-
VIVA.co.id - Jarum jam menunjuk angka 11. Langit di Blang Ado, Kuta Makmur, Aceh Utara, bersinar cerah. Di satu ruang di Balai Latihan Kerja Aceh Utara, Khumaira bersama teman-temannya sedang menyaksikan layar tancap.
Siang itu, Sabtu, 27 Juni 2015, Khumaira mengenakan kaus putih, jilbab ungu, dan rok berwarna senada dengan motif polkadot putih. Gadis berusia 12 itu terlihat gembira, menyaksikan tontonan lagu-lagu India kesukaannya.
Khumaira merupakan satu dari sekian banyak pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh pada Mei lalu. Gadis ini tidak sendiri, tapi dia tak punya keluarga. Sepi dalam keramaian.
Dia terpisah dengan ayah dan ibunya saat kapal tongkang hendak berlayar keluar dari Myanmar. Perahu yang membawa Khumaira terdampar di Aceh setelah diselamatkan oleh nelayan Aceh. Lalu kapal lain yang membawa ayah dan ibunya terdampar di tempat lain. Kedua orangtuanya kini berada di Malaysia.
Tak lama berselang, telepon genggam Khumaira berbunyi. Orang yang selama ini dirindukan menghubungi. Terlihat wajah riang melepas rindu yang begitu kuat pada gadis kecil itu.
Tak lama, Khumaira menyerahkan handphone kepada Farida Hanum, relawan di sana. Sang ayah ingin bicara dengan “ibu” Khumaira. Dengan bahasa melayu, ayah Khumaira menyampaikan rasa terima kasih kepadanya dan kepada semua relawan serta masyarakat Aceh yang telah menjaga anaknya.
"Saya sangat bersyukur anak saya berada di Aceh," ujar Hanum, menceritakan apa yang disampaikan ayah Khumaira.
Menurut Hanum, ayah Khumaira meminta nomor rekening. Dia ingin mengirim uang jajan Khumaira. "Tapi saya bilang, tidak usah. Khumaira belum butuh uang. Sementara semua di sini tak perlu beli," kata Farida Hanum.Salah satu hiburan warga Rohingya selama di Penampungan di Aceh. Foto: VIVA.co.id/Zulfikar Husein