SOROT 420

Berawal dari Ruang Sempit

Pendiri dan CEO HijUp.com Diajeng Lestari.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Kurnen Permana Putra

VIVA.co.id – Tuturnya lugas dan jelas. Gerakan tangannya kian mempertegas kalimat-kalimat yang mengalir deras. Di balik balutan busana Muslim warna hitam dan hijab floral yang menutup sebagian besar tubuhnya, perempuan bernama Diajeng ini bisa dikatakan sosok penuh inspirasi.

CEO Speaks Nextgen Startup Day: Kupas Tuntas Ketahanan Bisnis di Tengah Startup Berguguran

Di usia 30 tahun, Diajeng Lestari telah menyandang jabatan sebagai Pendiri dan CEO HijUp.com, sebuah perusahaan startup yang bergerak di bidang fesyen busana Muslim. Kini perusahaan tersebut tengah menikmati keberhasilan, buah dari kerja kerasnya sejak berdiri pada tahun 2011.

“Awalnya hanya dua karyawan yang direkrut dan awalnya juga ruangannya cuma 2 x 3. Jadi sangat-sangat kecil,” ujarnya mengenang.

Jembatani Industri dan Digitalisasi, Kemenperin Dorong Startup Genjot Inovasi

HijUp sesungguhnya hanya berawal dari pemikiran sederhana perempuan kelahiran 17 Januari 1986 ini. Sebagai wanita karier, Diajeng mengaku kesulitan mencari busana Muslim untuk dikenakan saat ke kantor. Sementara waktunya terbatas karena kesibukan pekerjaan.

Muncul lah ide membuat platform online di mana seluruh busana Muslim yang bagus dan sudah terkurasi ada dalam satu tempat. Dengan demikian, perempuan Muslim bisa mendapatkan barang yang mereka suka dengan lebih efisien dan efektif dari sisi waktu, tenaga, serta uang.

Begini Cara Mudah Kurangi Emisi Karbon saat Naik Pesawat

“Memudahkan Muslimah lain yang mungkin seperti saya dahulu yang enggak punya banyak waktu tapi ingin tampil bagus, tampil dengan profesional di kehidupan mereka,” katanya.


Pada tahun 2011, ketika Diajeng mendirikan HijUp, e-commerce di bidang fesyen Muslim tak seramai sekarang. Saat itu, banyak wiraswasta memilih jalur offline, seperti menyewa toko untuk menjajakan produk mereka.

Dalam benak Diajeng, jalur offline membutuhkan biaya yang besar. Akhirnya, ia mantap tak mengikuti arus. Pilihan pun jatuh pada e-commerce. Ia katakan, platform online adalah jalur paling efisien dan efektif.

“Kalau online, kita bisa start fom very-very small,” ucap perempuan kelahiran Bekasi ini.

Tepat saat bulan Ramadan tahun 2011, HijUp resmi meluncur di dunia maya. Berperan sebagai perantara antara para desainer dengan calon pembeli. Respons yang diharapkan terwujud. Pasar menyambut positif sekali. 

“Alhamdulillah saat awal kita launching itu bulan pertama sudah BEP dengan cost kita yang sedemikian kecil,” katanya sambil mengurai senyum.

Sebagai CEO, Diajeng tak segan ‘menyingsingkan lengan bajunya’ demi kemajuan perusahaan. Ia kerjakan banyak hal. Mulai dari customer service hingga mengerjakan bagian pengepakan. 

Tak hanya harus berperan ganda, Diajeng pun harus menghadapi tantangan cukup berat. Mengubah pola pikir klien-kliennya dari offline ke online. Apalagi belum ada pemahaman yang cukup di antara mereka mengenai keuntungan dari berbisnis online.

“Untuk meyakinkan mereka pastinya challenge pada saat itu,” kata dia.

Dalam mendirikan HijUp, Diajeng tak menampik bahwa ia juga menjadikan situs web e-commerce luar negeri yang sudah lebih dahulu berkembang sebagai referensi dan wawasan. Hanya saja, ia tak lantas meniru e-commerce tersebut. Ada hal-hal yang tetap harus diperhatikan, terutama menyangkut kebiasaan masyarakat Indonesia.

“Kalau di luar kan self service. Kalau di Indonesia perlu ada human touch-nya. Perlu ada unsur-unsur traditional customer service-nya,” ucap Diajeng.

Kini, HijUp sudah memiliki kantor yang lebih luas di Pejaten Corner. Di bangunan bertingkat empat itu, lebih dari 100 karyawan HijUp bekerja sehari-hari.

Menimba ilmu di Silicon Valley

Wawasan Diajeng mengenai e-commerce memang banyak ia dapatkan di luar institusi pendidikan. Seperti media, radio, majalah, buku, seminar, hingga bercakap dengan mereka yang lebih berpengalaman. 

Maklum saja, Diajeng tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang ekonomi atau Teknologi Informasi. Diajeng mengantongi gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Kendati demikian, ia memandang bahwa seorang pengusaha tak dibatasi oleh latar belakang pendidikan. Terlebih di era digital ini, ujarnya, pengetahuan bisa diperoleh dari mana saja.

“Kuncinya bukan di institusi pendidikan di mana kita belajar tapi seberapa kita bisa mendevelop diri kita sendiri,” ucap Diajeng yang menyebut bahwa sang suami, CEO Bukalapak Achmad Zaky, sebagai mentornya. 

Pengetahuan Diajeng tentang e-commerce kian bertambah tatkala ia mengikuti Google Launchpad Accelerator di Silicon Valley tahun ini. Pesertanya terdiri dari negara-negara berkembang, seperti Brasil, Meksiko, dan India. 

Ada banyak ilmu yang didapat Diajeng ketika berkunjung ke ‘rumah’ bagi banyak perusahaan teknologi tersebut. Mulai dari belajar manajemen hingga bagaimana mengefisiensikan performance. Kemudian bagaimana menggunakan teknologi Progressive Web Apps dan menciptakan psychological safety dalam startup management.

“Lebih banyak best practice yang mereka share,” ujarnya.

Diajeng berharap acara semacam ini bisa digelar di Indonesia. Tujuannya, agar para pengusaha startup Tanah Air bisa saling berbagi solusi menghadapi tantangan ke depan.

Seperti diketahui cukup banyak perusahaan startup yang akhirnya gulung tikar. Hanya beberapa di antaranya yang berhasil bertahan. Diajeng menilai bahwa ada beberapa startup yang  memang cepat berkembang dari sisi marketing, tetapi tidak diimbangi dari sisi suplai, produk, dan core competency.

“Itu challenging karena kita kan dari yang bisa dibilang kecil atau dari zero. Untuk bisa ke skala yang lebih besar, fundamentalnya harus kuat,” tuturnya.

Respons perubahan

Sementara itu HijUp sebagai startup yang baru berumur lima tahun punya banyak faktor yang membuatnya sukses. Salah satunya adalah cepat belajar dan dinamis. Alasan Diajeng, bisnis saat ini membutuhkan adaptasi yang sangat cepat, sehingga diperlukan kedinamisan dan pemahaman tim manajemen untuk merespons banyaknya perubahan.

“Kalau kita enggak cepat berubah, kita bakal tergilas oleh banyak challenge yang kita hadapi,” kata wanita yang pernah menampilkan koleksi busana karya Zaskia Sungkar, Restu Anggraini, Dian Pelangi, Jenahara Nasution di London Fashion Week dalam ‘bendera’ HijUp.

Ada moto menarik yang dianut oleh Diajeng dalam mengembangkan bisnis HijUp. Ia menyebutnya LORD (Lean, Open, Result Oriented, Dynamic). Lean, kata Diajeng, artinya jangan sampai mempekerjakan orang yang tidak memiliki kapasitas atau passion yang sesuai.

Kemudian Open yang dimaksud adalah open communication. Dalam hal target, struktur, dan ekspektasi, kata Diajeng, harus lah jelas. Caranya bisa dengan melakukan pertemuan mingguan, bulanan atau berbicara one on one.

Result Oriented, diartikan bahwa sejak awal result sudah harus dijabarkan. Namun, terkadang dalam perjalanannya, result tersebut bisa saja berubah. “Karena startup kadang result-nya misalnya awareness dahulu, terus bisa jadi berubah keuntungan atau jadi download apps,” kata Diajeng.

Sementara Dynamic adalah menanamkan pemahaman bahwa setiap perusahaan startup sudah pasti sedang mencari bentuk. Oleh karena itu, penting untuk menjadi perusahaan yang dinamis dan terus beradaptasi terhadap perubahan-perubahan. 

Bangun fundamental

Saat ini lebih dari 10 persen pelanggan HijUp berasal dari luar negeri, seperti Singapura, Malaysia, Inggris Raya, dan Amerika Serikat.  Selain itu, tawaran kerja sama juga banyak berdatangan. Mulai dari Belanda, Jerman, Uni Emirat Arab, Malaysia, hingga Dubai.

Namun bagi Diajeng, tawaran tersebut tak lantas membuatnya terbuai. Ia malah berpikir untuk memperkuat fundamental perusahaan. Sebelum memenangkan pasar di luar negeri, Diajeng memiliki obsesi bisa memenangkan pasar di negeri sendiri.

“Saat ini kami masih memprioritaskan Indonesia dan South East Asia. Tapi kami sekarang sedang membangun fundamental yang bagus untuk ekspansi ke luar,” kata wanita yang mengawali karier sebagai konsultan ini.

Meski sudah mendapatkan kucuran dana segar dari investor Indonesia dan Silicon Valley, langkah Diajeng tak serta-merta melambat. Ada beberapa tantangan yang harus dihadapinya di masa depan. 

Tantangan itu antara lain persaingan di tengah era Masyarakat Ekonomi ASEAN. “Tantangannya adalah secara fundamental apakah bisnis kita cukup efisien secara cost, apakah kita juga bisa bersaing dari segi kualitas dengan produk luar negeri,” ucapnya. 

Terkait Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober, Diajeng melihatnya sebagai sebuah komitmen. Jika diterapkan pada saat ini maka tantangannya bukan lagi menyatukan Indonesia, melainkan menang secara ekonomi dan bisa menjadi negara maju.

“Bagaimana pemuda-pemuda Indonesia bisa men-create value economy untuk negara Indonesia sendiri sehingga bisa menyejahterakan negara kita sendiri.” 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya