Warga Sumatera dan Kalimantan Masih Hirup Racun

Kabut Asap di palembang, Warga Shalat Minta Hujan
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta

VIVA.co.id - Kabut asap akibat kebakaran hutan masih menyelimuti Pulau Sumatera dan Kalimantan. Masyarakat pun mulai tak tahan karena mereka menghirup udara yang kian beracun.

Bencana kabut asap ini sudah sangat mengerikan. Menurut ahli medis, akibat bencana kebakaran lahan dan hutan tersebut membuat ketersediaan oksigen di wilayah itu semakin menipis.

"Oksigen murni tersisa lima persen. Ini sangat berbahaya. Pemerintah harusnya mengungsikan warga Riau," ujar Ahli Paru di RSUD Pekanbaru Riau dr Azizman Saat.

Pekatnya kabut asap ditunjukkan dengan indeks standar pencemaran udara yang kian hari semakin memburuk. Oksigen yang tersedia pun menjadi tercampur partikel debu yang membahayakan.

Berdasarkan laporan BMKG, Indeks Standard Pencemaran Udara (ISPU) di beberapa kota berada pada level berbahaya.

Misalnya, di Pekanbaru 401 PSI (Particulate Standard Index), Pontianak 602 PSI, Kampar 419 PSI, Bengkalis 429 PSI, dan Siak 527 PSI. Angka ini, jauh melebihi ambang batas minimum level berbahaya yaitu 300 PSI. Sedangkan di Banjarbaru 66 PSI dan Samarinda 98 PSI atau berada di level sedang.

"ISPU di Jambi tidak termonitor karena alatnya rusak," ujar Kepala Pusat Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho.

Menurut Sutopo, kualitas udara tersebut berkorelasi dengan jarak pandang. Jarak pandang di Palangkaraya saja hanya 50-300 meter. Asap sangat pekat dan di siang hari cuaca terlihat kuning kecoklatan.

Sementara, jarak pandang di Pekanbaru 500 meter, Kerinci 400 meter, Jambi 300 meter, Palembang 1.500 meter, Pontianak 2.500 meter, Sintang 400 meter, dan Banjarmasin 8.000 meter. Masyarakat pun, mengeluhkan jarak pandang yang begitu dekat, yakni hanya 50 meter.
 
Mereka mengeluhkan jarak pandang yang dirasakan membahayakan keselamatan mereka.

Suharman, sopir angkot yang biasa mengangkut penumpang dari kota Pekanbaru menuturkan kondisi tersebut dirasakan sudah dalam kurun waktu satu bulan ini.

"Jarak pandang terbatas hanya 50 meter. Selain pandangan kita terganggu, masalah kesehatan pun mulai muncul, kami mulai merasakan sesak napas," ucap Suharman.

Riau Kembali Alami Musim Kemarau

Puluhan Ribu Masyarakat Menderita ISPA.

Indonesia Targetkan 2 Juta Hektare Gambut Dipulihkan

Sementara, akibat bencana asap itu, puluhan ribu masyarakat menderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas). Berdasarkan data dari BNPB, penderita ISPA di Pekanbaru mencapai 34.846 jiwa, di Jambi mencapai 31.191 jiwa, Sumatera Selatan mencapai 22.855 jiwa.

Kemudian, di Kalimantan Barat mencapai 21.130 jiwa, Kalimantan Tengah mencapai 4.121 jiwa dan Kalimantan Selatan mencapai 53.428 jiwa.

Bahkan kabut asap ini, sudah menelan korban jiwa. Seorang bocah berusia 12 tahun, Muhanum Anggriawati harus meninggal dunia karena gagal pernafasan.

Ayah Muhanum, Mukhlis, mengatakan, paru-paru putri sulungnya disesaki lendir atau dahak. "Sebelumnya anak saya tidak pernah mengeluh," kata dia.

Namun anaknya pingsan dan kemudian dirawat sepekan di ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Ahmad, di Jalan Diponegoro, Pekanbaru.

Tak hanya kehilangan putrinya, Mukhlis pun harus dibebani dengan biaya rumah sakit yang begitu besar. Selama sepekan terakhir, menurut Mukhlis, total biaya perawatan anaknya sudah lebih dari Rp 28 juta.

Untuk menghindari adanya korban, sekolah-sekolah di Sumatera dan Kalimantan diliburkan.

Upaya Pemerintah

Operasi darurat asap masih terus dilakukan, baik melalui udara, darat, baik penegakan hukum dan sosialiasi.

"Namun kebakaran masih terus berlangsung. Ada dua penyebab yaitu api lama yang sudah padam, menyala kembali karena ada di lahan gambut. Yang kedua adalah dibakar lagi," kata Sutopo.

Menurut Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, saat ini telah dilakukan pemadaman dari darat dan udara.

Dari darat dilakukan oleh Manggala Agni dan bekerjasama dengan BNPB, BPBD, TNI/Polri, Satgas Dalkar, RPK Perusahaan Perkebunan atau kehutanan, MPA dan masyarakat.

Sementara, dari udara dengan menggunakan water booming dan modifikasi cuaca yang dilakukan oleh BNPB.

Menurut Siti, sudah ada 20 pesawat yang digunakan untuk pengeboman air dan pembentukan awan untuk hujan buatan (cloud seeding).

Bahkan, sampai pertengahan September, sudah ditumpahkan air sebanyak 18 juta liter di Riau dan 12 juta liter di Sumatera Selatan untuk pengeboman air.

Tak hanya itu, pemerintah juga sudah menaburkan garam untuk hujan buatan sebanyak 120 ton di Riau dan 56 ton di Sumatera Selatan dan Jambi.

"Untuk memperkuat upaya penanganan kebakaran lahan dan hutan, turut dikerahkan prajurit TNI sebanyak 1.050 orang di lapangan," kata Siti.

Agar kebakaran hutan ini tak terus terjadi, Presiden Joko Widodo pada Minggu, 27 September 2015 menginstruksikan kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, serta Pemerintah Daerah agar mewajibkan perusahaan pemegang hak pengelolaan lahan gambut membangun embung.

"Saya menginstruksikan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Pemerintah Daerah agar mewajibkan perusahaan pemegang hak pengelolaan lahan gambut membangun embung," kata Jokowi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.

Embung tersebut akan dimanfaatkan untuk perendaman (rewetting) tanah gambut. Sebab, menurut Jokowi, kebakaran lahan ini diakibatkan buruknya tata kelola lahan gambut.

Sehingga, Jokowi meminta agar tata kelola lahan gambut yang buruk segera diperbaiki.

Sementara, Siti mengatakan, sulit untuk mengatasi kabut asap ini. Satu-satunya jalan untuk mengatasi persoalan ini adalah hanya dengan pencegahan, dan menjaga ekosistem gambut.

"Itu karena beratnya kondisi kebakaran di Kalimantan," kata dia.

Siti mengatakan, sulitnya memadamkan api itu karena api berasal dari bawah permukaan tanah. Sehingga dalam waktu lima menit saja, titik api mulai timbul.

"Ini menunjukan bahwa ada sumber api di bawah permukaan gambut yang menjadi api, saat area terbuka dan tersedia cukup oksigen di permukaan lahan maka dapat menyebabkan kebakaran," kata dia.

Jokowi Bentuk Badan Restorasi Gambut

Namun berbagai upaya itu belum membuahkan hasil maksimal. Asap masih terus menyelimuti.

Mereka yang Harus Bertanggungjawab

Sampai saat ini, sudah ada empat perusahaan yang dalam proses hukum.

Mereka adalah:

PT Kallista Alam di Kabupaten Nagan Raya, Aceh. Mereka diduga membakar hutan dan lahan seluas 1000 hektar. Perusahaan ini digugat telah melakukan kerugian lingkungan hidup senilai Rp114 miliar dan biaya pemulihan lingkungan hidup Rp251,7 miliar.

Saat ini statusnya menunggu putusan kasasi Mahkamah Agung. Kemudian PT Surya Panen Subur di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Aceh
Barat. Mereka diduga membakar hutan dan lahan seluas 1200 hektar. Perusahaan ini merugikan lingkungan hidup Rp136,8 miliar sementara pemlihan lingkungan hidup Rp302,1 miliar. Saat ini menunggu putusan kasasi MA.

PT Bumi Mekar Hijau di Ogan Ilir, Sumatera Selatan,. Mereka membakar hutan dnlahan seluas 20.000 hektar dengan kerugian ligkungan hidup Rp2,687 triliun dan biaya pemulihan Rp5,299 triliun.Saat ini sedang diproses persidangan di Pengadilan Negeri Palembang.

PT Jatim Jaya Perkasa di Simpang Damar, Desa Sei Majo, Kecamatan Kubu Babussalam, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Perusahaan ini diduga membakar hutan dan lahan 1000 hektar. Kerugian lingkungan hidup Rp119 miliar dan biaya pemulihan Rp371 miliar. Saat ini masih proses persidangan di PN Jakarta Utara.

Sementara, National Environmen Agency (NEA) atau Badan Lingkungan Hidup dan Menteri lingkungan Hidup Singapura menyebutkan empat perusahaan yang menjadi dalang penyebab kabut asap sampai ke Singapura.

Empat perusahaan itu adalah PT. Rimba Hutani Mas, PT, Sebangun Bumi Andalkas Wood Industries, PT. Bumi Sriwijaya dan PT Wachyuni Mandira.

Sekretaris Jendral Menteri Kehutanan, Raffles Panjaitan mengatakan, akan menindak tegas, siapapun pihak yang masih melakukan pembakaran.

"Wah, kalau itu terbukti pasti kita akan tindak. Tapi sejauh ini kita masih melakukan penyelidikan apa benar empat perusahaan itu pelakunya," ujar dia.

Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup mengindikasi ada 123 perusahaan yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan sebagai penyebab terbakarnya ribuan hektare hutan dan lahan di wilayah itu.

Meski tak dirinci jelas, namun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah memastikan bahwa ratusan perusahaan tersebut menjadi penyebab merebaknya kabut asap berbahaya dari Sumatera, Kalimantan bahkan hingga ke Singapura, Malaysia dan Brunei Darussaalam.

"Daerahnya ada Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah," ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya.

Tercatat, untuk Provinsi Sumatera Utara ada tiga perusahaan, Riau 24 perusahaan, Sumatera Selatan 19 perusahaan, Jambi 14 perusahaan, Bangka Belitung lima perusahaan, Kalimantan Barat, Timur dan Tengah masing-masing 14 perusahaan, serta Kalimantan Tengah dengan 30 perusahaan.

Sanksi Bagi Perusahaan Pembakar Hutan

Menurut Siti Nurbaya, sampai saat ini belum ada perusahaan yang mendapat sanksi hingga penutupan perusahaan. Sebagian besar dari mereka hanya dikenai sanksi perdata.

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan mengatakan, akan mengeluarkan sejumlah kebijakan sebagai langkah pencegahan agar kebakaran hutan tak lagi terulang.

"Kita ingin lihat dulu berapa luas areal mereka yang terbakar," ujar Ferry.

Ferry mengatakan, sanksi pengurangan hak guna usaha (HGU) akan diterapkan bila perusahaan abai memenuhi kewajiban sehingga kebakaran kembali terjadi.

Cara tersebut dianggap efektif mencegah terulangnya bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya