SOROT 339

Yang Terbuang dan Terlupakan

Dono Prasetyo mengantar Joko Widodo daftar ke KPU
Sumber :
  • Dokumentasi Pribadi

VIVA.co.id - Pria paruh baya itu tampak serius. Matanya tajam menatap layar proyektor. Sesekali, tangannya bergerak ke kanan dan ke kiri untuk menjelaskan. Sejumlah orang terlihat khusyuk mendengarkan. Sebagian dari mereka bersedekap.

Sementara sisanya meletakkan tangannya di meja kayu yang memanjang. Nama pria ini Dono Prasetyo. Ia salah satu tenaga profesional di Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Siang itu, ia sedang memimpin rapat membahas rencana anggaran.

Tenaga profesional, demikian Dono menerangkan pekerjaannya saat ini. Ia mengaku sudah ngantor di badan yang menangani masalah TKI tersebut sejak awal tahun ini.

Mereka di Lingkaran Istana

"Saya diajak Nusron,"  ujarnya singkat kepada VIVA.co.id, Selasa, 7 April 2015. Nusron yang ia maksud adalah Nusron Wahid, kepala BNP2TKI, koleganya di Kelompok Kerja Tim Transisi Joko Widodo–Jusuf Kalla.

Dono sebelumnya juga aktif di Seknas Jokowi. Di sini dia pegang posisi sebagai sekretaris jenderal. Ia bersama kawan-kawannya sesama aktivis ’80 an mendirikan Seknas Jokowi pada Desember 2013 lalu.

Lembaga ini sengaja dibentuk guna mendorong Joko Widodo (Jokowi) maju sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden 2014. Pasalnya, PDI Perjuangan, partai tempat Jokowi bernaung terkesan setengah hati mencalonkan Jokowi.

Berbagai kegiatan dilakukan untuk menyosialisasikan Jokowi. Seknas juga menggalang dukungan dari berbagai kalangan dan membuat organisasi serupa di berbagai kota. Tiap pekan mereka rutin ‘menjual’ Jokowi di arena car free day, Jakarta. Selain itu, mereka juga rutin menggelar diskusi dengan tema yang beragam.

Puncaknya, mereka menggelar simposium di Hotel Sultan pada 11 Maret 2014. Gelaran akbar yang mendatangkan berbagai pakar itu pun menghasilkan buku ‘Jalan Kemandirian Bangsa’. Buku ini diharapkan menjadi guidance bagi Jokowi jika menjadi presiden. "Simposium menyajikan 23 panel pakar dari berbagai bidang," ujar Dono mengenang.

Semua Orang Jokowi
Dono Prasetyo menyerahkan buku kepada Joko Widodo
Dono Prasetyo menyerahkan buku berjudul Jalan Kemandirian Bangsa kepada Joko Widodo.
Presiden PKS: Ikhtiar Sudah Kita Optimalkan meski Hasil Tak Sesuai dengan Harapan

Sejak aktif di Seknas, Dono nyaris tidak bekerja. Waktunya habis untuk kampanye dan menggalang dukungan bagi Jokowi. Ia bahkan menolak tawaran kerja dari salah satu lembaga donor internasional. Tawaran gaji yang menggiurkan tak mengubah niatnya dan memutar haluan. Akibatnya, ia dan istrinya sering bersitegang.

"Istri saya marah, karena saya tak punya penghasilan," ujar mantan komisioner Komisi Informasi Pusat ini sambil tertawa.

Sejak memutuskan bergabung di Seknas, hampir tiap hari Dono ‘bekerja’ untuk Jokowi. Alumni Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah ini terus mendampingi Jokowi sejak tahap pencalonan, kampanye hingga pemungutan suara. Tak jarang, ia membantu Jokowi menyiapkan materi kampanye. Ia juga terlibat dalam salah satu Pokja Tim Transisi Jokowi-JK.

Kerja keras Dono, tim sukses dan para relawan tidak sia-sia. Komisi Pemilihan Umum RI menetapkan, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang pemilihan presiden dan wakil presiden 2014. Berdasarkan penghitungan dari 33 provinsi, Jokowi–JK mendapatkan 53,15 persen suara. Sementara, pesaing mereka, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendulang 46,85 persen suara.



Resah Tak Mendapat Jatah

Jokowi kini sudah menjadi presiden. Sejumlah orang yang menjadi tim sukses dan relawan juga sudah mendapatkan imbalan. Sebagian ada yang menjadi menteri, deputi atau komisaris di sejumlah Badan Usaha Milik Negara. Lalu bagaimana dengan Dono. "Saya belum dapat apa-apa Mas," ujarnya seraya tersenyum.

Ia mengaku bekerja di BNP2TKI karena diajak Nusron, bukan ‘pemberian’ Jokowi. Alih-alih mendapat jabatan, saat ini Dono malah dikejar-kejar orang karena Seknas masih menanggung utang. "Total utang Seknas masih sekitar Rp1,2 miliar," ujarnya.
 
Menurut dia, utang itu berasal dari acara simposium dan penerbitan buku 'Jalan Kemandirian Bangsa'. "Sama Gramedia masih utang Rp650 juta,” ujarnya.

Meski belum mendapatkan ‘jatah’ Dono mengaku tidak kecewa. Ia juga tak sakit hati dengan sejumlah koleganya sesama relawan yang sudah mendapatkan posisi. Ia hanya mengaku tidak ikhlas jika yang mendapatkan jabatan dan posisi bukan orang yang ikut ‘berkeringat’ memenangkan Jokowi. “Saya tak rela kalau yang dapat orang yang nggak ikut berjuang.”

Dono tidak menampik, jika saat ini banyak relawan yang resah karena belum mendapat jatah. Menurut dia, jika para relawan ini tidak dikelola dengan baik, bukan tak mungkin mereka akan berbalik melawan Jokowi.

Pendapat senada disampaikan Adam WH. Alumnus Institut Teknologi Bandung yang giat menjadi relawan ini mengatakan, tidak mungkin semua relawan akan ‘kebagian’ posisi dan jabatan. "Itu pasti akan menimbulkan kecemburuan,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Selasa, 7 April 2015.

Menurut dia, bukan tak mungkin relawan yang cemburu dan sakit hati bakal berseberangan dengan Jokowi. Menurut dia, indikasi perlawanan itu sudah muncul.

Sama seperti Dono, Adam pun harus gigit jari. Pasalnya, sampai saat ini ia tak kunjung mendapat posisi. Padahal ia sudah diminta mengirim data diri (curriculum vitae).

Namun, sampai saat ini nasib CV-nya tidak pasti. Adam mengaku tak kecewa meski Jokowi pernah melontarkan pernyataan ada banyak posisi yang bisa diisi para relawan. Bahkan, ia mengaku sudah tidak berharap apa-apa dari Jokowi.

Ia hanya kecewa dengan cara Jokowi memimpin negeri ini. "Jokowi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Dia tidak mau belajar," katanya.

Jumhur saat menggalang dana untuk Jokowi
Jumhur Hidayat saat menggalang dukungan untuk memenangkan pasangan Jokowi–JK.

Jumhur Hidayat juga masuk dalam daftar relawan yang ‘dilupakan’. Padahal, pendiri Aliansi Rakyat Merdeka ini harus rela dicopot dari jabatannya sebagai kepala BNP2TKI karena memutuskan mendukung Jokowi dalam Pilpres 2014 lalu. Namun, ia mengaku legawa.

"Ya namanya relawan, seharusnya tidak perlu menuntut apapun dong," ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 8 April 2015.

Menurut dia, tingkat atau intensitas perjuangan relawan berbeda-beda. Bagi relawan yang profesional, berintegritas, dan memiliki kapabilitas serta paling banyak berkorban saat Pilpres, wajar didahulukan mengisi jabatan publik.

"Kalau pun tidak ya apa boleh buat, mungkin takdirnya belum sampai ke situ," ujarnya menambahkan.

Aktivis buruh ini mengaku sudah melakukan banyak hal untuk memenangkan pasangan Jokowi–JK. Salah satunya dengan mendirikan ARM. Organisasi ini mengorganisir buruh, pedagang kaki lima serta aktivis kemasyarakatan untuk menyokong Jokowi. Tak hanya waktu dan tenaga, Jumhur juga harus merelakan uang pribadinya untuk memenangkan Jokowi-JK.

"Ya pastilah. Kan untuk mengkoordinasikan pemenangan ini perlu biaya. Menelepon teman yang ada di Papua, Ambon dan seluruh Tanah Air kan perlu pulsa," ujarnya sembari tertawa.



Berbalik Melawan

Sama seperti Dono dan Adam, Jumhur juga tak menampik jika para relawan yang sebelumnya berjuang untuk Jokowi bisa berbalik melawan. Namun, menurut dia, perlawanan itu idealnya karena alasan ideologis, bukan karena tidak mendapat jatah kue kekuasaan. "Nah, dalam perspektif ini tidak menutup  kemungkinan saya pun akan melawan bila pemerintahan Jokowi mengingkari janji-janjinya saat Pilpres," ujarnya.

Ia mengatakan, saat ini sudah banyak relawan yang berbalik melawan Jokowi. Para relawan yang berbelok arah ini sudah membujuk dan mengajaknya turut serta. Namun, Jumhur menganggap pemerintahan Jokowi masih seumur jagung sehingga masih bisa diperbaiki. Ia masih berharap, Jokowi bisa mengendalikan pemerintahan dari potensi decaying atau kerusakan akibat ulah para pembantunya yang tak becus bekerja dan mengabaikan janji-janji kampaye saat Pilpres, yaitu Trisakti dan Nawacita.

Kerusakan itu akan semakin parah jika desakan dan tuntutan, bahkan kemarahan rakyat termasuk para mahasiswa memuncak. "Bila ini terjadi, maka kondusivitas atau iklim perekonomian akan terganggu dan akhirnya menambah kesulitan dalam mengendalikan pemerintahan."

Perlawanan para relawan terhadap Jokowi dilihat jelas pengamat  politik Pangi Syarwi Chaniago. Kata dia, saat ini banyak relawan yang bersuara lantang terkait kebijakan Jokowi, termasuk menentang keberadaan Kantor Staf Kepresidenan pimpinan Luhut Binsar Panjaitan. Para relawan yang bersuara lantang ini kebanyakan karena tidak mendapat rembesan jabatan, padahal mereka sudah ikut berjuang.

"Yang bersuara itu biasanya nggak dapat apa-apa, relawan itu belum tentu ikhlas dan rela," ujarnya kepada VIVA.co.id.

Menurut dia, banyak relawan yang sudah habis - habisan dan siap mati untuk membela Jokowi. Namun, Jokowi tak mungkin menyenangkan dan membahagiakan seluruh relawan dan tim suksesnya. "Jokowi bisa berbalik mereka caci maki, nggak tahu diri," ujarnya menambahkan.

Ia lalu mengatakan, kekuasaan itu ibarat sawah. Jika atasnya berair minimal sawah yang di bawah ikut basah karena rembesan dari atas. "Kalau sawah di bawah sampai kering dan retak-retak ya bunyi," ujarnya.

Relawan yang tidak dapat jatah kue kekuasaan pasti tak terima dan cemburu. Mereka akan berteriak menghujat dan menentang Jokowi. "Tidak ada yang namanya makan siang gratis. Politik itu bicara apa, dapat apa, bagaimana dan di mana,” ujar pengamat politik asal UIN Jakarta ini. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya