- http://klccproperty.com
VIVA – Langit Abuja kini dihiasi gedung-gedung pencakar langit. Sejak menjadi ibu kota Nigeria yang baru, kota itu disulap menjadi modern. Salah satu kota paling ramai dan mutakhir di Afrika saat ini. Hunian real estate hingga permukiman vertikal yang efisien juga bermunculan di kota utama.
Proyek jalan dan infrastruktur lain yang tak kalah mentereng membuat Abuja semakin gagah berdiri. Menjadi kota sentral pengganti Lagos, tak hanya pusat pemerintahan, Abuja bertahap dan pasti menjadi jantung bisnis Nigeria. Tak ayal, orang-orang asing baik pebisnis maupun turis menjadi pemandangan yang biasa di ibu kota tersebut.
Abuja dahulu tak begitu. Sebelum menjadi ibu kota, Abuja hanya berpenduduk ratusan ribu orang. Diisi luasnya lahan pertanian, ladang dan sawah-sawah yang menghampar. Kehidupan penduduk lokal di pinggiran kotanya terjaga tradisional dan “terselamatkan” dari kebisingan. Apalagi kemacetan lalu lintas, tak ada.
Namun semua berubah. Lonjakan populasi penduduk menjadi kondisi tak terhindarkan. Sensus terakhir, jumlah penduduk Abuja pada 2006 kurang lebih 800 ribu orang. Lebih dari sepuluh tahun kemudian, populasi meningkat pesat hingga lebih dari 2,4 juta orang.
Lagos, Nigeria
Abuja bisa saja dianggap berhasil sebagai ibu kota baru. Namun bukan berarti tak meninggalkan masalah. Ribuan penduduk lokal yang merasa terpinggirkan masih menuntut hak-hak mereka. Ribuan orang itu direlokasi demi pembangunan ibu kota yang modern tanpa diberikan kompensasi yang ideal. Mereka berusaha untuk berjuang di pengadilan. Nahasnya, masih nirhasil.
Alasan pemerintah Nigeria memindahkan ibu kota dari Lagos ke Abuja sangat rasional. Lagos tak lagi mampu menampung penduduk yang sudah jutaan orang. Ledakan penduduk itu terjadi pada rentang tahun 1970-1980-an.
Kepadatan penduduk berbanding lurus dengan kemacetan lalu lintas. Kota Lagos karena itu tak lagi dianggap layak meskipun menjadi pusat bisnis, ekonomi dan pemerintahan untuk sekian lama.
Nasib Penduduk Lokal
Negara petrodolar kaya akan minyak itu kemudian memulai pemindahan ibu kota ke wilayah yang dianggap lebih strategis. Dengan impian sebuah kota yang modern namun tak sesak.
Abuja lalu terpilih karena lokasinya dianggap memenuhi syarat. Selain itu Abuja menjadi lokasi yang dianggap netral, tempat bagi banyak kelompok etnis maupun agama bisa berbaur. Faktor kultural ini menjadi salah satu alasan selain penataaan dan ledakan penduduk. Akhirnya pada 21 Desember 1991, Abuja resmi menjadi ibu kota.
Arus kemajuan di kota itu perlahan tapi pasti tak terhindarkan. Sayangnya hingga saat ini, aksi pemindahan ibu kota tersebut sebagaimana dilansir laman Aljazeera bukan sepenuhnya cerita sukses. Sekelompok orang dari sejumlah wilayah desa merasa hak-hak mereka justru dirampas tatkala rezim pemerintahan militer Jenderal Ibrahim Babangida melakukan pemindahan.
Salah satu korban, Chawandana Kauran yang berusia 102 tahun mengisahkan bahwa mereka dipindahkan dari kawasan ibu kota ke area miskin di Kubwa agar Abuja bisa diatur sebagaimana rancangan pemerintah. Sejak tahun 1990-an itu hingga tahun 2018, Kauran mengaku mereka tak mendapatkan hak-hak mengenai hidup dan rumah layak maupun kompensasi pengganti yang cukup setelah mereka digusur dari daerah bersawah mereka di sekitar Abuja.
“Saat itu pemerintah datang dan menyuruh kami untuk pindah. Besoknya, truk-truk militer berdatangan dan mengangkut kami ke tempat ini. Kami tidak akan pernah lupa perlakuan tidak adil itu. Kami sudah ke pengadilan namun kasus tak lanjut, sudah tiga puluh tahun hingga sekarang,” kata Kauran.
Nigeria
Warga lokal yang dipindahkan demi membangun kota idaman itu dahulu dijanjikan akan dipindahkan ke tempat yang menyediakan sarana infrastruktur yang baik, fasilitas kesehatan hingga pendidikan yang terpenuhi. Namun hal itu hingga tahun 2018 tak kunjung terwujud. Kubwa bagai bumi dan langit dengan Abuja.
Area penduduk miskin dengan pasokan listrik dan air yang sangat terbatas. Jumlah sekolah sangat terbatas sehingga murid-murid harus belajar berdesakan. “Pemerintah harus datang lagi dan menghapus air mata kami. Ketidakadilan yang kami alami harus diperbaiki, kembalikan tanah kami,” kata seorang tetua lain bernama Vizafilo Zezhiwo.
Namun pemerintah Nigeria menyebutkan bahwa sebagian besar wilayah Abuja dahulunya tak ditinggali. Meski diketahui ada sekitar 400 desa di area itu dan sekitarnya. Pula disebut, mereka tak menduduki tanah rakyat tanpa mengkonsultasikan terlebih dahulu.
“Penduduk lokal saat itu diberikan opsi, dipindahkan atau tetap tinggal dengan menempati permukiman sementara. Mereka yang memilih tinggal maka harus tinggal di lokasi yang dipilihkan pemerintah dan akan dikembangkan oleh pemerintah,” kata Direktur Permukiman dan Kompensasi Kementerian Pertanahan Nigeria, Baba Kura Umar merespons ketidakpuasan ribuan warga yang merasa telantar tersebut.
Sangat Mahal
Pemindahan ibu kota merupakan fenomena yang biasa terjadi dalam pemerintahan dan negara-negara di dunia. Hal ini terjadi sejak era kolonial hingga poscakolonial. Alasan pemindahan kota utama sebuah negara juga sangat beragam. Relokasi ibu kota bahkan pada zaman yang lebih awal tak jarang muncul sebagai wujud memenuhi ambisi para pemimpin kerajaan atau wilayah agar dianggap sebagai peletak batu sejarah di wilayahnya masing-masing.
Namun pada era pascakolonial, alasan pemindahan ibu kota tak lagi bisa dilakukan dengan gampang oleh pemerintah negara apalagi jika sistem pemerintahan tak lagi otoriter. Di sebuah negara yang pemerintahannya demokrasi dan pusat kekuasaan tak tersentral pada satu tampuk kekuasaan diperlukan alasan kuat dan persetujuan sejumlah pihak untuk bisa memindahkan ibu kota.
Hal ini terjadi karena relokasi biasanya membutuhkan biaya yang sangat besar pula waktu pemindahan yang membutuhkan waktu bertahun-tahun. Dalam tingkatan wacana saja, pemindahan ibu kota bisa berlangsung bertahun bahkan berpuluh tahun. Wacana pemindahan ini di Indonesia sendiri sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Menteri Bappenas Bambang Brojonegoro menjelskan rencana pemindahan ibu kota
Eksekusi pemindahan juga biasanya akan berlangsung dengan tahun berjalan berikut anggarannya sebagaimana dialami oleh negara-negara yang sudah lebih awal melakukannya.
Sejumlah negara yang melakukan pemindahan ibu kota sejak abad ke-20, antara lain:
1. Brazil tahun 1956 menjadi Brasilia dari Rio de Janeiro
2. Mauritania tahun 1957 menjadi Nouakchott dari Saint Louis (Senegal)
3. Pakistan tahun 1959 menjadi Islamabad dari Karachi
4. Botswana tahun 1961 menjadi Gaberone dari Mafeking
5. Libya tahun 1963 menjadi Tripoli dari Benghazi
6. Malawi tahun 1965 menjadi Liliongwe dari Zomba
7. Belize tahun 1970 menjadi Belmopan dari Belize City
8. Tanzania tahun 1973 menjadi Dodoma dari Dar es Salaam
9. Nigeria tahun 1975 menjadi Abuja dari Lagos
10. Ivory Coast tahun 1983 menjadi Yamoussoukro dari Abidjan
11. Jerman tahun 1990 menjadi Berlin dari Bonn
12. Kazakhstan tahun 1997 menjadi Astana dari Almaty
13. Malaysia tahun 2000 menjadi Putrajaya dari Kuala Lumpur
14. Myanmar tahun 2005 menjadi Naypyidaw dari Yangon.
Sederet negara tersebut dilaporkan memiliki alasan masing-masing hingga akhirnya memindahkan ibu kota.
Myanmar misalnya, penjelasan resmi sehubungan dengan relokasi dari Yangon adalah bahwa ibu kota tua itu semakin macet dan semakin padat. Walau sebagian kalangan dicukil dari BBC menilai bahwa alasan yang sejatinya melandasi pemindahan ibu kota ke Naypyidaw adalah karena junta militer yang berkuasa sejak 1962 merasa lebih terlindungi dari pergolakan atau bahkan intervensi asing di ibu kota baru. Sementara Yangon dianggap dikelilingi oleh medan yang tidak ramah.
Naypyidaw diketahui berada di tengah-tengah wilayah Myanmar. Lokasi itu dianggap memungkinkan pemerintah mengendalikan daerah-daerah yang jauh secara lebih baik, terutama daerah-daerah yang mengalami pemberontakan.
Sementara Malaysia juga melakukan relokasi ibu kota menjadikan Putra Jaya sebagai pusat pemerintahan federal negaranya. Namun Kuala Lumpur tetap sebagai kediaman resmi raja dan pusat bisnis. Walaupun demikian, Putra Jaya juga dibangun sedemikian rupa agar menjadi kota yang memiliki arsitektur modern dan canggih minus kepadatan yang biasanya menjadi hakikat kota bisnis.
Putrajaya, Malaysia
Kemudian Rio de Janeiro, kota paling terkenal di Brasil yang berfungsi sebagai ibu kota sejak abad ke-17 harus menanggalkan gelarnya setelah ibu kota pindah ke Brasilia. Ibu kota yang baru berada di dataran yang lebih tinggi di tengah sebelah barat wilayah negara tersebut.
Pemindahan Ibu Kota Brasil juga pekerjaan rumah yang cukup panjang lantaran pemutusan pemindahan itu sudah disampaikan sejak 1891. Namun baru terealisasi pada 1960. Alasan pemindahan, otoritas Brasil ingin mengintegrasikan negara itu secara lebih baik dan agar lebih stabil menjaga keamanannya. Secara historis, Rio dianggap rentan terhadap serangan yang bisa dilancarkan dari laut.
Ibu kota Pakistan yang baru juga dibangun sebagai upaya untuk mengintegrasikan negara itu. Karachi berkedudukan sebagai pusat pemerintahan sejak pembentukan negara Pakistan pada Agustus 1947. Hal itu terjadi setelah Pakistan memisahkan diri dari India.
Sayangnya, perannya sebagai ibu kota dianggap tidak praktis karena wilayah itu kekurangan air dan dikelilingi padang pasir. Oleh karena itu secara geografis, kondisi Karachi tak mendukung sebagai pusat kekuasaan hingga akhirnya dialihkan ke Islamabad.
Tak Melulu Sukses
Berkaca dari negara-negara yang lebih dahulu melakukan pemindahan ibu kota, prosesnya tak semudah membalikkan telapak tangan. Sekalipun, relokasi ibu kota dianggap sukses, di sejumlah tempat menyisakan masalah. Salah satunya kasus di Abuja, Nigeria.
Pemindahan ibu kota juga tak instan mampu melenyapkan semua masalah yang dihadapi di ibu kota lama. Masalah-masalah baru sejenis perlahan juga akan timbul di ibu kota baru. Oleh karena itu perlu kajian mendalam, proses yang hati-hati dan kemapanan anggaran pemindahan.
Pemindahan ibu kota sedianya memberikan keuntungan ekonomi sekaligus kestabilan politik dan keamanan bagi negara tertentu. Dikutip dari laman Financial Times, relokasi Ibu Kota Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasil dianggap sebagai salah satu keputusan yang tepat lantaran hal itu bisa menstimulus perkembangan ekonomi lebih cepat bagi negara itu. Letak dianggap lebih strategis dan ekonomi yang berpusat di daerah pantai dan selatan Brasil lebih memiliki ruang untuk terus maju pesat.
Rio de Janeiro
Sementara Kellogg Institute pada tahun 2003 pernah menerbitkan working paper berjudul “When Capital Cities Move: The Political Geography of Nation and State Building” oleh Edward Schatz. Salah satu model pemindahan ibu kota yang diteliti adalah relokasi Ibu Kota Kazakhstan dari Almaty pindah ke Astana pada 1997.
Dalam working paper tersebut dituliskan bahwa bentuk paling rasional, alasan untuk memindahkan ibu kota adalah untuk memajukan ekonomi dan meningkatkan fungsi administrasi negara.
Ibu kota yang baru selayaknya berlokasi dan didesain sebagai tolok pertemuan ekonomi, pertukaran kepentingan strategis, pusat infrastruktur dan model ideal dari sebuah bentuk administrasi pemerintahan negara. Ibu kota yang baru juga harus bisa menjadi jawaban masalah atas limitasi ekonomi, transportasi dan struktur administrasi yang dialami oleh ibu kota yang lama.
Apabila hal-hal tersebut terjawab maka hasil pemindahan ibu kota itu akan sangat memuaskan. (ren)