- ANTARA/Irsan Mulyadi
VIVA.co.id - Sebelum azan Subuh berkumandang, setiap hari, Emi, berjuang melawan rasa kantuk. Ibu dua anak itu menyiapkan adonan lopek bugi yang dijajakannya di pinggir jalan Pekanbaru-Bangkinan kilometer 37, Sumatera. Persisnya di Desa Poluong.
Lopek bugi terbuat dari adonan tepung ketan yang diisi oleh parutan kelapa dibalut dengan daun pisang. Cara membuatnya dengan dikukus hingga matang. Makanan ini banyak dijumpai di sepanjang jalan lintas Pekanbaru-Bangkinang.
Bersama belasan ibu rumah tangga lainnya, Emi berjualan lopek bugi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Usaha ini ia rintis bersama suaminya, Muhammad Eri, sebagai mata pencarian utama keluarga.
Desa Poluong, tempat Emi menjual dagangannya tak jauh dan masih satu kecamatan dengan kawasan Rimbo Panjang. Di Rimbo Panjang ini terdapat ratusan titik kebakaran yang tiap tahun terjadi di Riau.
Bila musim kemarau datang, kebakaran pun tak terelakkan. Kabut asap pun tak bisa dibendung dan seolah-olah sudah menjadi rutinitas tahunan.
Sudah 18 tahun berlalu, kebakaran dan kabut asap hingga detik ini terus melanda Riau. Kondisi ini berdampak terhadap ekonomi dan kesehatan Emi serta ratusan bahkan jutaan masyarakat Riau lainnya.
"Sekarang, bukan untung yang kami dapat, malahan rugi. Modal awal Rp1 juta, pendapatan paling tinggi Rp800 ribu," keluhnya kepada VIVA.co.id didampingi suaminya sembari menyusun lopek bugi di pondok kecil pinggir jalan.
Seolah tidak ada pilihan lain, ia terpaksa harus terus berjualan, di tengah kebakaran hutan. Karena, ini satu-satunya mata pencarian keluarganya. Demi pelanggan, ia harus mengadu nasib berjualan di tengah-tengah kabut asap.
"Kalau tidak jualan, nanti pembeli tidak datang. Kami tak mau pelanggan tetap kami berasumsi bahwa tidak jualan lagi. Nanti kalau kabut asap hilang, mereka malah juga hilang, bisa tambah parah ruginya," lirihnya.
Sebelum kabut asap menyelubungi Riau beberapa bulan lalu, ia mengaku mampu memperoleh keuntungan Rp500 ribu hingga Rp800 ribu. Namun kini, seiring dengan semakin tebalnya asap, keuntungan mereka semakin terkikis.
"Balik modal saja sebenarnya sudah bersyukur. Kalau untung sedikit, Alhamdulillah. Karena tak jarang kami malah rugi," paparnya.
Suami Emi, Eri, menjelaskan, penjualan merosot, karena masyarakat memilih mengurangi aktivitas di luar rumah. Kondisi tersebut diperparah dengan terus melambatnya perekonomian di dalam negeri, yang sudah dirasakan hingga level masyarakat kelas bawah.
"Kalaupun ada yang membeli, itu orang yang melintas menggunakan mobil saja. Kalau pesepeda motor mulai jarang yang singgah," tuturnya.
Ironisnya, di kala pembeli yang menggunakan sepeda motor terus berkurang, karena takut terkena dampak dari kabut asap, para pedagang termasuk keluarga Eri, harus menembus pekatnya asap dari kebakaran hutan itu untuk menyiapkan dagangannya.
Eri pun mengaku tidak pernah mendapat bantuan masker dari pemerintah maupun pihak lainnya. Karena itu, ketika masker yang digunakannya sudah tidak layak pakai, ia bersama para pedagang lainnya, nekat menjalani aktivitas di luar rumah tanpa pelindung untuk bernapas.
Pemerintah dan perusahaan hanya membagi-bagikan masker di perkotaan. Di simpang-simpang lampu merah.
"Kalau di pedesaan seperti ini mereka tak datang. Padahal, masyarakat di kota kebanyakan mampu membeli masker. Kami yang di pedesaan ini harusnya dibantu," ujar Eri pasrah.
Ia berharap, pemerintah segera mengatasi kabut asap ini dan berniat baik mencegah agar tidak terulang lagi. "Masalah lingkungan ini tolong serius mengatasinya. Penegak hukum tindak tegas saja perusahaan pembakar lahan," katanya.
Bukan hanya pedagang kecil seperti keluarga Eri yang menderita akibat kabut asap. Kondisi yang sama juga dialami Hasan, pria berusia 61 tahun yang bekerja sebagai penyadap karet di perkebunan daerah tersebut.
Hasan selalu was-was siang dan malam, khawatir kebakaran menjalar ke kawasan kebun karetnya. Karena, tak jarang di kawasan tersebut sering terjadi kebakaran.
"Kadang ada orang buka lahan atau memang lahannya terbakar bisa menjalar ke lahan kami. Jadi khawatir saja," ujarnya kepada VIVA.co.id.
Tahun ini, Hasan mengalami cobaan yang cukup berat. Selain kabut asap yang mengancam kesehatannya, kebakaran juga mengincar kebun miliknya. Sementara itu, harga komoditas karet yang menjadi andalannya untuk memenuhi kebutuhan hidup merosot tajam.
Kini, per kilogram getah karet hanya dihargai Rp7.000 dari sebelumnya mencapai puluhan ribu rupiah.
Â
"Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja berat, ditambah lagi biaya berobat karena kabut asap. Saya pernah tonton di televisi kalau Presiden Jokowi menjanjikan kartu sehat untuk warga. Kami warga tak mampu di Riau berharap Presiden ingat dengan janjinya itu," ujarnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman, pun sejak 14 September 2015 menyatakan Riau dalam kondisi darurat kabut asap.
Sementara itu, sejak 29 Juni 2015 hingga 16 September 2015, Dinas Kesehatan Riau sudah mencatat 26.051 warga Riau menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akibat kabut asap.
"Selain itu, 538 warga Riau terkena pneumonia, 1.257 asma, 1.671 iritasi mata, dan 2.263 mengalami iritasi kulit," ujar Kadiskes Riau Andra Syafril kepada VIVA.co.id.
Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) terus bertengger pada kategori "berbahaya". Meski titik kadang berkurang, kabut asap tak juga hilang.
Pemerintah dan perusahaan hanya membagi-bagikan masker di perkotaan. Di simpang-simpang lampu merah. Foto: ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Bisnis kelapa sawit, korban atau kambing hitam?
Selama hampir satu dekade terakhir, bisnis minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) menjadi primadona di Indonesia. Booming harga komoditas di dunia membuat ekspor komoditas ini terus meningkat.
Alhasil, ribuan hektare perkebunan kelapa sawit menjamur di beberapa provisi di seluruh Indonesia.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono, ketika berbincang dengan VIVA.co.id, meluruskan pandangan masyarakat yang seolah-olah menganggap kebakaran hutan yang terjadi merupakan ulah para pengusaha perkebunan kelapa sawit yang ingin membuka lahan baru.
Anggapan tersebut, menurut dia, jelas merugikan pelaku bisnis ini. Tudingan tersebut ditegaskan pula bukan merupakan fakta sesungguhnya yang terjadi di lapangan. Sebab, apabila terbukti, ancaman hukum yang sangat berat tidak hanya bisa membuat perusahaan bangkrut, tapi juga dijerat dengan hukuman penjara.
"Itu ancamannya sangat berat. Kurungan penjara, pidana, perdata ratusan miliar. Menurut saya, perusahaan konyol saja yang mau lakukan itu, tidak ada yang mau itu," ungkap direktur PT Astra Agro Lestari Tbk tersebut.
Dia berpendapat, kebakaran hutan yang terus terjadi di Indonesia ini mayoritas karena faktor yang tidak disengaja.
Artinya, mungkin saja pembakaran lahan di area tertentu sengaja dilakukan, tapi karena tidak hal itu dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki persiapan yang matang terkait dampaknya.
Lahan yang terbakar itu meluas dan akhirnya tidak mampu dikendalikan, sehingga terus menyebar ke area lainnya.
Kondisi musim panas yang berkepanjangan pun jelas memberikan kontribusi terhadap terjadinya kebakaran hutan. Apalagi menurut dia, ada saja masyarakat yang tidak disiplin, misalnya membuang puntung rokok sembarangan, yang kemudian menyulut munculnya titik api di lahan gambut yang mudah terbakar.
Kebiasaan pertanian tradisional di Indonesia, menurut dia, juga turut berkontribusi. Dia kembali mencontohkan, usai musim panen jerami yang tersisa sengaja dibakar oleh petani untuk membersihkan lahannya, sehingga dapat ditanami kembali.Â
"Jadi, itu kan sengaja bakar, tapi nggak bermaksud membakar, tapi api merembet ke mana-mana. Itu yang terjadi," tuturnya.
Dari sisi regulasi, menurut dia, pembakaran lahan yang dilakukan petani diperbolehkan asal tidak melebihi batas lahan yang telah ditetapkan yaitu dua hektare. Bahkan, di Kalimantan Tengah pembakaran lahan boleh dilakukan hingga lima hektare.
Tapi yang terjadi, karena hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, dampaknya meluas ke daerah-daerah lainnya. "Secara undang-undang boleh bakar dua hektare. Dengan bakar dua hektare itu, ekses bisa ratusan hektare," katanya.
Di perkebunan kelapa sawit, dia melanjutkan, ada prosedur standar operasional yang harus dipenuhi dan ditaati untuk mengantisipasi serta menangani kebakaran lahan yang terjadi di kawasan perkebunan.
Antara lain, perkebunan harus mempunyai tim khusus yang memantau, mencegah, dan mengatasi kebakaran tersebut. Bahkan, edukasi baik di internal maupun eksternal terkait dengan upaya mencegah dan mengatasi kebakaran terus dilakukan secara berkala.
Infrastruktur yang dimiliki terkait upaya tersebut juga harus dipastikan tersedia. Seperti pompa air, menara pemantauan api, selang, dan berbagai rambu harus disiapkan perusahaan perkebunan tersebut.
"Makanya, aneh kalau perusahaan yang mau melakukan pembakaran. Itu mau bunuh diri, sangat jelas," tuturnya.
Bahkan, kenyataannya di lapangan, dia mengklaim, yang paling serius mengenai upaya pengendalian kebakaran hutan ini adalah pihak perusahaan kelapa sawit. Karena memiliki kepentingan bisnis yang besar jika hal tersebut menimpa areal perkebunan.
"Masyarakat cenderung cuek. Kalau perusahaan kehutanan, saya rasa nggak punya resources sebesar ini," katanya.
Dia pun meminta pemerintah untuk bersikap adil kepada perusahaan. Kelangsungan bisnis sektor ini juga harus diperhatikan, karena salah satu penyumbang devisa ekspor beberapa tahun ini.
"Pemadaman di hutan nasional, ya harus menteri kehutanan yang memadamkan. Di area masyarakat, ya masyarakat yang memadamkan, fair dong. Begitu terjadi kebakaran di area perusahaan, ya perusahaan yang memadamkan. Jadi, semua pihak bertanggung jawab padamkan api di areanya masing-masing," pintanya.
Mengenai berapa kerugian yang diderita perusahaan perkebunan kelapa sawit karena kebakaran hutan ini dia mengatakan, jumlahnya sangat besar. Terlebih lagi, setidaknya selama tiga tahun terakhir, harga komoditas yang terus anjlok di pasar internasional, menjadi permasalahan serius lainnya yang harus dihadapi para pengusaha.
Saat ini, demi kelangsungan bisnis tersebut menurut dia, fokus utama para pengusaha sektor ini adalah bagaimana mengatasi permasalahan kebakaran hutan ini. Kerugian lebih lanjut akibat penurunan harga komoditas diharapkan mampu diredam.
"Kerugian, nggak ada perusahaan yang hitung, nggak penting pengaruhnya. Itu nggak jadi concern perusahaan. Yang penting adalah nggak terjadi kebakaran. Karena perkebunan plasma juga kena," kata dia.
Dia pun mengklarifikasi, dari total seluruh pengusaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia, baru 60 persennya adalah anggota Gapki. Dan, perkebunan anggota Gapki yang areanya ataupun terjadi kebakaran hutan jumlahya hanya sedikit.
"Contohnya Gapki Sumatera Utara dan Kalimantan Timur tidak ada kasus kebakaran. Hanya anggota Gapki di Riau yang jadi korban kebakaran tersebut. Itu pun dari 10 tersangka indikasi penyebab kebakaran, hanya satu yang sawit, selebihnya bukan anggota perkebunan sawit," katanya.
Di Kalimantan Tengah, dia melanjutkan, dari 11 perusahaan yang alami kebakaran, ada tiga perusahaan yang merupakan anggota Gapki. Sementara itu, di Kalimantan Barat, dia mengaku belum menerima laporan lebih lanjut dari para anggota.
"Yang tiga ini kami akan bantu lah, supaya dia hadapi masalah-masalah kebakarannya. Beberapa sudah mulai diperiksa," ungkapnya.
Gapki pun, menurut dia, akan mengadvokasi anggotanya yang terindikasi terlibat dalam kasus tersebut. Karena, dia mengklaim perusahaan itu hanya korban dari kebakaran yang terjadi di areal perkebunannya.
"Karena dia, sebenarnya kena kebakaran di sekitarnya. Dia punya alat paling lengkap, dia yang padamin, tapi dia yang jadi tersangka. Itu sih aneh," ujarnya.
Pembakaran lahan yang dilakukan petani diperbolehkan asal tidak melebihi batas lahan yang telah ditetapkan yaitu dua hektare. Foto: Â ANTARA/Wahyu Putro A
Bisnis penerbangan terhantam
Sebagai daerah kepulauan, transportasi udara merupakan moda angkutan paling efisien dan efektif guna mendukung kegiatan bisnis antar daerah di Indonesia.
Tingginya intensitas kabut asap akibat kebakaran hutan tersebut jelas paling menghantam bisnis penerbangan dibandingkan moda transportasi lainnya.
Akibat kebakaran ini, tentunya akan menyebabkan dampak ekonomi kepada beberapa maskapai penerbangan. Salah satu yang terdampak adalah maskapai Batik Air.
Direktur Utama Batik Air, Capt Achmad Luthfie mengatakan, kerugian yang dialami oleh Batik Air mencapai jutaan dolar Amerika Serikat (AS) akibat musibah ini. Karena menyangkut kegiatan operasional maskapai.
"Jadi, kerugian kami di utilitasi pesawat saja, pesawatnya jadi nggak bisa terbang, kan otomatis kami nggak dapat uang. Kalau dikalkulasiin angkanya susah diterangin, diperkirakan jutaan dolar AS," ujar Luthfie saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu, 16 September 2015.
Selama kebakaran hutan tahun ini, tidak sedikit penerbangan Batik Air yang mengalami penundaan (delay) selama empat hingga lima jam. Bahkan, tak jarang membatalkan penerbangan. Akibatnya, sebagai bentuk ganti rugi ke penumpang, tidak sedikit biaya yang telah dikeluarkan untuk pengembalian uang tiket kepada penumpang.
Luthfie melanjutkan, yang paling dirugikan adalah penumpang. Karena, kerugian bisnis yang harus dialami akibat tertundanya penerbangan.
"Rugi immaterial penumpang itu yang tidak terhitung, kan lama nunggu di airport. Penumpang kan juga banyak keperluan, jadi yang sangat dirugikan itu penumpang," kata dia.
Dia juga mengkritik oknum perusahaan ataupun pribadi yang melakukan pembakaran hutan dengan sengaja. "Pembatalan penerbangan sudah banyak, kami belum hitung persisnya. Rugi perusahaan tidak usah dihitung lah," katanya.
Luthfie menjelaskan, pembatalan penerbangan terjadi di beberapa kota. Di Sumatera, penundaan atau pembatalan yang paling sering terjadi di kota Pekanbaru, Medan, Batam, dan Palembang. Selanjutnya, di Kalimantan, pembatalan kerap terjadi di kota Tarakan.
Kerugian besar juga dialami maskapai pelat merah Garuda Indonesia. Corporate Communication PT Garuda Indonesia, Benny Butar Butar, mengatakan, kejadian ini sangat berdampak negatif kepada keuangan perusahaan.
"Yang jelas, pesawat ada yang delay dan cancel, maskapai selalu menjadi korban dari yang bukan kesalahannya," ujar Benny kepada VIVA.co.id.
Mengenai total kerugian yang diderita Benny mengatakan, perusahaan masih terus mengkalkulasi ulang dampak keuangan dari musibah ini. Namun, yang jelas kerugiannya cukup besar akibat penundaan hingga pembatalan penerbangan.
Dia pun mengatakan, Garuda sedang berkoordinasi dengan pihak otoritas bandara dan pemerintah setempat untuk mengatasi kabut asap tersebut.
"Kalau kerugian secara total, kami belum hitung. Saat ini lebih fokus ke penumpang dan kami ikut koordinasi dengan otoritas bandara setempat serta pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya untuk bantu atasi kabut asap atau kebakaran hutan itu," ujarnya.
Tingginya intensitas kabut asap akibat kebakaran hutan tersebut jelas paling menghantam bisnis penerbangan dibandingkan moda transportasi lainnya. FOTO: ANTARA/Rony Muharrman
Kerugian ekonomi tidak terhitung
Secara garis besar, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati mengatakan, meskipun bisa dikalkulasikan, kerugian ekonomi sesungguhnya akibat musibah kebakaran hutan ini tidak terhitung.
Karena, menurut dia, kerugian bisnis secara immaterial lebih besar dibandingkan apa yang bisa dihitung secara matematika. Seperti, perjanjian bisnis yang tertunda, hingga jalur logistik yang terputus
"Yang pasti, setiap gangguan ini akan banyak yang tertunda dan orang nggak beraktivitas secara normal. Malah ada yg dibatalkan seperti penerbangan. Ini kan suatu kerugian," ujarnya saat dihubungi VIVA.co.id, Rabu, 17 September 2015.
Dari sisi ketenagakerjaan, misalnya, dia mencontohkan, perusahaan-perusahaan yang berada di sekitar kebakaran hutan tersebut juga dihantui dengan menurunnya produktivitas sumber daya manusia yang dimiliki.
Terlebih lagi para pekerja di perusahaan atau industri tersebut terancam terkena gangguan kesehatan. Kondisi tersebut jelas dapat berisiko membuat keuangan perusahaan membengkak. Kerugian mengenai hal ini tidak bisa dikalkulasi secara pasti dalam jangka pendek.
"Apalagi, di kesehatan itu kan bukan cuma kerugian berapa orang yang masuk rumah sakit hari ini. Tapi, dampak asap ini bisa muncul kemudian, penyakitnya di tahun berikutnya," ungkapnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengungkapkan, kerugian ekonomi akibat musibah kebakaran ini sudah bukan menjadi permasalahan utama dalam hal ini. Sebab, sudah tidak terhitung dan berdampak kepada semua aspek.Â
"Saya nggak mau mempersolkan itu, karena ini sudah terjadi puluhan tahun," ungkapnya.
Menurut dia, yang harus diperhatikan adalah bagaimana kejadian ini tidak terus terulang di masa depan. Dan itu membutuhkan upaya dan komitmen dari semua pihak.
"Meskipun ekonomi baik atau ekonomi buruk, yang namanya bakar, ya bakar aja. Karena, membakar adalah cara termurah untuk melakukan land clearing," tuturnya. (art)