Ridwan Kamil Digoyang, Dedi Mulyadi Ancang-ancang

Golkar saat usung Ridwan Kamil untuk Pilgub Jabar 2018
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Partai Golkar mengejutkan publik. Partai itu sekonyong-konyong mencabut dukungannya kepada Ridwan Kamil sebagai calon gubernur Jawa Barat dalam pilkada provinsi itu pada tahun 2018. Tatanan politik di bumi Priangan yang semula tampak sudah mapan kini berubah.

Politisi Dedi Mulyadi Berduka, Ayahanda Meninggal Dunia

Alasan normatif pembatalan dukungan yang diumumkan pada akhir pekan 17 Desember 2017 gara-gara Ridwan Kamil dianggap mengabaikan tuntutan Golkar agar sang calon segera menetapkan kandidat wakil gubernur. Nama Daniel Muttaqien Syafiudin disodorkan. Golkar memberikan tenggat sampai 25 November namun tiada kabar hingga tiga pekan berlalu.

Perubahan sikap politik Golkar bersamaan dengan dinamika internal partai berlambang pohon beringin itu. Rezimnya berubah sesudah Setya Novanto diberhentikan dari kedudukannya sebagai ketua umum, lalu digantikan Airlangga Hartanto. Airlangga naik takhta pada 13 Desember, dan empat hari kemudian Ridwan Kamil dicampakkan.

Alami Penyumbatan, Dedi Mulyadi Dioperasi Terawan di RSPAD

Ridwan Kamil belum aman

Posisi Ridwan Kamil sesungguhnya masih aman meski Golkar sudah hengkang dari koalisi partai politik pendukungnya. Sang wali kota Bandung masih memiliki tiga partai pendukung, yakni PPP dengan sembilan kursi, PKB tujuh kursi, dan Partai Nasdem lima kursi. Total 21 kursi dalam genggaman Ridwan. Jumlah itu lebih dari cukup sebagai syarat pendaftaran pencalonan yang harus didukung sekurang-kurangnya 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD Jawa Barat.

Marah-marah Kedok Blusukan? Ini 7 Fakta Dedi Mulyadi Anggota DPR RI

Namun bukan mustahil formasi koalisi pendukung Ridwan Kamil itu digoyang-goyang lagi menyusul langkah Golkar. Apalagi jika perkara sosok kandidat wakil gubernur pendamping Ridwan Kamil tak kunjung jelas.

Jauh sebelum Golkar bergabung dalam koalisi itu, tiga partai sudah menawar-nawarkan kader masing-masing: PPP mengajukan Uu Ruzhanul Ulum (sekarang menjabat Bupati Tasikmalaya), PKB menyodorkan Maman Imanulhaq (anggota Dewan Syura PKB), dan Nasdem menyebut-nyebut Saan Mustopa (ketua Partai Nasdem Jawa Barat).

Bersamaan itu pula, sebuah koalisi besar diprediksi terbentuk setelah Golkar meninggalkan Ridwan Kamil. Golkar mengisyaratkan membangun sebuah koalisi tandingan berbekal tujuh belas kursi yang dimilikinya di DPRD. Partai itu sebenarnya hanya memerlukan tiga kursi lagi untuk memenuhi syarat pendaftaran pencalonan tetapi partai beringin menginginkan lebih dari itu.

Golkar memang belum menyebutkan partai-partai yang berpeluang diajak bergabung untuk membentuk poros baru. Namun, MQ Iswara, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar Jawa Barat, ketika ditemui wartawan di Jakarta pada Minggu malam, mengisyaratkan harapannya. Dia mengatakan, "Syukur (kalau) bisa terjadi koalisi besar."

Petunjuk "koalisi besar" yang disampaikan Golkar itu selaras dengan harapan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, partai dengan jumlah kursi paling banyak di DPRD Jawa Barat, yakni 20 kursi. Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu mengungkit masa lalunya yang mesra dengan Golkar, sempat putus di tengah jalan, dan sekarang akan dirajut lagi.

"Komunikasi yang sempat terputus antara PDIP dengan Golkar, akan terajut kembali," kata Sekretaris PDIP Jawa Barat, Abde Yuhana, ketika dihubungi VIVA pada Senin. Sejauh ini tak ada rintangan komunikasi antara PDIP dengan Golkar. "Jadi, kata Abde, "peluangnya besar untuk komunikasi politik lagi karena baik PDI Perjuangan maupun Golkar berada dalam posisi yang seimbang, dan kemungkinan besar berkoalisi di Pilgub Jawa Barat."

Abde menggarisbawahi bahwa keputusan koalisi atau calon yang didukung PDIP memang menjadi wewenang mutlak pimpinan pusat di Jakarta. Tetapi dia memperlihatkan gelagat bahwa partainya tak mungkin bergabung dengan koalisi Ridwan Kamil. "Saya kira, kalau gabung ke Ridwan Kamil, kemungkinannya kecil, karena kami tetap dalam membangun komunikasi politik itu dalam posisi yang seimbang," ujarnya.

PDIP, kata Abde, pun sebenarnya memiliki skenario sendiri dalam pemilihan gubernur Jawa Barat sehingga tak terpengaruh arus atau poros koalisi lain. Dia menolak menjelaskan skenario itu namun PDIP dan Golkar sudah sempat memulainya dengan komitmen berkoalisi dalam 16 pilkada kabupaten/kota di Jawa Barat.

Berbekal komitmen itulah, menurut Abde, jalinan komunikasi politik partainya dengan Golkar dapat disambung lagi. "Kemungkinan besarnya," ujarnya, "(PDIP) berkoalisi dengan Golkar di Pilgub Jawa Barat, melihat situasi Golkar sekarang komunikasi politik dirajut kembali."

Komitmen yang diungkapkan Abde merujuk pada pertemuan pimpinan kedua partai, TB Hasanudin (Ketua PDIP Jawa Barat) dan Dedi Mulyadi (Ketua Partai Golkar Jawa Barat), di Bandung pada 9 Agustus 2017. Pertemuan itu menyepakati kerja sama dalam dalam 16 pilkada kabupaten/kota se-Jawa Barat.

Waktu itu memang belum diputuskan tentang koalisi dalam pemilihan gubernur. Namun jelas terbuka peluang kedua partai berkoalisi, seperti dikatakan Hasanudin, "kalau untuk (pemilihan) gubernur kami sudah mendapatkan arahan dari DPP bahwa kita siap berkoalisi dengan siapa saja, dan sangat siap dengan Golkar."

Pimpinan pusat Partai Golkar mengisyaratkan gelagat serupa kala disinggung soal peluang berkoalisi dengan PDIP di Jawa Barat. "Semua (kemungkinan atau peluang) masih terbuka," kata Sekretaris Jenderal Idrus Marham diplomatis di Jakarta pada Senin. Dia juga mengingat jalinan komunikasi dengan PDIP yang ditandai dengan pertemuan kedua pemimpin di Bandung pada 9 Agustus. Sayangnya dia tak menjanjikan apa pun karena alasan bahwa "politik dinamis" dan situasi dapat berubah setiap saat.

Dedi Mulyadi muncul lagi

Golkar, seperti halnya PDIP, belum memutuskan figur yang akan diusung sebagai calon gubernur Jawa Barat meski isyarat "koalisi besar" sudah ditunjukkan. Pimpinan Golkar Jawa Barat menyatakan secara normatif bahwa soal itu murni otoritas absolut petinggi di Jakarta, terutama sang ketua umum baru Airlangga Hartanto.

Namun Golkar—sekurang-kurangnya pimpinan Golkar Jawa Barat—diprakirakan berpegang teguh pada keputusan Rapat Pimpinan Daerah (Rapimda) di Karawang pada 27 April 2017. Forum itu membuat keputusan mengajukan Dedi Mulyadi, sang ketua, sebagai calon gubernur.

Nama Bupati Purwakarta itu nyaris dilupakan setelah pimpinan pusat Golkar menganulir keputusan Rapimda demi selembar surat dukungan untuk Ridwan Kamil. Golkar resmi mendukung Ridwan pada 27 Oktober, dan segera setelah itu Dedi Mulyadi seolah tiada harapan lagi.

Dedi sebenarnya tak pasrah begitu saja pada keputusan pimpinan pusat Golkar. Dia tetap aktif bermanuver begitu melihat celah pada Setya Novanto akan dilengserkan, setelah statusnya sebagai tersangka korupsi dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 19 November. Cukup besar peluang keputusan Rapimda dipakai lagi begitu ketua umum berganti.

