkut ke Istana Bogor. Dan, Istana Bogor dikabarkan sudah mulai berbenah untuk menyambut kedatangan mantan Gubernur DKI Jakarta itu.


Memang, tak ada pernyataan Istana yang menegaskan kepindahan itu berkaitan dengan banjir. Tapi, kalau menengok momentumnya, siapa yang tak berspekulasi kalau kepindahan itu lantaran banjir.


"Secara lingkungan, relatif Istana Bogor itu menyediakan lingkungan yang lebih rileks untuk melakukan pertemuan-pertemuan besar, terutama seperti dengan para bupati," ujar Sekretaris Kabinet, Andi Widjajanto.


Tapi, beberapa kalangan menilai kepindahan Jokowi ke Bogor tidak akan efektif. Bahkan, dikhawatirkan keputusan itu bakal mengganggu aktivitas masyarakat di Bogor dan juga Jakarta. Contoh mudahnya, pengamanan (
clearing
) lalu-lintas yang dilewati Presiden.


"Dulu, waktu jadi presiden, SBY
bikin
macet waktu pulang di jam pulang kantor," kata Agus Pambagyo, pengamat tata kota. SBY tinggal di Cikeas, Bogor.


Agus menyarankan agar Jokowi tetap berkantor di Istana Jakarta. Selain efisiensi waktu, kinerja Presiden lebih dibutuhkan masyarakat.


"Kalau saya,
ngapain
pindah ke Bogor? Ini bukan masalah efektif atau tidak. Pusat aktivitas negara kan ada di sini (Jakarta). Kalau jalannya lancar di Bogor
sih
tidak apa-apa," kata dia.


Pemerintah punya andil


Soal banjir yang masih jadi tamu istimewa tahunan di Jakarta, semua pihak harus bertanggung jawab. Tak melulu pemerintah. Pelaku bisnis hingga masyarakat juga punya andil atas banjir.


"Semuanya, termasuk rakyat. Kalian buang sampah sembarangan kan? Ini tanggung jawab semua. Pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan rakyat," kata Agus.


Selain penanganan sampah dan buruknya drainase, keberadaan gedung pencakar langit juga dianggap memperbesar potensi banjir. Sebab, gedung-gedung itu sudah pasti menguras air tanah. Akibatnya, permukaan tanah Ibu Kota lambat laun makin turun.


Tetapi, tidak sepenuhnya salah juga bila pebisnis menagih pemerintah agar memberikan kenyamanan. Pasalnya, pajak yang mereka bayarkan ke negara tak boleh dibilang sedikit.


"Banjir tahun ini membuktikan bahwa Pemprov DKI masih belum mampu mengatasi permasalahan yang telah terjadi secara menahun ini," kata Sarman.


Usir tamu istimewa


Pengusaha berharap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa mulai melaksanakan langkah-langkah strategis untuk menuntaskan masalah banjir.


Dengan jumlah APBD yang mencapai Rp73,08 triliun, Pemerintah Provinsi DKI pada tahun ini, seharusnya bisa melaksanakan berbagai proyek penanganan banjir. Misalnya, percepatan berfungsinya Kanal Banjir Timur dan Kanal Banjir Barat, revitalisasi sungai, serta perbaikan drainase.


Pengusaha tak ingin terus-terusan tekor hanya gara-gara harus menyambut Tamu Istimewa Jakarta itu. Bila banjir datang, miliaran bahkan triliunan rupiah harus melayang.


Memang, hitungan jumlah kerugian masih simpang siur. Bahkan, pemerintah belum berani memberikan pernyataan resmi soal besaran kerugian akibat banjir.


"Kalangan industri bilang (kerugian) triliunan rupiah per hari," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil kepada R Jihad Akbar, jurnalis
VIVA.co.id
petang tadi.


Sofyan bilang belum ada pembahasan secara spesifik ihwal kerugian. Pembahasan pada rapat dengan Presiden hari ini, kata Sofyan, hanya sebatas tindakan agar banjir tak terulang.


"Banjir tadi dibahas di Istana. Tadi Pak Presiden sudah mengambil keputusan untuk melakukan banyak tindakan. Ada penghijauan, kemudian pengerukan sungai, bikin DAM," kata dia.


Selain langkah tersebut, Agus menyarankan agar moratorium izin pembangunan gedung benar-benar dilakukan. "Kalinya dikeruk, waduk dioptimalkan, semua mobil ada tempat sampah (supaya tidak buang sampah di jalan) dan truk-truk sampah harus banyak. Pemerintah Provinsi Jakarta pun harus punya TPA sendiri. Jangan sewa terus di Bekasi," kata dia.


Bila benar langkah itu dilakukan, bukan tidak mungkin Sang Tamu Istimewa jadi enggan singgah di Ibu Kota. Masyarakat, bisnis, dan negara tak perlu keluar dana guna menyambutnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya