Amuk El Nino

- NASA
Oleh karena hal ini sudah masuk dalam ketentuan alam, BMKG sendiri tidak bisa merekayasa cuaca untuk menghindari El Nino. “Paling hanya menggunakan teknik modifikasi cuaca, mempercepat hujan di wilayah yang berawan,” kata Kukuh.
Namun langkah itu diakui memang cukup memakan biaya. BNPB pun menyarankan pemerintah untuk mengantisipasi hal ini selama masih ada waktu.
Setidaknya, dampak buruk kekeringan tidak meningkat setiap El Nino menghantam Indonesia. Untuk hal ini yang harus dilakukan adalah kerja sama dari berbagai instansi, seperti Dinas Pekerjaan Umum maupun Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
“Benahi dulu sektor hulunya. BNPB dalam hal ini hanya menangani jangka pendek saja. Untuk jangka panjang, PU bisa melakukan manajemen sumber daya air dari sekarang.
Atau Kemenhut dan LH bisa menangani terkait kondisi alam, kehutanan dan lingkungan hidup. Kementerian Pertanian juga bisa membantu, atau tata ruang perijinan yang ditangani pemerintah daerah harus diperketat,” ujar Sutopo.
Sampai Awal 2016
NOAA memperkirakan El Nino, yang sudah berlangsung sejak Zaman Es (10.000 tahun lalu), bisa berlangsung cukup lama, mulai pertengahan 2015 sampai Februari-Mei 2016. Sedangkan BNPB melihat adanya periode yang berbeda di tiap wilayah Indonesia yang mengalami kekeringan.
“Ada yang mulai sejak April kemarin, ada juga yang bulan Mei. Untuk wilayah Indonesia, ada berbagai macam karena kita memiliki 3 tipe hujan. Seperti Maluku dan perairan yang puncak hujannya bulan juli, otomatis kekeringan berbeda dengan wilayah di Jawa. Sebagian besar kita memiliki tipe hujan yang puncak normalnya di September – Oktober,” ujar Sutopo.
Dalam pantauan BMKG, Musim Kemarau memang sudah terjadi sejak bulan Maret dan April di sebagian besar wilayah Indonesia khususnya di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Monitoring Hari Tanpa Hujan (HTH) dari BMKG menunjukan wilayah-wilayah di Jawa, Bali, NTB dan NTT telah mengalami HTH lebih dari 60 hari, atau dengan kata lain telah mengalami kekeringan ekstrim.
Dari pemantauan suhu muka laut, BMKG melihat kolam hangat belum sepenuhnya bergeser ke Pasifik Tengah dan Timur. Namun El Nino di tahun ini menunjukan tren penguatan karena kolam hangat cenderung semakin bergeser ke arah timur, dimana terdapat Kepulauan Indonesia.
Dari situ BMKG memprediksi, El Nino akan semakin menguat hingga mendekati batas ambang kuat El Nino, dan diprediksi bertahan sampai awal tahun 2016.
Dampak El Nino ini tidak saja dikemukakan pakar cuaca, namun juga dari lembaga keuangan dunia. Menurut studi dari Dana Moneter Internasional (IMF), yang ditulis profesor ahli ekonomi dari University of Cambridge, London, Kamiar Mohaddes, negara seperti Amerika, China, Meksiko dan Eropa tidak akan terlalu merugi akibat dampak El Nino. Berbeda dengan India, Australia, Peru dan Indonesia, yang diprediksi akan menjadi negara paling merugi.
“Menurut kalkulasi dari studi yang dilakukan IMF, rata-rata, El Nino ‘sehat’ bisa meningkatkan ekonomi Amerika sekitar 0,55 persen dari GDP, menjadi US$90 miliar tahun ini. Namun sebaliknya di Indonesia, perekonomian negara itu bisa terpangkas cukup banyak. Indonesia bisa rugi banyak, khususnya karena kekeringan dari El Nino mempengaruhi industri tambang, pembangkit listrik, pertanian (cokelat, kopi dan lainnya),” ujar Mohaddes.
Untuk itu, apa yang dikatakan BNPB ada benarnya. Sudah saatnya pemerintah mulai melakukan perbaikan di segala lini, baik sistem pengelolaan air, perbaikan lingkungan, dan pembuatan daerah resapan air. Sekaligus memperbaiki sistem pemantauan cuaca yang dimiliki oleh BMKG. Ini agar setiap fenomena El Nino, yang datang setiap lima sampai tujuh tahun sekali, hal itu bukan lagi dianggap sebagai ancaman yang berarti. (ren)