"Kami berharap DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Golkar mengembalikan dukungan tersebut kepada Dedi Mulyadi sesuai hasil Rapimda beberapa waktu lalu," kata Sekretaris Partai Golkar Jawa Barat, Ade Barkah Surahman, di Bandung pada 15 Desember, dua hari sebelum keputusan pembatalan dukungan kepada Ridwan Kamil diumumkan.

Dedi Mulyadi, sejak pimpinan pusat Golkar menganulir keputusan Rapimda, sudah menunjukkan keberpihakannya kepada Airlangga Hartanto. Dia bahkan menggalang dukungan dari sejumlah pimpinan Golkar tingkat provinsi untuk menggadang-gadang Airlangga sebagai pengganti Novanto.

Dedi juga memimpin rombongan ketua-ketua Golkar tingkat provinsi untuk menghadap Presiden Joko Widodo dan secara khusus menyampaikan dukungannya kepada Menteri Perindustrian itu pada 30 November. Dia pula inisiator penyelenggaraan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) dengan agenda utama menetapkan Airlangga sebagai ketua umum definitif.

Tapi Dedi berkelit ketika ditanyakan soal tudingan sebagian kalangan bahwa dialah yang mengatur atau merekayasa keputusan Golkar mencabut dukungan untuk Ridwan Kamil. "Enggak, enggak," katanya menjawab tudingan itu saat dicegat wartawan di Jakarta Convention Center, Jakarta, pada Senin.

Dedi tak menampik sebagai pendukung Airlangga sekaligus inisiator Munaslub tetapi, dia mengklaim, "Saya concern (memiliki perhatian) dukung perubahan Golkar, bukan dasar pencalonan gubernur Jabar." Perubahan itu, menurutnya, serta-merta terasa setelah kedudukan Ketua Umum beralih dari Novanto ke Airlangga. "... sekarang sudah mulai terasa dampaknya, dan kita sudah rasakan positif."

Evaluasi

Sejumlah kalangan menengarai peralihan pucuk pimpinan dari Novanto ke Airlangga akan berpengaruh pada keputusan tentang calon-calon kepala/wakil kepala daerah. Sebagian bahkan mengkhawatirkan serupa kasus di Jawa Barat--keputusan yang dianggap sudah final dapat diubah sewaktu-waktu setelah rezim pimpinan Golkar berganti.

Pimpinan pusat tak menyatakan dengan lugas tentang kekhawatiran itu dan sebatas menyebut akan ada evaluasi, alih-alih perombakan atau perubahan besar keputusan-keputusan sebelumnya. "Pak Airlangga sudah berkomitmen tidak akan ada perombakan. Kami mengevaluasi daerah-daerah yang masih terjadi dinamika," kata Ketua Harian Partai Golkar, Nurdin Halid, di Jakarta Convention Center, Jakarta, pada Senin.

Hal yang dimaksud Nurdin ialah daerah-daerah yang belum beres dalam urusan penetapan calon kepala daerah, di antaranya Jawa Barat, Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Timur. Khusus di Jawa Barat, katanya, masalahnya hampir beres setelah resmi mencabut dukungan untuk Ridwan Kamil.

Masalah di Sumatera Utara akan dievaluasi karena ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang tetap setelah Ngogesa Sitepu menyatakan mundur sebagai calon wakil gubernur meninggalkan Tengku Erry Nuradi.

Di Sulawesi Tenggara terjadi hal serupa. Pimpinan Golkar setempat menolak penetapan Ali Mazi sebagai calon gubernur. Bahkan muncul demonstrasi menolak keputusan pimpinan pusat Golkar yang menunjuk Ali Mazi pada Oktober lalu.

Urusan di Jawa Timur tak terlalu pelik tetapi cukup mengganggu konsentrasi Golkar. Pimpinan pusat telah memutuskan mendukung Khofifah Indar Parawansa dan Emil Listianto Dardak. Sayangnya, menurut Nurdin, Ketua Golkar Jawa Timur Sunyono belum sreg dengan sosok Emil Dardak sebagai calon wakil gubernur karena status kepartaiannya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya