Australia dan Sindikat Perdagangan Manusia

Ilustrasi pencari suaka Australia
Sumber :
  • Reuters

VIVA.co.id - Sedikitnya dana sebesar AU$30.000 atau Rp390 juta diduga dibayarkan oleh Australia, pada lima anggota sindikat perdagangan manusia. Dana itu untuk membawa kapal berisi 65 pencari suaka kembali ke wilayah Indonesia.

Keterangan itu didapat langsung dari pengakuan kapten dan lima kru kapal penyelundup, pada polisi Indonesia di Pulau Rote, pada pekan lalu. Mereka memperoleh AU$5.000 untuk setiap orang.

Australia sudah membuat kontroversi beberapa tahun lalu, dengan mendorong keluar kapal-kapal pencari suaka dari wilayah mereka, untuk kembali ke dalam perairan Indonesia.

Pemerintahan PM Tony Abbott juga memicu perdebatan, ketika membuat kebijakan imigrasi baru, dengan menutup akses bagi ribuan pencari suaka yang saat ini masih tertahan di Indonesia, pada 2014.

Negara itu juga membuat organisasi-organisasi kemanusiaan internasional terhenyak, ketika membuat perjanjian dengan Kamboja, untuk pemindahan ribuan pengungsi di Pulau Nauru ke penampungan di Kamboja.

Mereka berdalih sikap keras dibutuhkan, untuk membuat para pengungsi dan pencari suaka berpikir ulang, sebelum mengambil risiko melakukan perjalanan laut yang berbahaya, untuk menuju ke Australia.

Tapi, alasan itu jadi sama sekali tidak masuk akal, ketika Australia membayar sindikat perdagangan manusia. Bukankah itu justru memberi semangat mereka, untuk lebih sering menyelundupkan manusia?

Dikutip dari laporan Reuters, Jumat, 12 Juni 2015, Abbot menolak berkomentar. Dia tidak mau mengakui atau membantah, hanya menyebut bahwa Australia akan melakukan apa pun untuk menghentikan kapal-kapal pencari suaka.

Pada jawabannya, Abbott menyebut dalih operasi keamanan. "Kami tidak membuka detail langkah operasi keamanan nasional," ujarnya. Abbott kembali menolak membenarkan atau membantah, pada Minggu, 14 Juni 2015.

Tambahan dalam pernyataan dia adalah soal pesan kunci bagi Indonesia bahwa pemerintahannya akan melakukan apa pun yang dibutuhkan. "Saya pikir sangat penting agar orang Indonesia tahu," ucapnya.

"Pemerintah Australia sangat tegas dalam determinasi kami, untuk tidak melihat setan (penyelundup manusia) ini dimulai lagi," kata Abbott, mengklaim penghentian kapal-kapal pencari suara baik bagi kedua negara.

Berbeda dengan Abbott, Menteri Imigrasi Peter Dutton dan Menlu Julie Bishop sempat mengeluarkan bantahan pekan lalu. Tapi, beberapa hari kemudian mereka mengubah pernyataan.

Laman Sydney Morning Herald (SMH), Senin, 15 Juni 2015, menulis bahwa Dutton dan Bishop telah mengubah jawaban mereka, tidak lagi membantah seperti sebelumnya. Namun, meniru Abbott dengan memberi jawaban ambigu.

"Dutton mengatakan tidak akan berkomentar pada operasi-operasi spesifik. Bishop kini menyebut Indonesia yang harus disalahkan, karena gagal menjaga kedaulatan perbatasan mereka," tulis SMH.

Menlu RI, Retno Marsudi, mengaku sudah bertanya pada Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Grigson, yang ditanggapi dengan janji meneruskan pertanyaannya ke Canberra.

Grigson, kata Retno, berjanji segera memberikan jawaban. "Kami benar-benar prihatin, jika laporan (dibayarnya sindikat oleh Australia) itu ternyata benar," kata Retno.

Bishop dalam pernyataannya yang dikutip The Australia, Senin, 15 Juni 2015, mengatakan siap menanti hasil penyelidikan yang dilakukan Indonesia, atas pengakuan para anggota sindikat soal pembayaran Australia.

