SOROT 365

Nasibnya, Sepahit Kopi

Kopi Aceh Sorot
Sumber :
  • ANTARA/Septianda Perdana

VIVA.co.id - Sarhan (33) tampak sibuk dengan cangkulnya. Mengenakan kaus oblong dan celana panjang yang sudah terlihat kusam, pria ini tekun membersihkan rumput yang menjalar di kebun kopinya. Ia terus mengayunkan cangkul di tangannya, membabat rerumputan. Sesekali, ia menunduk dan membungkuk untuk mencabut rumput yang melintang.

Kopi Indonesia Makin Digandrungi Konsumen AS

Hari beranjak siang. Namun, Sarhan tetap bertahan. Lumpur nyaris membungkus sepatu boot yang ia kenakan. Sisa air hujan sesekali menetes melalui ujung daun kopi, jatuh menyapa rambut kepalanya.

Ia tak hanya menyiangi rumput, namun juga menanam sejumlah sayuran di sela pepohonan. Sementara, di atas kepala Sarhan, buah kopi terlihat menyembul di antara dedaunan. Warnanya yang hijau kekuningan menandakan, ‘anak kesayangan’ Sarhan tersebut akan segera matang.

Enam Bukti Kopi Sianida Ada di Tubuh Mirna

“Secara garis keturunan, saya memang dari keluarga petani kopi,” ujar Sarhan membuka percakapan, saat VIVA.co.id menyambangi kebun kopinya di Kampung Wih Nongkal, Kute Panang, Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, Rabu, 7 Oktober 2015.

Ia mengatakan, orangtuanya merupakan petani kopi. Sarhan sempat mencoba peruntungan dengan bekerja di sebuah lembaga sosial. Namun, ia tak kerasan. Akhirnya, ia melanjutkan profesi orangtuanya, menjadi petani kopi. Alasannya, profesi ini menantang dan kopi merupakan komoditi yang diperdagangkan di seluruh dunia serta dicari semua orang.

Polisi Sinkronkan Keterangan terkait Tewasnya Mirna

“Wilayah kita tinggal juga ideal untuk kopi, sehingga saya memilih kopi,” ujarnya menambahkan.

Berbeda dengan petani kopi kebanyakan, Sarhan tak menjual kopi merah atau yang sudah matang. Namun, ia menjual kopi yang masih mentah (green bean).

Menurut dia, harga jual antara biji kopi merah dan green bean selisih hingga 15 persen. "Saya memilih menjadi petani kopi, karena ingin memberikan contoh kepada petani tradisional di desa, agar kopi mendapat nilai tambah dengan menjual green bean, tidak lagi menjual kopi merah," ujar pria yang telah banyak belajar tentang pahit manisnya dunia pertanian di sebuah lembaga swadaya masyarakat.

Meski telah lama menjadi petani kopi, Sarhan mengaku penghasilannya belum bisa untuk mencukupi semua kebutuhan. Alasannya, ia hanya memiliki setengah hektare lahan. “Dengan luasan setengah hektare itu sebetulnya hanya pas-pasan. Untuk keluarga yang besar itu pasti kurang,” ujar pria yang hangat ini.

Tak hanya dia, banyak petani Kopi Gayo yang miskin. Menurut dia, hal itu terjadi salah satunya karena petani tak bisa mengelola keuangan guna membiayai pertanian. Banyak petani yang mengandalkan uang pribadi untuk mengolah kebun kopi. Mereka tak mau meminjam ke bank.

“Mereka meminjam uang kepada pembeli kopi. Sehingga luasan usahanya tidak berkembang, karena mereka gali lobang tutup lubang,” ujar Sarhan.

Menurut dia, para petani kopi di dataran tinggi Gayo masih banyak yang menggantungkan kehidupan kepada para tengkulak atau tauke yang nyaris ada di setiap kampung. Ketergantungan para petani kopi terhadap tauke di daerah berhawa sejuk ini tergolong tinggi, mengingat kopi bukan tanaman yang hasilnya bisa dipanen setiap bulan.

Penghasilan petani tidak tetap, sehingga mereka terpaksa meminjam uang kepada tauke untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Para petani ini akan membayarnya dengan biji kopi merah yang baru saja dipanen.

Kopi Aceh Sorot

Penghasilan petani tidak tetap, sehingga mereka terpaksa meminjam uang kepada tauke untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Foto: ANTARA/Zulkarnain

Penghapal Alquran Gratis Minum Kopi di Kedai Ini

Penghafal Alquran Gratis Minum Kopi di Kedai Ini

Diskon 99 persen bagi yang berulang tahun ke-99.

img_title
VIVA.co.id
11 Agustus 2016