Batuk Bromo Rekor, Warga Tengger Tekor

Erupsi Gunung Bromo
Sumber :
  • Surabaya Post

SURABAYA POST - Erupsi Bromo sudah berjalan empat bulan. Ini lebih lama dan besar dibandingkan letusan 1995 yang hanya 3,5 bulan. Warga Tengger pun tekor karena abu yang dimuntahkan mematikan sumber rezeki. Terpaksa kini warga menggantungkan hidup dari ‘sedekah’ pemerintah.

Mereka adalah ribuan warga yang tinggal di sejumlah desa di empat kecamatan (Sukapura, Sumber, Kuripan, dan Lumbang) Kabupaten Probolinggo. Termasuk warga yang tinggal di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Pasuruan; Wonokitri, Kabupaten Pasuruan dan Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang.

Semenjak aktivitas Bromo naik dari normal menjadi waspada pada 23 November 2010 silam, kemudian di hari yang sama menjadi siaga, sebagian besar warga ibarat ‘bernapas dalam abu’. Apalagi, letusannya juga lebih besar dari sebelumnya. Kini ketinggian abu sekitar 800 meter ke arah Timur, padahal di letusan sebelumnya hanya sekitar 500 meter.

Batuk berkepanjangan yang dialami gunung setinggi 2.392 meter itu juga mengubah kehidupan warga Tengger. Masyarakat agraris itu dipaksa menanggalkan cangkul dan bajaknya.

Kini hampir hampir 2.000 hektare areal pertanian rusak akibat terkena hujan abu vulkanis (data di Probolinggo saja-red). Warga tidak bisa lagi menanam sayur-mayur seperti kentang, bawang prei, tomat, wortel, dan palawija seperti kacang dan jagung.

Di antara puluhan desa di empat kecamatan yang terpapar aktivitas vulkanis Bromo, Desa Ngadirejo merupakan satu desa terparah. Desa yang berjarak sekitar 5 kilometer dari kawah Bromo itu seolah menjadi desa mati. Jalan desa tertimbun abu vulkanis puluhan sentimeter. Belum lagi jadi sasaran buangan abu vulkanis dari lereng-lereng lahan pertanian saat hujan deras menggelontor. 

“Seandainya abu gunung ini bisa dijual, warga di sini kaya raya,” ujar Sutamar, warga Ngadirejo.

”Habis sudah kubis saya 2 hektare yang baru tumbuh setinggi telunjuk,” kata petani lainnya, Nasib (70). Untuk membeli benih kubis saja, kakek itu harus merogoh sakunya sekitar Rp500 ribu. Belum termasuk biaya garap tanah, pembelian pupuk dan obat-obatan.

Abu vulkanis juga merusak sedikitnya 190 rumah di Ngadirejo. Termasuk merobohkan sejumlah ruang di SMPN Satu Atap Ngadirejo dan SDN Ngadirejo. Kantor Desa Ngadirejo juga luluh lantak tidak tersisa.

Selain kerusakan areal pertanian dan bangunan, warga setempat juga melalui hari-harinya dengan susah payah. ”Kalau malam gelap gulita karena listrik PLN padam sejak sebulan lebih,” ujar Sudji Rahwono, Kepala Dusun Krajan, Desa Ngadirejo.

Matinya listrik di desa itu dipicu ledakan trafo milik PLN. Diduga trafo itu mengalami hubungan pendek arus listrik akibat diselimuti abu tebal. Tanpa listrik, lalu lintas informasi warga setempat terputus dengan dunia luar. ”Katanya warga Ngadirejo sering jadi bintang film masuk TV. Tetapi percuma, kami tidak bisa menyaksikan TV wong listriknya padam,” ujar Sutamar.

Pasokan air bersih di Ngadirejo juga terputus. Pipa air dari Sumber Cecep di kaki bukit di dekat Laut Pasir Bromo putus tertimbun abu vulkanis. Sebanyak 10 ruas pipa di kawasan lembah yang banyak jurangnya amblas terbawa banjir. "Untuk menyambung pipa kembali sangat susah, medannya sulit dijangkau,” ujar Sudji.

Jaringan pipa air di desa itu memang dikelola swadaya oleh masyarakat setempat. Warga hanya dikenai sumbangan sukarela Rp 1.000/bulan untuk biaya perawatan jaringan pipa. Sebagai gantinya, warga bisa mengambil air bersih di 10 titik kran umum di desa itu. Namun sejak sekitar dua minggu lalu, kran-kran umum itu tidak lagi mengalir karena jaringan pipa di lembah terputus.

Memang Pemkab Probolinggo, PMI, dan relawan kemudian memasok air bersih dengan menggunakan mobil tangki, tapi itu tidak cukup.

 Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti sembako juga susah. Sebab sejak Bromo batuk, tidak ada pedagang yang beroperasi. ”Jangankan membeli gula dan minyak goreng yang memang tidak ada pedagangnya, warga Ngadirejo yang setiap hari menanam sayur terpaksa beli sayur ke Pasar Sukapura,” ujar Sulianto, warga Ngadirejo.

Warga yang mempunyai hewan ternak seperti sapi dan kambing lebih susah lagi. Selain harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka harus bersusah payah mencari rumput. Sebagian peternak terpaksa malah membeli pakan berupa batang jagung segar ke Wonomerto, Patalan, hingga di Kota Probolinggo.

Setiap ekor sapi membutuhkan sedikitnya 10 ikat batang jagung setiap hari. Praktis, anggaran Rp 15 ribu/hari untuk perawata seekor sapi demikian memberatkan bagi sebagian peternak. ”Biar menghemat biaya, pakan sapi kami campuri dengan batang pisang atau gedebog yang dicacah. Yang penting ternak kenyang,” ujar Sutamar.

Lama terkungkung di desanya tanpa bisa bercocok tanam sebagian warga Tengger tidak betah. Ratusan warga Wonokerso, Kecamatan Sumber, misalnya, eksodus untuk mencari kerja di luar daerah. “Karena tidak betah tinggal di desa, sekitar 100 warga terpaksa keluar daerah untuk mencari kerja,” ujar Kepala Desa Wonokerso, Naryo. Hal itu diketahui saat mereka mengajukan surat jalan melalui pihak desa.

Selain bekerja di Probolinggo, sebagian warga memilih merantau ke Bali dan Kalimantan untuk mencari kerja. “Intinya, daripada diam di rumah tidak bisa bercocok tanam, lebih baik cari pekerjaan di luar daerah,” ujar Naryo.

Untuk membantu warga, Pemkab Probolinggo pun mengeluarkan dana tak terduga (TT) sekitar Rp3,5 miliar. “Sebagian besar dana TT untuk sembako bagi warga Tengger. Sekarang dana TT tersisa sekitar Rp150 juta,” ujar Asisten Bidang Ekonomi Pemkab Probolinggo, Ibrahim Muhammad.

Pada 2010, Pemkab Probolinggo mengalokasikan dana TT sebesar Rp 2,5 miliar. Demikian juga pada 2011, disiapkan dana TT sebesar Rp 2,5 miliar. Posisi dana TT pada 2011 bertambah setelah Gubernur Jatim mengucurkan dana Rp 1 miliar sehingga menjadi Rp 3,5 miliar.

Tetapi dana sebesar Rp 3,5 miliar itu, kata Ibrahim, terlalu kecil untuk mengatasi dampak bencana Bromo yang menimpa empat kecamatan. Pasalnya, menurut hitungan untuk memulihkan sarana dan prasarana umum, bantuan kerugian ternak, tanaman perkebunan dan kehutanan yang rusak, bantuan usaha tani dibutuhkan dana sekitar Rp 255 miliar.

Laporan: Ikhsan Mahmudi

Cek Fakta: Guinea Mundur, Timnas Indonesia U-23 Lolos Olimpiade 2024
Ilustrasi mayat

Kakek 73 Tahun Tewas dengan Kepala Hancur, Pemuda Kena Prank Nikahi Gadis Ternyata Pria Tulen

Sejumlah artikel di kanal News VIVA sepanjang Senin, 6 Mei 2024. Adapun, artikel yang menjadi sorotan pembaca VIVA terkait kakek 73 tahun ditemukan tewas mengenaskan di G

img_title
VIVA.co.id
7 Mei 2024