Dia mengatakan, operasi kedaulatan perbatasan perlu dilakukan Australia. Jika khawatir dengan yang dilakukan Australia, Indonesia semestinya melakukan operasi perbatasannya juga.

Apalagi, kata dia, kapal para pedagang manusia itu datang dari Indonesia, dengan kru yang juga orang-orang Indonesia. Mereka meninggalkan wilayah Indonesia, membawa pencari suaka ke Australia.

Masalah Pencari Suaka Dibahas di Bali Proccess



Dugaan Keterlibatan Intelijen

SMH mengutip laporan The Daily Telegraph, yang menyebut badan intelijen internasional Australia (ASIS), diduga terlibat dalam pembayaran uang suap bagi para anggota sindikat perdagangan manusia.

Telegraph menulis bahwa ASIS ada di bawah kewenangan Bishop, yang beroperasi secara rahasia. Dugaan media itu kemudian mengingatkan pada jawaban Abbott, tentang langkah operasi keamanan nasional.

Partai Buruh telah mendesak adanya penyelidikan, tentang apakah pemerintah menggunakan dana pembayar pajak, untuk membiayai aktivitas kriminal para penyelundup manusia.

Namun, SMH dalam laporannya, mempertanyakan kemungkinan jika pemerintahan Abbott mau bekerja sama dalam penyelidikan, termasuk dengan menyerahkan rincian pelaksanaan operasi.

Harapan terletak pada auditor Australia, yang memiliki wewenang untuk mengkaji penggunaan dana pembayar pajak oleh pemerintah. Pejabat Australia memang dilindungi oleh UU Imigrasi.

Tapi, pada UU itu tidak diatur tentang pembayaran bagi kelompok-kelompok kriminal, termasuk sindikat penyelundup manusia. Jika pembayaran terjadi, Australia tidak hanya melanggar UU dalam negerinya.

Australia juga penandatangan konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional dan Terorganisasi. Jika terbukti membayar sindikat kejahatan, membuat Australia pantas disebut sebagai negara pendukung kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kubu oposisi Australia seperti Partai Buruh, bersuara keras atas laporan pembayaran kepada sindikat perdagangan manusia. Tapi, sikap berbeda disampaikan para anggota parlemen lain.

Beberapa anggota parlemen yang dikutip SMH, Senin, 15 Juni 2015, tidak mengatakan apakah pembayaran itu terjadi, namun mereka menyatakan mendukung apabila ide membayar sindikat itu dilakukan.

Mantan Menteri Imigrasi, Philip Ruddock, mengatakan, pemerintah Australia akan menghemat banyak uang, jika membayar para penyelundup manusia, daripada harus menerima pencari suaka.

"Jumlah yang dibayarkan tidak berarti, dibandingkan biaya memproses sedemikian banyak orang yang datang ke Australia, sebagai dampak dari aktivitas penyelundup manusia," kata Ruddock.

Bahkan, politisi Liberal Andrew Laming, mengatakan, pembayaran sindikat kejahatan, tidak akan merusak citra pemerintah di mata publik Australia. Menurut dia, tuduhan pembayaran itu isu tidak berarti.

Badan penanganan pengungsi PBB (UNHCR), telah mewawancarai 65 pencari suaka yang dibawa kembali ke Indonesia. Mereka mengaku melihat otoritas Australia, menyerahkan uang pada para penyelundup manusia.

"UNHCR tidak dalam posisi untuk menginvestigasi, tapi akan menyampaikan informasi pada otoritas yang relevan," kata juru bicara UNHCR Vivian Tan. Tapi, mungkinkah PBB akan menyikapi serius dugaan kejahatan oleh Australia itu?

Sebagian peserta Bali Process berfoto menjelang pembukaan, Selasa, 22 Maret 2016

RI Berbagi Beban Masalah Pengungsi Lewat 'Bali Process'

Indonesia jangan sendirian tangani masalah pengungsi di Asia Tenggara.

img_title
VIVA.co.id
24 Maret 2016