SOROT 353

Mimpi Indahnya Saum di Negeri Sendiri

puasa sorot ahmadiyah
Sumber :
  • VIVA.co.id/Kusnandar

VIVA.co.id - Matahari sudah mulai turun. Mendekati senja. Dari balik petakan tercium aroma ikan asin. Seorang ibu sedang menyiapkan makanan buka puasa.

Beberapa bocah bermain-main. Terlihat riang. Berlari-lari di sekitar bangunan kumuh yang menempel di bangunan utama Wisma Transito di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Saat bedug bertalu, mereka langsung masuk ke beberapa bangunan yang tak layak disebut rumah. Satu dari bocah itu langsung melahap kolak pisang dan dilanjut makan besar.

Rindu Berlebaran di Sampang

Di meja sederhana itu tak banyak makanan. Hanya kolak --minuman khas pembuka buka puasa, nasi, sayur, dan ikan asin. Bocah itu menyantapnya. Lahap.

Belum kelar makannya, sang ayah sudah mengajak bocah delapan tahun itu menuju satu ruang yang disulap jadi musala. Mereka salat Magrib berjamaah.

Tak sabar, usai salam, bocah itu lari. Melanjutkan makannya.

Belum lama istirahat, kumandang azan sudah terdengar. Tanda memanggil jemaah untuk salat Isya dan Tarawih. Orang tua dan bocah-bocah yang menjadi bagian pengungsi itu menuju musala. Tak ada yang tertinggal.

Di pojok musala ada gadis pendiam. Tertunduk. Takut melihat orang asing. Saofia, nama gadis itu. Kini usianya sudah 17 tahun. Sudah kelas 11 Madrasah Aliyah.

Rohingya, Setengah Mati Menahan Rindu

Saofia tidak sendiri, ada empat gadis lain yang tumbuh minder. Jadi pendiam. Mereka masih terpatri sembilan tahun lalu saat segerombolan orang datang berteriak, “Allahu Akbar”. Mereka menyerang, menjarah, lalu membakar rumahnya.

Tanpa ampun, mereka pun mengusir 136 jiwa dari 36 keluarga. Keluar dari Kampung Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Sejak peristiwa 4 Februari 2006 itulah mereka jadi kaum terusir.



Bukan Pertama


Saofia adalah sebagian kecil warga Ahmadiyah. Pengusiran dan penganiayaan terhadap warga Ahmadiyah di Lombok bermula pada 1999. Saat itu, masjid Ahmadiyah di Bayan, Kabupaten Lombok Barat, dibakar massa.

Puasa Kaum Terpinggir

Satu orang meninggal, satu luka parah dibacok. Semua warga Ahmadiyah diusir dari Bayan.

Pada 2001, penganiayaan terjadi di Pancor, Lombok Timur. Selama satu pekan, rumah demi rumah Ahmadiyah diserang dan dibakar. Ironisnya, saat itu pemerintah Lombok Timur memberikan dua opsi: keluar dari Ahmadiyah atau keluar dari Pancor.

Semua warga Ahmadiyah memilih meninggalkan Pancor. Mereka ditampung di Transito, Mataram. Sebagian lagi mengontrak rumah.

Pada 2004, organisasi Ahmadiyah membeli perumahan BTN di Ketapang. Lalu, rumah-rumah itu dijual murah kepada anggota Ahmadiyah yang terusir itu. Kehidupan mulai normal.

Baru setahun menetap, Oktober 2005, pengikut Mirza Ghulam Ahmad ini kembali diserang. Ahmadiyah, kata penyerang, membawa ajaran sesat. Mereka mencoba bertahan. Tapi, lima bulan kemudian serangan kembali datang. 4 Februari 2006 mereka tersingkir lagi.

Karena tak punya tempat, pemerintah NTB lalu mengungsikan mereka ke Asrama Transito, di Majeluk Kota Mataram. “Di sini kami memang lebih aman,” ujar Basirun Ajiz, penasihat Jemaat Ahmadiyah Lombok.

Hidup di penampungan juga sulit. Kebutuhan mereka sempat ditopang sembako bantuan pemda hingga 2007. Setelah itu, agar tetap hidup, mereka kerja serabutan. Dari menjadi kuli kasar, mengasong, hingga tukang ojek.

puasa sorot ahmadiyah

Agar tetap hidup, para pengungsi bekerja serabutan. Dari menjadi kuli kasar, mengasong, hingga tukang ojek. Foto: VIVA.co.id/Kusnandar



Mengubur Mimpi

Bagi Jemaat Ahmadiyah Lombok, kata "tempat penampungan sementara" di Wisma Transito itu berubah menjadi "tempat penampungan selamanya". Jauh dari "layak" sejak dijanjikan pemerintah beberapa tahun lalu.

“Kami tak pernah menuntut janji-janji. Ini hanya pemanis oknum yang hanya menginginkan hak pilihnya, bisa meningkatkan perolehan suara pada pemilu,” katanya.

Karenanya, daripada sakit hati, lebih baik melupakan mimpi punya tempat tinggal sendiri. Sesama pengungsi saling menguatkan. Apalagi keluarga makin tahun makin bertambah.

Berbeda dengan kampung halamannya yang tanah dan sawah luas, di Wisma Transito, mereka tinggal di bilik bersekat triplek 3x3 meter. Tak ada lukisan di dinding penyekat itu. Hanya kaligrafi dan poster tata cara salat dan mengaji.

Tak semua dari tiga ruangan yang sebelumnya difungsikan sebagai aula penampungan transmigrasi itu digunakannya sebagai tempat tinggal. Pemerintah Provinsi NTB lebih memilih membiarkan satu ruangan berukuran 26 x 6 meter itu kosong.

Untuk menyiasati keterbatasan rumah huni, mereka membuat petakan yang menempel aula dengan beratap seng, berpagar potongan-potongan triplek.  “Rumah” ini cukup untuk berteduh dari hujan, tapi tidak cukup teduh jika terik Matahari menyengat.

"Kami sendiri yang membuat bilik-bilik ini,” ujarnya. “Tadinya, ini ruangan besar, semua menyatu. Antarkeluarga hanya dipisah kain bekas yang disambung saja."

Kini sudah sembilan tahun. Dinding asrama sudah tampak kusam, cat tembok terlihat pudar dengan lapisan dinding yang mulai mengelupas.

Kondisi makin memprihatinkan dengan keterbatasan lampu penerangan. Listrik tak mencukupi penghuni Transito. Saat malam, yang terang hanya lampu musala saja. Lainnya meredup.

Meski tak terbilang tidak seperti tempat beribadah pada umumnya, musala itu tidak pernah sepi dari jemaahnya yang taat beribadah. Terlebih Ramadhan ini, warga lebih banyak mengisi waktu luangnya dengan membaca Alquran di musala, daripada tidur bermalas-malasan.

Jemaat Ahmadiyah menyimpan impian besar. Ingin hidup selayaknya warga negara: punya rumah dan beraktivitas seperti sembilan tahun lalu. Entah kapan tidur panjang ini usai.

Tapi yang jelas, setiap saat mereka selalu berdoa agar memperoleh hak hidup dari pemerintah. Bisa hidup aman dan nyaman. Tak jadi pengungsi lagi.

puasa sorot ahmadiyah

Meski tak terbilang tidak seperti tempat beribadah pada umumnya, musala itu tidak pernah sepi dari jemaahnya yang taat beribadah. Foto: VIVA.co.id/Kusnandar


Mereka juga berharap anak cucunya kelak bisa hidup bernegara seperti apa yang dirasakan masyarakat pada umumnya. "Doa kami pada Ramadhan ini semoga terkabul,” kata Syahidin, koordinator warga Ahmadiyah di Transito Mataram.

Namun, seiring berjalannya waktu, harapan-harapan tersebut, --dengan sulit-- disulapnya menjadi keceriaan. Karena, mereka yakin kesabaran akan menuntunnya kepada hidup yang lebih baik.

Seakan tak ingin terus-menerus terpuruk, para orangtua membekali anak cucunya dengan iman dan pendidikan, serta senyum manis.

Yang jelas, mereka tetap semangat dan tak pernah putus harapan agar kelak tak jadi pengungsi di negeri sendiri. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya