Revisi UU KPK, Ancaman atau Harapan

Demo Save KPK
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id - Wacana revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi kembali mencuat setelah hampir tiga tahun tertunda di Dewan Perwakilan Rakyat.

Sejak lama revisi ini menuai polemik. Namun kini sudah tak terbendung lagi. DPR resmi menetapkan rancangan revisi Undang-undang UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK masuk dalam prioritas program legislasi nasional.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon berpendapat, saat dilahirkannya UU KPK, kala itu Indonesia sedang dalam situasi euforia setelah reformasi. Sebab itu, terbentuklah sebuah payung hukum yang membuat KPK menjadi lembaga powerfull.

"Tapi tidak terkontrol. (Akhirnya) mereka pun bisa bertindak seenaknya," ujar Fadli.

Kemelut KPK vs Polri
Sepanjang 2015 ini, kemelut konflik memang mendera KPK. Keputusan mereka menetapkan tersangka terhadap calon Kapolri, Komjen Budi Gunawan, dan kemudian berhasil dimentahkan di dalam sidang praperadilan, menjadi mimpi buruk.

Secara berturut, KPK pun menerima imbas buruk. Sejumlah pimpinannya pun ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian yang kemudian berimbas pada kemudi KPK yang akhirnya terpaksa dipegang oleh pelaksana tugas hingga Desember 2015.

Tak sampai disitu, bak menuai karma, KPK kembali menelan pil pahit dengan dua kekalahan lain mereka di sidang praperadilan. Yakni di sidang mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan tersangka kasus dugaan korupsi pajak BCA, Hadi Poernomo.

Meski KPK mengklaim tiga kekalahan di praperadilan itu tak sebanding dengan jumlah kemenangan KPK. Namun, nahas putusan ketiga praperadilan yang dihasilkan dari putusan Komjen Budi Gunawan, Ilham Arief dan Hadi Purnoemo, betul-betul mengubah keadaan.

Bahkan Pelaksana tugas Ketua KPK Taufiqurrachman Ruki, sempat secara emosional mengarakan bahwa putusan yang mengalahkan KPK tersebut telah mengancam 371 kasus yang sedang dan dalam proses penyelidikan KPK.

"Putusan praperadilan memiliki implikasi luas bagi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Kasus-kasus yang sedang dan dalam proses penanganan KPK pun menjadi mentah," ujar Ruki.

Pertimbangan Revisi
Awal Februari silam, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo mengakui revisi UU KPK memang dilandasi munculnya konflik antara KPK dan Polri.

Menurutnya, ada keinginan DPR untuk menata hukum baik itu di tubuh KPK, kejaksaan maupun kepolisian. "Coba kita evaluasi kembali, bagaimana menata kembali masalah penegak hukum ini, jangan satu sama lain saling membunuh seperti ini," katanya.

Soal Revisi UU KPK, Menteri Yasonna: Publik Salah Paham

Diketahui, terdapat beberapa poin yang hendak di rumus ulang dalam UU Nomor 30 Tahun 2002. Setidaknya, pertama terkait perizinan penyadapan. Dirancang, KPK ke depan harus dapat izin pengadilan sebelum menyadap.

Kedua, terkait Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3). Dirancang, KPK akan seragam dengan kepolisian dan kejaksaan, yakni memiliki kewajiban SP3.

Dan ketiga, berkaitan dengan kewenangan penuntutan yang disinergikan dengan kejaksaan, dewan pengawas KPK dan pengaturan berkaitan dengan kolektif kolegial.

"Mengembalikan pada fungsi KPK agar tidak ada institutional problem," ujar Wakil Ketua DPR Fadli Zon.

Sejauh ini, seluruh unsur pimpinan KPK memang mengaku keberatan dengan rencana poin revisi tersebut. Mereka menuding bahwa perombakan UU tersebut hanya menjadi alat untuk melemahkan kemampuan KPK dalam melakukan penindakan.

Taji KPK yang selama ini dimiliki dipaksa dibuang dan diseragamkan dengan lembaga yang sudah memiliki kewenangan yang lain.

"Jika tujuan merevisi UU KPK dimaksudkan untuk menghilangkan kewenangan penuntutan dan juga mereduksi kewenangan penyadapan, maka persepsi publik bahwa ada upaya sistematis untuk melemahkan KPK sekaligus upaya pemberantasan korupsi menjadi nyata adanya," kata Pelaksana tugas (Plt) Pimpinan KPK, Johan Budi, Selasa 16 Juni 2015.

Revisi Diapresiasi
Sejak dimasukkannya dalam prolegnas, rancangan revisi UU KPK beserta sejumlah poin krusialnya, menuai reaksi banyak pihak.

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku menyetujui agar ada batasan kewenangan bagi KPK agar tidak melampaui batas. "Sesuatu kewenangan memang harus ada batas-batasnya, tidak bisa ada kekuatan mutlak," kata Kalla.

Ia bahkan meyakini, bila dalam praktiknya nanti, justru perevisian UU KPK justru akan memperkuat posisi KPK.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Masinton Pasaribu juga berpendapat serupa. Menurutnya, revisi murni untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.

"(Jadi) Tidak membatasi tapi mengatur kewenangan KPK," kata Masinton.

Terlepas dari itu, UU KPK sejak dilahirkan pada tahun 2002, harus diakui sudah berumur 13 tahun. UU KPK memang bukan kitab nabi. Karena itu, sangat memungkinkan ada kekurangan ataupun mungkin hal-hal yang dianggap tak relevan lagi.

Namun demikian, perombakan ini tetap harus berdasarkan kepentingan publik. Bukan karena unsur 'balas dendam' ataupun karena ada yang ingin menyamakan KPK dengan lembaga lain yang tak memiliki kewenangan tersendiri.

Gerindra Curiga Barter Revisi UU KPK dan Pengampunan Pajak
Sidang paripurna DPR Bahas RUU Pilkada

Cabut Revisi UU KPK, Demokrat Dekati PKS dan Gerindra

Butuh dukungan pemerintah dan mayoritas partai politik di DPR.

img_title
VIVA.co.id
25 Februari 2016