Mereka Jadi Martir Reformasi

- ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
VIVA – Tety mencoba tabah saat menyiram jasad anaknya yang terbujur kaku di hadapannya dengan air dalam gayung. Namun air matanya tak kuasa mengucur deras, kala tangan wanita paruh baya itu menyentuh luka tembak di punggung anaknya.
"Lukanya di belakang. Ada yang tanya, Mama kuat mandiin, insya Allah saya kuat. Akhirnya saya mandiin dalam keadaan menangis, tapi enggak histeris," kata Tety.
Sambil terisak, pemilik nama lengkap Hira Tety Yoga itu lalu menyampaikan ungkapan lara pada jasad anaknya. "Elang... ini Mama mandiin kamu, yang terakhir ya."
Sehari sebelum kejadian, Senin malam, 11 Mei 1998, Tety dan Elang bercengkrama di teras rumah. Di sela percakapan, tak biasa-biasanya pria bernama lengkap Elang Mulia Lesmana itu mengungkapkan rasa takutnya pada sang Mama.
Foto Elang Mulia Lesmana (kanan) dibawa oleh sejumlah mahasiswa saat peringatan tragedi 12 Mei 1998, di Universitas Trisaksi, Jakarta. (VIVA/Anhar Rizki Affandi)
Elang bahkan meminta Tety menemani mencuci mobil Nissan sport miliknya untuk dibawa ke kampus keesokan hari. "Ma, Elang takut, temenin ya."
"Kenapa Elang kok takut? Enggak usah bawa mobil lah Lang. Kan lagi rusuh."
Permintaan Tety dikabulkan Elang. Tapi siapa sangka momentum itu jadi percakapan terakhir paling menyentuh dalam hidup Tety dan Elang. Sebab, esoknya sang anak meregang nyawa di tangan aparat dengan timah panas menembus jantung hingga punggung.
Dia gugur sebagai martir reformasi bersama tiga rekan lainnya dari Kampus Trisakti, Heri Hartanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.